Hidup Memang Pilihan
Beda zaman, beda pemikiran, beda cerita.
Dengar ya anak-anak muda, "Banyak Anak Banyak Rezeki". Itu pepatah orang Jawa Kuna. Mungkin sebatas mitos, tapi banyak pembuktian. Menurut logika saya, anak adalah titipan Allah sehingga dengan banyak anak Allah pun akan memberi rezeki untuk menghidupi anak-anak entah dari mana datangnya rezeki.
Dan terbukti. Ayah saya yang tujuh bersaudara dengan keturunannya rata-rata memiliki enam anak, berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Kakek dan nenek saya mampu menghidupi anaknya yang berjumlah tujuh.
Ibu saya sembilan bersaudara, orang tuanya bukan seorang pegawai. Mampu menghidupi anak-anaknya yang kemudian mempunyai anak lagi rata-rata 3-6 anak.
Suami saya sepuluh bersaudara, mertua saya orang biasa, dan nggak punya sawah juga. Sepuluh anaknya bisa dibilang cukup mapan hidupnya.
Dari keluarga ibu saya memang ada satu orang Bulik saya yang nggak punya anak, tapi berusaha ke mana saja untuk bisa hamil. Ke dokter kandungan dan alternatif, dukun dan sejenisnya. Ternyata Allah belum berkehendak memberikan amanah. Akhirnya bulik saya mengangkat anak dari salah satu keponakan, demi masa tuanya. Bayangan masa tua tanpa anak sangat menghantui pikiran dan perasaannya. Siapa yang akan merawat jika sakit, begitu pikirnya.
Cerita semacam itu banyak dialami orang-orang yang tidak bisa mempunyai anak. Bahkan biaya puluhan juta pun dikeluarkan demi ingin memiliki anak. Usaha secara medis dan alternatif lain dilakukannya.
Zaman sekarang, childfree justru menjadi pilihan bagi sebagian orang. Dengan alasan yang sulit diterima logika, menurut saya pribadi. Apa nggak mikir masa depan dirinya kelak? Atau lebih tepatnya masa tuanya. Siapa yang mau memberikan minum, memasaknya, dan merawatnya jika tidak memiliki anak. Terlebih jika sudah sakit-sakitan. Apa mau tinggal di panti jompo ya?!
Ada yang lebih berarti dari seorang anak yang memberikan keturunan pada orang tua atau mertuanya. Hal itu sangat membanggakan para orang tua yang diberi cucu. Banyak kasus perceraian karena menantunya mandul. Mertuanya berperan aktif untuk mendukung anaknya cerai, entah anaknya sendiri laki-laki atau perempuan. Miris, bukan?
Beda cerita dengan pernikahan pasangan lanjut usia. Jika sampai berkeinginan mempunyai anak, aduh, kasihan banget kehidupan anaknya kelak. Lagian sudah usia kakek-nenek renta masa mau menunggu anaknya sekolah TK? hehe. Kalau cucunya sih masih pantas saja...
Jadi bolehlah misal pasangan muda hanya menunda memiliki anak, tapi tetap memprogram dalam jangka tertentu.