Mohon tunggu...
imelda bachtiar
imelda bachtiar Mohon Tunggu... -

Penulis, penyunting buku, pemerhati sejarah, pemikiran, isu perempuan dan gender di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Inspirasi dari 7 Hari, 1.500 Kilometer Mengelilingi Tibet. Karya Feby Siahaan Penerbit Buku Kompas, November 2014.

17 November 2014   15:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:37 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

­­­Saya cuma punya satu kalimat, “Wow! Saya jadi pingin ke Tibet dan melihat puncak-puncak Himalaya dari dekat!”

Itulah yang saya alami selesai membaca 270 halaman buku 7 Hari, 1.500 Kilometer Mengelilingi Tibet karya Feby Siahaan ini. Feby, rekan lama saya sesama wartawan Majalah D&R di tahun 1998-2000, berhasil meyakinkan pembacanya, bagaimana orang biasa pun bisa saja naik ke dataran tinggi Tibet dan menyaksikan Himalaya dengan mata telanjang di ketinggian lebih dari 5.000 meter a.s.l (above sea level-atas permukaan laut).

“Orang biasa” yang saya maksud adalah kebanyakan dari kita: bukan pencinta alam, tidak pernah naik gunung sebelumnya –bahkan gunung-gunung kisaran 2.000 sampai 3.000 meter di tanah air-, bukan terbiasa berolahraga, punya keterbatasan fisik karena usia yang tak lagi muda dan bukan backpacker traveller alias petualang yang suka jalan-jalan ke luar negeri dengan ransel “segede gaban” yang terpanggul di punggung serta bujet terbatas.

Feby dan empat orang teman seperjalanannya -kesemuanya perempuan- adalah tipikal pekerja kantoran yang biasa menyetir mobil sendiri pulang pergi kantor di kawasan elit Jakarta, sering juga jalan-jalan menghabiskan waktu liburan akhir tahun ke luar negeri, tetapi tentu saja bukan jalan-jalan hemat dengan medan alam mahasulit di kawasan atap dunia seperti Tibet. Akomodasi liburannya tentulah hotel bintang 4-5, bukan kamar berdinding kayu tanpa toilet seperti yang Old Tingri (4.300 m a.s.l), kota kecil ketiga yang mereka jelajahi di Tibet.

Saya sangat menyukai gaya tutur buku ini, bersemangat, lucu dan penuh energi seperti saya mengenal penulisnya 14 tahun lalu. Khas wartawan,  karena begitu rinci menjelaskan sesuatu pada pembaca, sehingga kita semua merasa ada di tempat kejadian. Satu lagi, ini bukan buku perjalanan biasa, semisal kita membaca karya-karya Agung Basuki, yang juga bagus dan informatif tentang lokasi dan harga-harga, tapi miskin dramanya.

Mulanya memang agak terganggu dengan ‘bahasa gaul’ yang digunakan Feby. Maklum, saya bukan penggunanya, baik di lini masa media sosial maupun dalam tulisan-tulisan saya. Tetapi, lama-kelamaan itu tergulung oleh keasyikan saya pada naik-turun cerita dan rincian objek yang digambarkan Feby. Paragraf ini adalah salah satu tuturannya yang fotografik.

“Keluar dari pintu imigrasi, suasananya langsung berubah. Totally different landscape. Man... we’re at the roof of the earth! Wajah-wajah Nepali berubah ke raut Tibetan yang mirip Mongol. Perpaduan Chinese dan India. Kulitnya tidak seputih Chinese, matanya juga tidak terlalu sipit. Mirip almond. Pipinya rata-rata merah kalau kena matahari. Maklum, biasa tinggal di gunung, tidak tahan panas. Hawanya juga lain... mungkin karena tidak ada polusi, dan dinginnya lebih chill.” (hal. 87).

Penyakit ketinggian (altitude mountain sickness-AMS) mungkin istilah yang sering kita baca, tetapi bagaimana orang biasa menyiasatinya, saya baru mendapat pencerahan dari buku ini. Yang saya tahu, orang biasa (apalagi kita yang tinggal di negara tropis) menjadi “malas” ada di ketinggian ribuan meter karena ngeri pada taruhan nyawa saat berada di sana: susah bernafas karena oksigen yang tipis dan kedinginan hebat sampai beku ujung-ujung anggota tubuh (frostbite).

