Mohon tunggu...
Ichio Ayomiku Nathalie
Ichio Ayomiku Nathalie Mohon Tunggu... Lainnya - Bersekolah di SMAK 5 Penabur

A long life learner, economy and accounting enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Penggambaran Masa Orde Baru dalam Novel Berjudul "Namaku Alam" Karya Leila Chudori

19 November 2024   05:14 Diperbarui: 19 November 2024   10:41 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Penggemar buku fiksi sejarah tentu tak asing lagi dengan wanita bernama Leila Salikha Chudori. Karya-karyanya seperti Laut Bercerita yang juga mengangkat orde baru sebagai tema, Pulang, dan Namaku Alam menjadi novel kegemaran pembaca, baik yang menggemari novel fiksi sejarah maupun tidak. Melalui buku-bukunya yang mengandung sejarah, ia bermaksud untuk mengajarkan dan mengenalkan kita kepada sastra dan fiksi sejarah, sekaligus masa-masa sejarah Indonesia yang seringkali tidak diajarkan di sekolah.

     Novel Namaku Alam mengangkat cerita bersuasana tahun 1965-1980 an, yang merupakan periode orde baru. Orde dimana Soeharto menjabat karena adanya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang bahkan masih dipertanyakan kebenarannya. Namaku Alam mengangkat kisah tentang seorang pemuda bernama Sagara Alam yang memiliki photographic memory, yaitu kemampuan untuk mengingat kembali kejadian masa lalu dengan sangat rinci dan akurat. Salah satu photographic memory yang terkenang di pikirannya adalah ketika aparat menodongkan pistol kepadanya ketika ia masih kecil. Alam lahir pada tahun 1965, tepat ketika kejadian G30S terjadi. Ayahnya adalah tahanan politik dan seorang wartawan dituduh dekat dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), kelompok seniman dan intelektual yang juga pernah cekcok dengan Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Ayahnya pun diburu dan akhirnya ditembak mati. 

     Peran sebagai ayah dilanjutkan oleh Om Aji. Akan tetapi, peran ayah yang diberikan oleh Om Aji tidak hanya berlaku bagi Alam saja, tetapi juga bagi Bimo, sahabat karib Alam. Senasib dengan Alam, Bimo adalah anak dari Nugroho, yang menjadi eksil di luar negeri akibat dituduh memiliki keterlibatan dengan gerakan komunis dan menyuarakan suaranya. Ibu Alam bernama Surti merupakan wanita tangguh yang berjuang menghidupi ketiga anaknya, yaitu Alam, Kenanga, dan Bulan. Karena suaminya merupakan seorang buron, ia pun sering diintimidasi dan interogasi, bahkan pernah dilecehkan oleh pihak aparat. Sedari kecil, Alam dan Bimo dihantui dengan cemoohan seperti anak tiri negara, anak pengkhianat negara, hingga anak janda gatal. Keduanya seringkali menjadi sasaran cemoohan dan hinaan dari lingkungan sekitar.

     Terdapat satu kalimat di dalam novel yang paling menohok saya “Pencatatan sejarah negeri ini sangat buruk, Alam. Kita digenggam penguasa, dan mereka yang menentukan arah sejarah Indonesia sesuai kepentingan mereka memelihara kekuatan dan kekuasaan.” Kalimat ini mengingatkan saya dengan quotes berbunyi “Sejarah ditulis oleh para pemenang.” Kontrol atas sejarah yang dijalankan oleh mereka yang berada di posisi kuat atau pemenang, yang dalam hal ini adalah rezim Orde Baru. Mereka yang kalah atau yang menjadi korban tidak memiliki kendali atas bagaimana sejarah mereka dicatat dan dipahami oleh generasi berikutnya. Ini menunjukkan bagaimana pencatatan sejarah seringkali menjadi alat untuk memelihara kekuasaan, dan bagaimana narasi sejarah yang kita ketahui bisa sangat dipengaruhi oleh siapa yang menulisnya.

     Secara keseluruhan, novel ini mengangkat tema orde baru dimana Indonesia sebagai negara demokrasi tidak mencerminkan kata demokrasi itu sendiri. Hak untuk menyalurkan pendapat tidak diperbolehkan. Selain itu, novel ini juga menceritakan betapa tidak dihargainya dan tidak dijunjungnya hak asasi manusia pada masa orde baru. Tidak hanya mengangkat kisah orde baru, novel ini juga mengangkat tema mengenai wanita, tentang betapa tangguhnya wanita yang direpresentasikan melalui ibu dari Alam. Novel ini dikemas dengan sangat baik, dengan gaya penulisan khas Leila Chudori. Alurnya mengalir dengan baik dan jelas sehingga pembaca tidak sulit memahami isi dari buku ini. Leila berhasil menggambarkan kondisi sejarah yang kejam pada masa itu. Hanya saja, novel ini terlalu terpaku dengan tokoh Alam, sehingga pembaca mungkin merasa bosan. 

     Novel ini is definitely worth it, baik dari segi harga maupun segi waktu. Banyak pengetahuan baru yang didapat dari membaca buku ini. Sangat direkomendasikan bagi penggemar novel fiksi sejarah bahkan yang tidak sekalipun, akan tetapi novel ini sangat bagus untuk remaja karena banyak pengetahuan baru mengenai sejarah yang tidak diajarkan di sekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun