Seperti biasa setiap hari saya mengukus telur asin buatan sendiri untuk dijual di beberapa warung makan dan memenuhi pesanan pelanggan, juga pesanan untuk orang hajatan atau buat oleh-oleh.
Capek sih capek, dari proses awal pembuatan telur asin sampai dikukus sangat memakan tenaga, karena  saya sangat menjaga kualitas rasa dan tampilan telur asin yang bersih dan rapi, tidak terlihat kotor. Tapi usaha ini saya nikmati karena memang keuntungannya juga lumayan besar.
Dulu saat mau memulai usaha ini saya sudah mendalami terkait pangsa pasar, segmentasi pasar, kompetitor dan lain-lain. Duh, bahasanya macam ekonom yang punya perusahaan besar saja ya! Padahal hanya telur asin, hehe. Tapi jangan salah, mengukus telur asin juga butuh strategi khusus. Kalau nggak tau, Â 300 butir bisa pecah semua. Fatal..!
Saat mengukus telur asin inilah (sambil sesekali mendorong kayu bakar supaya apinya nggak keluar dari bibir tungku), sumur inspirasi tergali. Berseliweran imajinasi merangsang untuk menulis hal yang ringan atau seringnya berupa puisi. Walau puisi yang mungkin kurang bisa dipahami, karena kadang saya menulis sesuka hati tanpa menguras energi. Tapi memang saya pernah dengar ada sahabat literasi yang kasih tau, bahwa puisi jika dimaknai sama oleh pembaca, bisa disebut puisi GAGAL!
"Puisi itu ungkapan kata-kalimat yang memberi ruang maneka makna. Ketika pilihan kata-kalimat membawa pembaca pada satu makna, puisi kurang kuat, atau malah gagal menjadi puisi," begitu katanya. Ah, itu sih cuma buat meghibur diri sendiri saja, haha.
Saya juga berpuisi tidak bertendensi pada kata-kata indah. Pokoknya masih amburadul.
Namun bukan tentang puisi yang mau saya sampaikan, sumur inspirasi tergali karena hanya terlintas Kompasiana. Ya, Kompasiana yang saat ini lagi banyak pemuja.Â
Jutaan fans yang ada di Indonesia, banyak juga yang ada di luar negeri. Mengapa? Menurut pengamatan saya, Kompasiana berbeda dengan platform blog yang lain. Meskipun banyak juga platform-platform lain yang memiliki ciri khas sama: bisa menulis berita peristiwa, opini, catatan harian, dan juga menulis fiksi. Saya jatuh cinta BUKAN pada pandangan pertama.Â
Artinya, saya sudah bertahun-tahun lihat dan mengerti tentang Kompasiana. Tapi saya baru bergabung menjadi kompasianer pada tanggal 3 Oktober 2022, dan langsung jatuh cinta. Praktis, sejak itu saya langsung meninggalkan marketplace: L, T, S, dan lainnya. Setiap hari saya berselancar ke  marketplace-marketplace itu memburu produk-produk yang menebar diskon. Bahkan hingga larut malam. Ada yang dijual lagi dan juga buat sendiri. Mungkin beberapa kurir yang biasa mengantar paketan dari beberapa jasa pengiriman berpikir, kok lama nggak nganter barang ke alamat saya.Â
Ya, Kompasiana sudah mampu mengalihkan perhatian saya. Dari berbelanja ke menulis. Walaupun hanya berbungkus visual menarik berisi sampah. Toh Kompasiana baik hati, selagi tidak melanggar S&K tetap ditayangkan. Kalau lagi nasib mujur, banyak yang berkunjung, kasih penilaian dan komentar. Kalau lagi sepi, ya biarlah yang penting menulis dan menulis setiap hari.Â
Kompasiana sudah menjadi sumur inspirasi. Sebenarnya saya mau menulis judul tulisan ini "Sumber Inspirasi". Eh, kok malah munculnya "Sumur Inspirasi".Â
Kira-kira sama maknanya menurut saya sendiri. Sumur sebagai sumber mata air yang bermanfaat untuk manusia. Nah, di dalam sumur itu ada Kompasiana yang menjadi sumber inspirasi  saya, yang mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca.