Tidak aman. Adalah kesan yang timbul ketika menelusuri Pattani Darussalam, alias empat provinsi di selatan Thailand, Songkhla, Pattani, Narathiwat, dan Yala. Tidak terlalu salah. Sampai kini, utamanya di Pattani, Yala dan Narathiwat, konflik masih terus terjadi. Wujudnya bermacam-macam, penembakan misterius, bom mobil, ranjau di jalan umum, serangan bersenjata terstruktur, dan lain sebagainya.
Kesan tidak aman tersebut amat jelas terlihat ketika menelusuri jalan-jalan raya utamanya. Tentara terserak di mana menjaga banyak daerah-daerah penting. Di pasar ada tentara. Di sekolah-sekolah ada tentara. Di depan rumah sakit ada tentara. Di sekitar kantor pemerintah ada tentara. Mobil humvee, jeep tentara, motor militer hingga kendaraan tempur taktis militer mudah ditemukan di mana-mana. Patroli tentara bergerak setiap saat menyandang senapan tempur taktis seolah siaga setiap saat menghadapi serangan tiba-tiba.
Dari pertama menginjak Pattani Darussalam pada Januari 2007 hingga kunjungan terkini pada Desember 2014, saya melihat pemandangan yang sama. Barikade tentara dan polisi (military/police checkpoint) terserak di jalan-jalan utama dalam radius sekian kilometer. Mobil dan motor yang melalui dipaksa berjalan zigzag. Tidak sedikit pos pemeriksaan yang menghendaki pengemudi mobil untuk menyalakan lampu di dalam mobil, berhenti, melaporkan siapa penumpang dan ke mana tujuannya, mengecek kartu identitas dan juga memeriksa isi kendaraan. Cukup melelahkan memang. Jalanan Thailand Selatan yang rata-rata mulus dan lebar menjadi nampak sempit dan melelahkan akibat terlalu banyaknya barikade di tengah jalan.
Bila malam tiba, jalanan yang ramah mendadak agak menyeramkan. Utamanya di jalanan yang lewati perbukitan, hutan dan lembah. Ketika menembus malam di Yala dan Narathiwat, sahabat Pattani kami yang sekaligus driver (sebut saja Bang J) dengan entengnya berujar, “Di jalan ini tahun lalu lima polisi tewas tertembak.” “Di tempat ini ketika saya lewat beberapa minggu lalu baru saja terjadi penembakan terhadap polisi,” lanjutnya lagi. “Nah barusan kita lewat jalanan yang aspalnya rusak, itu karena pernah ditanam ranjau di dalamnya untuk meledakkan tentara atau polisi yang lewat jalanan ini.” Lalu… “Bapak lihat tanda seperti gapura itu yang seperti bermotif pewayangan? Nah itu tanda wilayah kekuasaan Melayu, dan biasanya ini adalah daerah merah,” tambahnya lagi dengan santai.
Malam menjadi semakin menyeramkan ketika sahabat kami berujar lagi, “Maaf saya tadi tak bilang. Baru saja mobil kita dibuntuti oleh motor misterius yang tampak memberi kode. Lalu ada motor yang tiba-tiba menyalip mobil kita dan melihat ke belakang. Seolah-olah ingin memastikan siapa penumpang mobil ini. Tapi itu sudah berlalu, dia sudah menghilang sekarang,” ujarnya lagi tenang (tapi tak urung membuat saya deg-degan). “Terus terang Pak, kalau malam hari saya tak berani lewat jalan perbukitan ini. Saya lebih baik menunggu pagi atau memutar ke jalan utama yang besar. Alhamdulillah juga saat ini hujan deras sehingga kemungkinan kita dihadang orang misterius lebih kecil,” lanjut Bang J santai.
Kendati membuat nyali mengkeret, bumi Pattani Darussalam sejatinya nyaman. Nyaman buat mata, nyaman buat hati. Buminya jauh lebih hijau daripada daerah Bangkok ataupun bagian-bagian utaranya. Sungai dan hutan terserak di mana-mana. Hujan kerap turun dan tak sedikit menyebabkan banjir. Kedai-kedai makanan halal dan ‘pemandangan halal’ terpampang sejauh mata memandang.
Pemandangan halal? Ya, inilah yang membuat Pattani Darussalam nyaman untuk dikunjungi. Terlepas bahwa ia tidak aman secara politik dan militer.
Berbeda dengan Bangkok, Pattaya, Phuket, Phang Nga, Hua Hin, Krabi, Chiang Mai, Chiang Rai dan tempat-tempat favorit turis lainnya di Thailand, negeri Pattani Darussalam hampir tidak pernah menjadi tujuan wisata baik bagi turis mancanegara maupun turis domestik. Coba saja tanyakan ke orang Thailand yang non-Pattani, pasti rata-rata tak pernah ke Pattani Darussalam terkecuali sedikit saja. Itu pun untuk urusan riset, seminar, kunjungan dinas, dan semacamnya.
Hal ini merugikan sekaligus menguntungkan. Merugikan karena citra Pattani semakin lekang sebagai daerah konflik yang tidak aman. Menguntungkan karena negeri ini tetap terjaga ‘pemandangan halal’-nya dan budaya Melayunya. Tak akan ada turis ‘bule’ berbusana ‘asal’ yang mengumbar aurat. Ataupun warga lokal yang bertingkah polah ala ‘farang’. Sejauh mata memandang, perempuan Pattani Darussalam selalu terlihat memakai jilbab dan busana muslimah, sementara kaum prianya apabila tak mengenakan sarung, kerap menjaga adab dengan busana menutup aurat.
"Saya bersyukur tinggal di Yala, walau saya tahu ini daerah konflik. Anak-anak saya terjaga pendidikan dan budayanya. Saya tak tahu apa yang terjadi dengan mereka kalau tinggal di daerah lain," ujar A, warga asli Indonesia yang tinggal di Yala dan menikah dengan warga Yala.
Anak-anak sekolah, kendati tak bersekolah di sekolah agama pun tetap busananya super sopan. Yang wanita mengenakan jilbab dan baju gamis lebar, sementara siswa pria juga berbusana islami. Tidak jarang, di banyak tempat, utamanya di pondok pesantren dan kampus, berseliweran para muslimah yang mengenakan cadar dan berbusana warna gelap. Sehingga, mereka yang melihatnya berkomentar, “Ini Thailand atau bukan sih? Kok malah mirip di Arab….”
Pemandangan orang-orang berarak pergi ke masjid untuk shalat lima waktu amat mudah dijumpai. Adzan masjid yang bergema di lima waktu shalat adalah keindahan yang lain. Tidak semua masjid di Thailand leluasa mengumandangkan adzan di lima waktu shalat. Lalu, ketika ashar dan maghrib tiba, anak-anak pergi mengaji ke masjid dan musholla. “Di kampong ini, setelah ashar sampai Isya, utamanya pada hari Sabtu dan Ahad, anak-anak biasa pergi mengaji ke masjid. Pagi sampai siang hari mereka sekolah di sekolah umum,” ujar Bang J. Sumpah, saya iri dengan suasana ini. Berapa banyak wilayah di Indonesia yang anak-anak daerahnya pergi mengaji berombongan ba’da ashar sampai Isya? Kini anak-anak Indonesia tersibukkan dengan kurikulum sekolah yang membuat mereka pulang sore. Sampai rumah mereka kecapaian. Belum lagi godaan gadget yang membuat mereka ‘mager’ (malas gerak). Bersibuk ria di depan handphone dan monitor laptop.
Keindahan lainnya adalah aksara Arab Jawi (Arab Melayu) yang berserak di mana-mana. Padahal di Jawi (baca: Jawa) sendiri aksara ini sudah tidak lagi digunakan. Bahkan banyak orang Indonesia masih bingung bagaimana cara membaca aksara Arab yang dimodifikasi ke dalam bacaan Melayu ini. Kita berbangga ria berbahasa Inggris dan bahasa lainnya dan lupa melestarikan warisan budaya Melayu Nusantara yang sempat hidup lama di Indonesia sebelum era penjajahan asing.
Kultur Melayu muslim khas Pattani Darussalam ini hebatnya terbawa juga ke mahasiswa asal Thai Selatan yang studi di kampus-kampus di Bangkok dan daerah Thailand lainnya. Bila kita mengunjungi Muslim Club atau Musholla di kampus-kampus seperti Chulalongkorn University atau Mahidol University, tak sedikit dari mahasiswa-mahasiswa asal Thai Selatan yang amat rajin shalat lima waktu, tetap menjaga aurat (pun ketika bermain futsal!), bagus bacaaan Qur’annya dan banyak pula hafalan qur’an-nya. Terkadang malu menatap diri sendiri yang berasal dari negeri muslim terbesar di dunia, namun dalam kebagusan bacaan dan banyaknya hafalan Qur’an masih kalah jauh dibandingkan mereka.
Menjadi minoritas dan tinggal di daerah konflik memang tidak mengenakkan. Namun tetap ada hikmahnya dan ada ‘kenyamanan’ lain yang belum tentu ditemukan di daerah lain.
Wallahua’lam
Heru Susetyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H