[caption id="attachment_93709" align="alignleft" width="300" caption="Mereka bukan mesin"][/caption] Menganggap semua akan baik-baik saja tidak selalu benar. Apalagi jika obyek yang dituju adalah manusia, karena rencana yang dimaui dapat berubah total di tengah jalan. Yang dimaksud disini adalah keinginan dan harapan orang tua terhadap perilaku anaknya, dalam banyak hal. Orang tua selalu banyak maunya, dan selalu menganggap apa yang diketahui selalu lebih baik dari si anak. Sikap yang wajar terjadi pada siapapun yang ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya, dan saya juga termasuk golongan ini. Hal yang paling gampang terlihat adalah saat si anak diminta belajar oleh ortunya. Tiada kata lain selain "harus" belajar. Jam sekian adalah jamnya belajar, tidak boleh ini itu lagi. Semua soal latihan harus tuntas, dan pekerjaan rumah harus selesai dengan baik. Ini adalah perlakuan yang selalu ditemui di banyak rumah saat malam mulai menjelang. Atau saat sore hari ketika si anak diharuskan mengikuti seribu macam les di berbagai tempat. Harapannya adalah satu, anaknya menjadi yang terbaik di manapun berada, dengan nilai tertinggi. Orang tua selalu berusaha untuk memenuhi segala keperluan "masa depan" anaknya. Ilmu yang buanyak, dan kepandaian yang huebat... Tapi terkadang (baca: kadang-kadang) lupa akan banyak hal di sisi lain. Misalnya, saat si anak belajar di rumah, ortu cenderung tidak menemani. Alasan klasik adalah "saya nggak ngerti pelajaran anak sekarang". Kalau ini alasannya, maka dapat dipastikan sang ortu tidak mempunyai prestasi apapun saat "muda" dulu... hehehe maaf... Karena pada dasarnya ilmu-ilmu dasar seperti matematika tidaklah berubah. Anak dibiarkan berjuang sendiri menguliti tugasnya, tanpa kehadiran ortu di sisinya. Sementara ortu lebih senang dengan melihat sinetron di TV, atau ngobrol dengan teman/saudara/tetangga di luar rumah, atau sibuk dengan Facebook/Twitter-nya. Saat si anak merasa lelah atau malas, maka ortu dengan sigap menyuruhnya kembali untuk belajar. (Saya yakin tidak terjadi pada pembaca posting ini...) Saya pernah mengalami hal ini, dimana saya lebih sibuk dengan kerjaan kantor (yang dikerjakan di rumah) sementara anak dipaksa untuk belajar sendiri. Setelah beberapa kali terjadi, saya mencoba untuk mengubah kebiasaan ini. Saya beranggapan anak saya memerlukan saya saat dia belajar. Mungkin bukan untuk ditanya masalah soal pelajarannya, tapi saat ia melihat saya di dekatnya, kadang ia bertanya hal lain yang memang perlu ditanyakan. Dan saya memberanikan diri untuk ikut melihat materi apa yang ia pelajari. Berusaha untuk memahami dengan cara pikirnya dalam melihat soal. Dan memberikan dorongan untuk mengerjakan dengan semangat. Dorongan adalah bukan perintah, dan hal ini yang perlu dibedakan, karena saat saya kecil dulu saya tidak suka diperintah dalam melakukan banyak hal, cukup mengerti manfaatnya kemudian diberikan contoh. Ah ya, "contoh". Atau bahasa yang lebih kerennya adalah "teladan". Anak akan melakukan apapun dengan senang hati saat ia melihat ortunya melakukan hal serupa. Saat ia belajar, ia juga melihat apakah ortunya suka "belajar" (membaca koran atau melakukan hal lain didekatnya). Apakah dengan demikian ortu haruslah serba bisa dan hebat? Ah ya nggak juga. Bagi saya bukan kehebatannya yang akan dilihat anak, tapi semangat kita dalam bekerja dan berusaha (terutama yang terlihat nyata oleh anak) adalah yang terpenting. Saat membantunya mengerjakan soal, dan ada soal yang kita tidak bisa, ya katakan "tidak bisa". Tapi tentunya tidak sampai disitu saja, kita ajak sama-sama untuk mencari pemecahannya. Harus terpecahkan saat itu juga? Ya nggak lah. Anak harus juga tahu bahwa ortunya adalah "orang biasa". Mungkin ini pelajaran "ketidaksempurnaan". Kembali ke kondisi anak saya yang kelas enam (baca cerita terdahulu, klik disini). Saya (mencoba) menerapkan pengalaman masa lalu saya. Tidak memaksakan tetapi memberikan suatu dorongan dalam mewujudkan kehendak. Menganjurkan ia belajar dan sekaligus menyediakan sebisa mungkin waktu bersamanya saat belajar. Menganjurkan istirahat dan mengajaknya bermain saat ia terlihat jenuh. Tidak perlu mengajak ke Mal atau Plaza, cukup bermain kelereng atau kartu bersama adiknya. Atau mengajak permainan lain seperti Triomino, Ludo atau Ular-Tangga. Dua tiga kali putaran, dilanjutkan lagi dengan belajar. Saya tidak pernah menganjurkan apalagi memaksa ia kursus dimana-mana, tetapi mengajaknya belajar dimana-mana. Saat di rumah jenuh, saya ajak ke lapangan atau ke lokasi lain, dan belajarlah disana. Dibawa enjoy... Saya memelihara grafik kemampuan ia dalam menguasai materi. Saya tidak memaksanya berprestasi pada semester ganjil, karena ini akan berbahaya. Anak saya mempunyai kemampuan rata-rata, bukanlah langganan pemuncak dalam kelasnya. Asumsi saya adalah, kalau ia mencapai puncak saat semester ganjil, maka semester berikutnya ia akan jenuh dan grafik pasti menurun. Padahal di semester genap itulah ada ujian sekolah dan juga UAN, saat mana (sebaiknya) ia mancapai puncaknya. Sehingga yang saya lakukan pada semester ganjil adalah memelihara semangat juangnya, dan mengubah pola belajarnya agar lebih efektif. "Percobaan" ini terlihat berhasil, saat semester ganjil berakhir ia tidak terlihat jenuh. Dan mengawali semester selanjutnya dengan semangat tinggi. Nilai-nilai uji cobanya terlihat menanjak, dan semakin mendekati waktu UAN semakin tinggi semangat juangnya. Sayang sekali, hal sebaliknya terjadi pada beberapa temannya, dimana biasanya menjadi pemuncak tetapi saat menjelang UAN justru kejenuhan yang terlihat. Mungkin letih dengan segala soal dan belajar yang selalu diforsir jauh-jauh hari. Dari pengalaman sempit ini, saya menyimpulkan bahwa anak saya bukanlah mesin (yaiyalaah...). Artinya adalah ia tidak bisa diubah dalam sekejap, hanya dengan tekan tombol maka semua akan berubah. Perubahan yang terjadi adalah gradasi dan campur tangan ortu sangat besar. Ia tidak dapat berubah hanya dengan menyuruhnya belajar, hanya dengan memberi kelengkapan sekolah, memberi uang jajan, mengharuskan les dimana-mana, dan kemudian meninggalkan ia mengerjakan sendiri. Tidak hanya dengan menyediakan makanan lezat bergizi, tetapi kemudian meninggalkannya makan sendiri. Tumpukan makanan lezat tidak dapat menawarkan rasa laparnya akan banyak hal lain. Pendampingan pada anak memerlukan kuantitas tinggi dengan kualitas yang tinggi juga... Bagaimana hasil dari "percobaan" ini pada akhirnya..? Akan saya ceritakan pada kesempatan berikutnya. _-_-_-_ */ tulisan kedua dari tiga tulisan. */ merupakan pengalaman pribadi yang sangat mungkin tidak cocok untuk anda coba… : ) */ web personal http://hartantosanjaya.name
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H