Feby membagi tips tentang kondisi ini dan justru menyemangati semua orang yang bukan “anak gunung” untuk tidak takut pada AMS. Itu gejala alam, dan alam bagian dari kita, ciptaan yang Maha Kuasa. Jadi, pasti ada jalan untuk tubuh tetap oke dan bisa menerima kondisi AMS.

Tips itu dibagi di hampir setiap bab, karena memang perjalanan grup ini di Tibet merambah pada ketinggian-ketinggian 2.100 m a.s.l. (perbatasan Kodari) sampai dengan 5.050 m a.s.l.(Nylam/Lalung La Pass). Feby pun baru tahu, bahwa AMS efeknya berbeda-beda pada setiap orang. Misalnya, yang paling menarik dan aplikatif tertulis di halaman 170-172, yang saya cuplik di sini.

“Solusinya, saya harus berjalan SANGAT pelan, mungkin per 10 cm saja majunya. Dan begitu napas tersengal, harus berhenti 5-10 detik. Karena seperti saya sebut di atas, denyut jantung berdegup jauh lebih cepat di ketinggian dibanding di wilayah dataran rendah untuk satu gerakan yang sama. Intinya, kita harus ‘menipu’ paru-paru kita as if kita tidak bergerak, padahal kita bergerak tapi sangat pelan.” (hal. 170.)

Atau yang membuat saya tertawa geli,

“Oin mungkin paling parah kena efeknya. Semua nancep ke dia. You name it. Tengkuk berat, mata ngantuk, insomnia, nggak selera makan, napas pendek, dada sakit/nyeri, sarap tidak terkontrol, sampai jadi bolot alias mikir telat. Yang terakhir ini dia yang ngaku, lho.” (hal. 172.)

Setiap membaca tulisan perjalanan, ada satu yang tak pernah saya lewatkan: kuliner. Mungkin karena sangat suka mencoba makanan baru dan hampir tak pernah membawa makanan dari tanah air (semisal Abon, Sambel Botol, Kering Tempe Teri) kalau travelling ke luar negeri, saya jadi selalu ingin tahu kayak apa makanan setempat. Ternyata makanan lokal Tibet tidak pernah direkomendasi Feby. Ia menyebutnya terlalu berminyak dengan undefined taste yang dicurigai berasal dari daging Yak (binatang sejenis Sapi, tetapi lebih mirip Bison, yang berkeliaran di sana.) Tetapi, satu tuturannya soal makanan Tibetan kembali menerbitkan tawa saya ketika membacanya.

“... Falsafah Tibetan dalam membunuh hewan untuk urusan perut adalah: kalau jumlah manusia yang menikmatinya sama, lebih baik membunuh binatang yang sekalian berukuran BESAR tetapi cukup seekor, dibanding hewan-hewan kecil tetapi banyak. Sembarangan mengambil nyawa makhluk hidup, sangat berat pertanggungjawabannya nanti di kehidupan berikutnya. Jadi, jangan berharap bisa menemukan menu ikan teri sambal di tempat ini. Mustahil.” (hal. 216.)

Saya mencatat beberapa kekurangan soal ketidakakuratan yang mungkin bisa diperbaiki Feby dalam edisi cetak ulang. Yakin deh! Buku ini  pasti cetak ulang. Pertama, catatan waktu. Dalam sebuah catatan perjalanan, yang pasti ingin diketahui pembaca adalah berapa jarak tempuh dan waktu tempuhnya. Jarak tempuh, sudah lengkap informasinya, tetapi waktu tempuh, belum. Misalnya, di halaman 181, “Pukul 08.13 mobil menepi untuk mengisi bahan bakar, sekalian saya pipis sebentar...”.

Saya lalu membolak-balik halaman sebelumnya untuk menjawab pertanyaan dalam hati, apakah mereka bermobil semalaman? Memang tertulis dua baris di atasnya, 8 malam, saya masih kurang yakin. Ternyata yang dimaksud adalah: Pukul 20.13. Beberapa perjalanan dari satu titik ke titik berikutnya, juga tidak ada waktu tempuhnya, jadi tak bisa memperkirakan lamanya mereka bermobil. Memang untuk kecepatan yang tidak bisa lebih dari 40 km/jam, waktu tempuhnya bisa diperkirakan, tetapi ini supaya pembaca nyaman saja, dan tak perlu berhitung lagi, baik juga langsung ditulis.

Lalu, yang paling mengganggu saya adalah ketika Qian Pa, pemandu perjalanannya yang penduduk setempat, bertanya (tentunya dalam bahasa Inggris), apakah Indonesia sama dengan negaranya dan memiliki gunung-gunung seperti ini.

Jawaban Feby, bahwa Indonesia adalah negara tropis, kepulauan, yang dikelilingi laut, dengan pegunungan yang tingginya hanya 3.000-an, menurut saya, salah, atau setidaknya kurang lengkap. Kita memiliki Pegunungan Jayawijaya di Provinsi Papua dengan beberapa puncak yang tingginya ada yang mencapai 7.000-an meter. Salah satu fenomena alam yang sangat menakjubkan, karena puncak-puncak Pegunungan Jayawijaya diselimuti salju abadi. Salju abadi di negara tropis, satu-satunya di dunia. Belum pernah melihat langsung, tetapi Pegunungan Jayawijaya adalah dongengan almarhum ayah saya yang seorang flight engineer, ketikadi masa pembebasan Irian Barat tahun 1963-1967 menetap dan bekerja di Biak, karena tergabung dalam UNTEA (pemerintahan transisi PBB setelah Papua yang dulu masih disebut Irian Barat, bergabung dengan Republik Indonesia). Ia sering melintasi pegunungan itu bersama pesawatnya, dan karena pesawatnya berbaling-baling, memungkinkannya terbang rendah dekat sekali dengan punggung dan puncak gunung-gunung itu.

“Puncaknya yang putih tertutup salju yang tak pernah mencair, tetapi dari sisinya matahari bersinar, membuat gunung itu berkilau. Bergetar hati waktu menatapnya,” begitu kata Ayah kepada saya sejak saya duduk di bangku SD. Cerita yang sering diulang itu membuat saya selalu ingin ke sana, tapi sampai sekarang pun belum terkabul impian ini.

Bersama Mt. Everest, The Himalayas, salah satu puncak Pegunungan Jayawijaya ini, The Carstensz Pyramid (4.884 m), masuk dalam catatan rekor dunia sebagai salah dua dari tujuh puncak dunia: The Seven Summits, The highest mountains on the seven continents, yang menjadi magnet pendaki gunung profesional sedunia. Urutannya dari yang tertinggi: Everest, Asia (8.850 m); Aconcagua, Amerika Selatan (6.962 m), Denali, Amerika Utara (6.194 m);  Kilimanjaro, Afrika (5.895 m); Elbrus, Eropa (5.642 m); Vinson, Antartika (4.897 m); Carstensz Pyramid, Indonesia (4.884 m). http://7summits.com/.

Tetapi, kritik ini semua tentu tidak mengurangi salut dan rasa ikut bangga atas terbitnya buku ini! Saya tunggu buku-buku tentang perjalanan selanjutnya ya, Feb!

Tulisan ini, awalnya berakhir tepat sebelum saya berangkat ke diskusi dan peluncuran buku ini di Gramedia Grand Indonesia, 15 November 2014. Suasana diskusi meriah dengan berbagai pertanyaan terkait bujet perjalanan (maklum yang datang setengahnya adalah budget traveller, termasuk saya).

“Berapa biaya perjalanan ini?”

“Kurang lebihnya Rp. 23-24 juta.”

“Waaaa.... mana sanggup?!”

“Tapi semuanya terbayar dengan saya menatap langsung Everest, dan mengunjungi tanah Tibet. Dua impian masa kecil saya.”

Feby benar, tak ada yang terlalu mahal untuk mewujudkan impian masa kecil. Jayawijaya, aku datang! Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun