Mohon tunggu...
Heru Susetyo Nuswanto
Heru Susetyo Nuswanto Mohon Tunggu... Dosen - Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.M.Ag. Ph.D - Associate Professor Faculty of Law Universitas Indonesia

Associate Professor at the Faculty of Law University of Indonesia and Human Rights Attorney at PAHAM Indonesia. Studying Human Rights toward a degree (LL.M) at Northwestern Law School, Chicago, and Mahidol University, Bangkok (Ph.D. in Human Rights & Peace Studies). External Ph.D. researcher in Victimology at Tilburg University, Netherlands. Once a mountaineer, forever a traveler...and eager to be a voice for the voiceless people. Twitter : @herususetyo FB : heru.susetyo@gmail.com; e-mail : heru@herususetyo.com; IG : herususetyo2611

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjuangan untuk Move On dari Luka Apartheid

7 Agustus 2016   10:42 Diperbarui: 8 Agustus 2016   20:27 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Saya enggan untuk bicara tentang politik dan diskriminasi akibat apartheid.   Karena saya ketika itu belum lahir.  I wasn’t there !” tandas seorang mahasiswi kulit hitam.

“Saya kira kita harus pertama-tama mengedepankan diri kita sebagai ‘human.’ Bukan bahwa saya adalah black people atau white people. Kita adalah ‘human’ . Kita sudah terlalu lama sejak 1994 dalam situasi seperti ini.  Sudah sepatutnya kita moving on.  Mau sampai kapan kita berada dalam situasi seperti ini?”  ujar seorang mahasiswi kulit hitam yang lain.

“Sejujurnya apartheid ini memang salah dan diskriminatif. Saya sebagai warga kulit putih ini di Negara ini juga turut merasa bersalah.  Sebagai pribadi saya ikhlas kalau harus menemui seorang kulit hitam di jalanan, yang tak saya kenal, lalu saya katakan pada dia : “will you forgive me?”, curhat Cornelis.  Professor kulit putih yang bekerja di Provinsi Limpopo.

“Buat saya sih,  kita amat perlu bicara tentang bagaimana move on dari apartheid dan menanggulangi para korbannya.  Tapi lebih penting lagi,  buat saya yang mahasiswi ini adalah, di negeri ini susah dapat pekerjaan, juga untuk lulusan universitas. Finding a job is a very tough now.  I have to make sure that I can have a job as soon as I graduate from this university,”  tukas mahasiswi kulit hitam yang menggunakan balaclava.

Di atas adalah cuplikan curhat dari para peserta  Victimology Course di University of Free State, Bloemfontein, South Africa, di awal Agustus 2016 ini.  Mereka sharing dan curhat pengetahuan, pemahaman, dan harapan mereka setelah mempelajari dan mendalami viktimologi.

Memang, luka apartheid masih belum hilang dari bumi Afrika Selatan.  Kendati ia telah secara resmi berakhir sejak tahun 1994, tahun dimana African National Congress memenangi pemilu dan Nelson Mandela menjadi presiden (setelah 27 tahun di-bui).

Terlalu lama memang diskriminasi tersebut.  Apartheid bermula sejak tahun 1948 ketika National Party, partai berkuasa ketika itu, melahirkan legislasi yang membatasi dan men-segregasi masyarakat Afrika Selatan atas warna kulit-nya.   Apartheid meneguhkan superioritas minoritas kulit putih terhadap mayoritas kulit hitam melalui pelbagai aturan yang amat membelenggu, membatasi dan meminggirkan warga kulit hitam.  Manusia tidak dianggap sama.  Untuk setiap ras, ada perbedaan hak dan kewajiban.  Paling superior tentunya ras kulit putih.  Setelah itu adalah ras inferior, utamanya kulit hitam, coloured people dan Indian South African.

Secara formal apartheid berakhir 46 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1994.  Namun luka dari apartheid tak dapat dibilang sudah berakhir sejak 1994.

“Sampai kini di kota Bloemfontein ini masyarakat kulit hitam dan kulit putih masih tinggal di daerahnya sendiri-sendiri.  Walau tak ada peraturan apapun yang melarang mereka untuk tinggal bercampur,” papar Herma, seorang warga kulit putih di Bloemfontein.

Terkadang saya merasa tidak aman di rumah sendiri. Beberapa kali rumah saya dirampok orang sehingga saya memutuskan untuk mengungsikan anak istri saya ke Negara asal istri saya,” cerita Barkhu,  juga warga kulit putih yang pernah tinggal di Eastern Cape.

Hema dan suami,  warga keturunan Indian yang tinggal di Durban,  provinsi Kwazulu-Natal,  merasakan kegelisahan yang sama.  Mereka bukan warga kulit putih maupun kulit hitam.  Namun luka lama apartheid turut mempengaruhi mereka.  “Negeri ini tidak aman dan sarat kejahatan.  Memang di Johannesburg adalah wilayah  paling rawan kejahatan, namun dimana-mana sama saja.  Kemanapun kami pergi,  mobil wajib dikunci dan kaca ditutup.  Kalau tidak, akan rawan jadi korban carjacking.  Rumah juga kami tutup rapat dan anak-anak sejak kecil sudah kami ajari untuk tidak mudah berhubungan dengan orang yang tak dikenal.” Papar Hema. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun