Mohon tunggu...
Heru Susetyo Nuswanto
Heru Susetyo Nuswanto Mohon Tunggu... Dosen - Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.M.Ag. Ph.D - Associate Professor Faculty of Law Universitas Indonesia

Associate Professor at the Faculty of Law University of Indonesia and Human Rights Attorney at PAHAM Indonesia. Studying Human Rights toward a degree (LL.M) at Northwestern Law School, Chicago, and Mahidol University, Bangkok (Ph.D. in Human Rights & Peace Studies). External Ph.D. researcher in Victimology at Tilburg University, Netherlands. Once a mountaineer, forever a traveler...and eager to be a voice for the voiceless people. Twitter : @herususetyo FB : heru.susetyo@gmail.com; e-mail : heru@herususetyo.com; IG : herususetyo2611

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Suami, TKW Bukanlah Istri Celaka, Bukan Pula Ibu Durhaka

19 Februari 2017   23:13 Diperbarui: 20 Februari 2017   19:35 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bekerja di luar negeri, apalagi di negeri hutan beton seperti Hongkong dan Macau, tentunya menjadi impian sebagian besar orang Indonesia. Hong Kong dan Macau menyajikan sensasi kehidupan yang berbeda. Dengan infrastruktur yang gagah, fasilitas yang modern, alam yang indah dan tetap hijau, pulau-pulau cantik yang terhubung dengan terowongan maupun jembatan laut maha panjang, serta jejak-jejak budaya kolonial Inggris dan Portugis yang masih terlihat jelas di sela-sela kehidupan masyarakat Tionghoa kelas menengah, membuat kedua negeri ini really worth visiting. 

Kenyataannya, di kedua negeri yang kini menjadi bagian (otonom) dari PRC (People Republic of China) ini memang banyak warganegara Indonesia yang bekerja. Sekitar 140.000 di Hong Kong, dan 4000-an di Macau. Sebagian besarnya perempuan, dan hampir semuanya bekerja di sektor rumah tangga (domestic worker), sebagai Pekerja Rumah Tangga, pengasuh/perawat bayi maupun perawat lansia.

Kendati berwajah mirip dengan pekerja migran asal Philippines yang berjumlah lebih banyak, Pekerja Migran Indonesia (PMI) mudah dikenali dari ciri ciri fisiknya. Sebagiannya mengenakan jilbab, sebagian besar berasal dari tanah Jawa, utamanya Jawa Timur dan Jawa Tengah, serta setiap hari Ahad mereka mudah dijumpai bercengkrama di sekitar Victoria Park, daerah Causeway Bay, Hongkong Island.

Namun ternyata, bekerja di hutan beton Hong Kong dan Macau tak hanya menjual mimpi dan menuai dollar, namun juga menuai derita. Tidak sedikit dari para pekerja migran perempuan tersebut yang menyimpan cerita duka dari tanah air.

Permasalahan terbesar mereka adalah masalah keluarga. Utamanya dengan suami, keluarga suami, keluarga sendiri, dan juga dengan anak-anak yang ditinggalkan. Karena, di samping sebagai pekerja migran, sebagian mereka adalah juga berstatus istri dan juga ibu di Indonesia. Mereka juga memiliki suami dan juga anak-anak. 

Tinggal jauh dari suami dan anak-anak, dan seringkali baru bisa pulang ke Indonesia minimal dua tahun sekali, atau tidak sedikit yang tiga atau empat tahun sekali, tentunya menuai masalah.

Semua keluarga dan rumahtangga memerlukan kehadiran istri dan juga ibu. Dan juga suami atau ayah, tentunya. Istri dan ibu yang lama tak hadir dalam rumah tangga, walaupun untuk tujuan yang amat mulia, yaitu membantu mencari nafkah untuk keluarga, sedikit banyak akan menimbulkan problem dalam rumah tangga.

Dan itulah yang memang sedang mereka alami. Suami marah, suami mendiamkan, suami berniat mentalak, suami mau menikah lagi. Tak sedikit juga di antara mereka mendapatkan kekerasan verbal dari sang suami, apakah via telepon ataupun social media. Permasalahan dengan anak-anak tercinta juga terjadi. Walau mereka tak pernah lupa mengontak rumah, bahkan setiap hari, tak pernah lupa mengirim uang sekolah, mengirim uang untuk membeli mainan sampai alat-alat elektronik dan motor, namun itu bukan segalanya yang diperlukan sang anak.

Kehadiran fisik sang Ibu tetap nomor satu. Dan sayangnya, itu yang mereka tak bisa berikan. Maka, cukup banyak Mbak-Mbak PMII yang depresi karena Sang Anak menolak berbicara dengannya, anak salah pergaulan, anak terjerumus obat-obatan dan kemaksiatan, sementara Sang Ayah sibuk sendiri, tak jarang disibukkan dengan istri barunya.

Sedihnya, sebagian suami mereka memang termasuk golongan suami koplak, alias tak tahu diri. Susah payah sudah Sang Istri bekerja mati-matian di Hong Kong, d imana hanya mendapat libur sehari saja di hari Ahad. Namun sang suami seolah tak peduli. Meneror istrinya dengan minta uang terus menerus, minta dibelikan handphone, minta dibelikan motor dan kebutuhan lain yang tidak urgent. Seringkali mereka menggunakan kebutuhan anak sebagai alasan. Lalu, apabila Sang Istri menolak, maka dengan entengnya Si Suami mengeluarkan senjata pamungkas, “Kamu akan saya ceraikan,” atau “Kalau begitu saya akan menikah lagi,” bahkan ada yang mengancam, “Kamu pulang nanti akan aku bunuh.”

Posisi tawar yang tidak seimbang, pendidikan yang rendah, pengetahuan hukum perkawinan dan keluarga yang minim, dan perasaan bersalah karena meninggalkan keluarga dalam waktu lama, membuat mereka seringkali cenderung mengiyakan saja apa kata suami. Tanpa perlawanan. Tanpa keinginan menggugat cerai, apalagi sampai melaporkan Sang Suami ke polisi. Berapa parahpun sang suami meng-abuse mereka, tetap saja mereka enggan melawan. Sebagian dengan alasan klise: masih cinta dengan suami dan berharap dia akan berubah…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun