Meskipun anak-anak saya tidak mondok di pesantren, tapi keponakan-keponakan saya belajar menuntut ilmu di pondok pesantren. Saya merasa bangga mereka punya inisiatif sendiri untuk mondok dan didukung kedua orang tuanya. Kedekatan saya dengan lingkungan pondok pesantren karena sering mengantar keponakan ketika berangkat dan menjemputnya saat pulang ke rumah. Juga selalu komunikasi dengan pihak pesantren sehingga saya bisa memantau perkembangan keponakan melalui pengurusnya.
Meskipun jauh dari pantauan keluarga, mereka selalu menjaga nama baik dengan belajar tekun dan tidak melanggar aturan-aturan yang diterapkan. Kegiatan di luar pesantren juga diikuti apalagi sambil sekolah dan kuliah. Otomatis banyak kegiatan-kegiatan yang tidak boleh ditinggalkan. Praktis waktu istirahat hanya beberapa jam saja. Itupun di malam hari setelah mengikuti pengajian rutin. Bangun pagi juga harus gasik karena shalat tahajud. Pagi-pagi sebelum berangkat sekolah juga mengikuti kajian kitab-kitab dulu.
Hidup jauh dari orang tua dan keluarga adalah salah satu tantangan bagi mereka. Tapi mereka merasa bangga dan senang bisa menimba ilmu agama dan umum di pesantren. Di pondok pesantren yang santrinya 2.500 lebih itulah keponakan saya menikmati masa anak-anak dan remaja.
Hal yang paling dikhawatirkan keluarga adalah masalah kesehatan. Sering para santri mengalami keluhan-keluhan kesehatan. Yang sering terjadi adalah wabah penyakit kulit. Mungkin karena santri-santri kurang menjaga kesehatan, atau juga akibat lingkungan pesantren yang kurang bersih. Yang pasti dalam satu ruangan besar ada yang sampai puluhan anak tinggal bersama. Juga sakit perut yang banyak dialami karena mungkin pola makan yang kurang teratur.
Dalam kondisi sakit selagi tidak parah sekali, santri ditekankan untuk tetap mengaji. Untuk pulang dulu ke rumahpun kadang tidak diijinkan. Selagi masih mampu diurus oleh pihak pesantren dengan berobat ke dokter di lingkungan pesantren misalnya, santri tidak boleh dijenguk. Kedisplinan aturan tersebut tentu punya tujuan baik, bisa jadi untuk melatih kemandirian santri tersebut dan juga tidak ketinggalan pelajaran. Kecuali jika benar-benar parah dan harus dirawat di rumah sakit atau di rumah sendiri yang membutuhkan perawatan keluarga, santri baru boleh pulang setelah mengurus proses perijinan.
Diantara suka dan duka menjalani kehidupan di pesantren terselip harapan para santri sebagai aset bangsa dan agama. Keberadaannya di masyarakat pun sangat dibutuhkan. Banyak politisi yang duduk di pemerintahan pusat maupun daerah adalah alumni pesantren. Banyak juga yang jadi pengusaha. Penceramah-penceramah kondang belajar ilmu agama dari pesantren. Tidak bisa dibayangkan, tanpa santri kehidupan bermasyarakat dan juga dalam pemerintahan bisa amburadul karena tidak ada penyeimbang dari segi agama.
Sejak ditetapkannya hari santri semakin semarak dan semangat memperingati hari santri setiap tahun. Tantangan berbangsa dan bernegara ada di pundak para santri juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H