Hari ini, tanggal 10 Oktober hari kesehatan jiwa sedunia. Dalam hati saya bertanya, berarti selain hari ini disebut hari apa...? Hari tidak sehat jiwa kah ? Haha... Mungkin begitulah jawaban yang tidak sehat jiwanya, hehe...
Mens Sana in Corpore Sano, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Aduh, saya bolak - balik mencerna kalimat dari slogan tersebut kok sepertinya sedikit terganggu nih...
Menurut saya, ini menurut saya pribadi lhoh dan bukan bermaksud merusak pepatah yang sudah populer sejak  jaman nenek moyang kita, mungkin lebih pas kalau slogan itu berbunyi:
"Di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat."
Bukankah tanggal 10 Oktober ini juga hari kesehatan jiwa sedunia? Bukan hari kekuatan jiwa sedunia? Haha... Tapi saya yakin dengan diri saya kok, kalau pikiran dan  jiwa saya masih sehat.
Terlepas dari ulasan konyol di atas, pada dasarnya saya baru saja mengalami gangguan jiwa selama lebih kurang delapan bulan. Tapi ngga parah-parah amat sih. Sejak meninggalnya bapak saya tanggal 4 Januari 2022 karena luka sedikit pada kaki akibat mengalami kecelakaan beberapa hari sebelum meninggal. Dan menyusul adik perempuan saya satu - satunya usia 42 tahun meninggal 13 hari setelah bapak saya meninggal. Lalu adik perempuan ibu saya juga meninggal dalam waktu yang berdekatan. Hanya beda 10 hari sebelum sepupu saya meninggal juga. Semua itu membuat saya sangat terpukul. Kenangan - kenangan indah dengan orang - orang yang saya sayangi, sangat membuat saya bersedih. Rasanya seperti mimpi saja, hanya dalam waktu yang berdekatan harus kehilangan beberapa anggota keluarga tercinta. Saya sudah berusaha ikhlas dan menerima kenyataan takdir Allah. Tapi mungkin butuh proses, butuh waktu yang tidak sebentar meskipun banyak anggota keluarga lain yang menghibur dan tentunya mendoakan saya.
Ada satu hal yang sangat menyiksa hati dan pikiran saya, yaitu ketika mendengar suara rekaman shalawat tarkhim yang diputar di masjid sebelum adzan . Saat itu juga entah sedang aktivitas apapun saya langsung menangis dan rasanya ingin langsung berlari ke rumah sakit dimana adik perempuan saya dirawat selama satu bulan lebih. Perih hati saya seperti disayat-sayat. Kondisi seperti itu dirasakan setiap mau memasuki waktu shalat wajib. Terkadang ketika saya sedang berada di manapun di luar rumah tak merubah perasaan saya ketika mendengar shalawat tarkhim. Anehnya setelah dengar suara adzan, perasaan saya berangsur-angsur normal kembali. Saya sadar, bahwa saya ada kekhawatiran jiwa saya nantinya terganggu lebih parah. Saya juga takut perasaan yang seperti trauma bisa berakibat buruk pada kesehatan fisik maupun mental saya.
Berbagai saran keluarga  sudah saya jalani. Masukan-masukan untuk mencari solusi saya ikuti. Hanya saja sejauh ini saya baru mencoba ke beberapa orang  kyai  untuk meminta bantuan doa-doa dan kadang dibawakan air putih yang sudah dibacakan doa sebagai sarana supaya jiwa saya tenang.
Efek dari usaha saya tersebut hanya baru dirasakan berapa persen, kadang saya masih mengalami kondisi yang sama. Bedanya saya berusaha langsung mengalihkan atau mengerjakan apapun ketika mau memasuki waktu adzan.
Praktis, saya belum pernah mencoba ke psikolog atau psikiater, entah mana yang lebih tepat didatangi untuk konsultasi dan menormalkan jiwa saya kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H