Mohon tunggu...
Hasan Nur Aminudin
Hasan Nur Aminudin Mohon Tunggu... Insinyur - Just Look Around 🌏

Geography UI 2009, Mapping Officer at PT. Jaya Real Property, A Husband, A Father, and A Man who trying to do the right thing in life

Selanjutnya

Tutup

Politik

Arif Menyikapi Perbedaan, Bersatu Memperkokoh Kepribadian

17 Desember 2017   20:47 Diperbarui: 8 Januari 2018   09:53 1581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sholat Jum'at 212 2016. sumber foto: tribunnews.com

Tidak bisa dipungkiri kini umat muslim di Indonesia seperti sedang terbangun dari tempat tidurnya. Semangat beragama (islam) hari-hari ini terlihat sedang bangkit. Muatan agama yg dahulu hanya dijumpai dan dibincangkan di pesantren-pesantren dan masjid-masjid, kini dengan mudah dijumpai pada gadget kita dan dibincangkan dalam kehidupan sehari-sehari. Yg "hijrah" pun bukan jumlah sedikit. Kita bisa liat, secara kasat mata misalnya, kajian-kajian keislaman selalu penuh, celana cingkrang dan berjenggot menjadi tren, dan semakin banyak perempuan-perempuan yg memakai hijab. Dari segi yg lebih luas lagi, ekonomi misalnya, semakin banyak muslim yg "melek" akan ekonomi syariah sehingga bank-bank syariah pun kian hari kian marak. Tentu hal ini merupakan suatu hal yg positif bagi kita dan bagi islam tentunya. Apalagi islam sebagai agama terbesar di Indonesia, harapannya tentu bukan saja islam unggul secara kuantitas, tetapi juga diharapkan berbobot dalam kualitas dan menjadi contoh bagi muslim dunia.

Namun perkembangan ini bukannya tanpa efek samping. Sebagaimana lazimnya, setiap perubahan pasti akan mengalami benturan. Begitu jg fenomena yg sedang kita bahas ini. Kita saksikan hari-hari ini umat islam banyak mengalami benturan pemikiran baik di dunia maya, juga di dunia nyata. Bahkan benturannya sudah mengarah pada benturan yang tidak sehat. Benturannya bisa dalam hal fiqih, muamalah, politik, juga dalam hal bernegara. Penyebabnya sederhana sebenarnya, karena islam yg sedang berkembang tidak dalam satu gerbong yg sama. Bukan saya ingin mengkotak-kotakan, tetapi memang faktanya demikian. Islamnya tidak ada masalah, tetapi ide dan pemahaman-pemahamannya yg menjadi berbeda-beda. "Loh kok bisa?"

Banyak yg mengatakan Indonesia di bawah rezim Orde Baru sangat protektif terhadap ancaman-ancaman stabilitas negara, termasuk protektif terhadap ancaman ideologis dari agama sehingga bukan hanya paham-paham dari luar saja yg tidak bisa masuk, bahkan yg sudah ada pun sangat dibatasi pergerakannya. Namun memasuki Era Reformasi, semua bebas saja masuk, semua menjadi tak terbendung. Paham-paham apa saja masuk ke Indonesia, termasuk pemahaman-pemahaman islam yg bersumber dari negara lain. Kita bisa lihat contohnya paham "Wahabi" yg diimpor dari Saudi, "Syiah" dari Iran, "Ikhwanul Muslimin" dari Mesir, "HTI" dari Palestina, "Jamaah Tabligh" dari India, dan masih banyak lagi. Ini berbeda dengan pemahaman Islam oleh NU dan Muhammadiyah misalnya, yg merupakan ormas yg sudah ada bahkan sebelum Indonesia merdeka sehingga bisa dikatakan sudah membumi dan sangat paham dengan karakteristik budaya Indonesia.

Pada perjalanannya, paham-paham dari luar tadi dalam sebagian hal pasti akan berbenturan dengan tradisi ber-islam yg sudah ada. Signifikansi problem tersebut semakin meningkat seiring suksesnya dakwah aliran-aliran tsb, ditambah lagi dengan pesatnya informasi di era sosmed ini. Suksesnya dakwah tentu adalah hal yg baik. Namun, karena aliran-aliran tsb datangnya dari luar, sudah barang tentu yg dibawa bukan hanya ajaran islam sebagai substansinya saja, tetapi juga melekat padanya aspek budaya, tradisi, sikap juga pemahaman politik dari negara asal paham-paham tsb. Jika dilihat dari substansi saja, tentu tidak ada masalah, sebab Nabi pun bukan lah orang Indonesia. Tetapi nyatanya islam bisa sampai kesini dan tidak bertentangan dengan budaya masyarakat kita dan bahkan menjadi negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia.

Masalahnya adalah tipologi atau corak berislam yg sudah ada dan eksis di suatu tempat belum tentu akan sesuai ketika diterapkan di tempat lain. Sebab karakteristik manusia dan budaya di berbagai tempat atau dalam hal ini negara, tidaklah sama. Sebagai contoh misalnya golongan "Wahabi" yg cenderung berpemahaman tekstual dan kaku pasti akan berbenturan dengan NU yg cenderung kontekstual dan luwes. Akibatnya adalah apa yg kita saksikan hari-hari ini. Label atau cap bid'ah, dolalah, musyrik, bahkan kafir, dengan mudahnya di umbar di tengah-tengah masyarakat. Padahal yg diributkan pun seringnya bukanlah hal yg pokok, hanya soalan furu'iyah yg para ulama pun sudah membolehkan adanya perbedaan. Mungkin pemahaman dan sikap yg seperti itu tadi cocok-cocok saja diterapkan di negara asalnya. Tetapi ketika dibawakan kesini yg terjadi adalah culture shock, sebab meskipun karakteristik orang indonesia cenderung tenang, nrimo, mengalah, tetapi jika "diserang" terus ya pasti gerah juga. Persoalan model begini sebetulnya juga bukan barang baru, NU dan Muhammadiyah pun dulu (puluhan tahun yg lalu) pernah begitu. Tetapi Alhamdulillah sekarang sudah tidak lagi, sebab masing-masing sudah lebih dewasa. Bisa dibilang sudah lulus ujian pendewasaan bermasyarakat dan bernegara.

Contoh lain misalnya golongan Hizbut Tahrir (di Indonesia HTI), suatu gerakan politik yg misinya mewujudkan berdirinya khilafah. Ini jelas akan berbenturan dengan negara, apalagi Indonesia sudah bersepakat menggunakan ideologi Pancasila. Konsep Khilafah sendiri masih menjadi perdebatan dikalangan umat islam. Sebagian besar memilih lebih realistis dengan memperjuangkan islam pada tempatnya masing-masing ketimbang bersikap utopis memperjuangan khilafah yg fakta lapangannya kini sangat sulit didirikan. Kalau dilihat dari segi dakwahnya sebetulnya tidak ada yg salah. Ustadz Felix Siauw misalnya, yg dikatakan sebagai orang HTI, justru beliau menjadi wasilah bagi banyak orang dalam berhijrah. Kita patut mengapresiasi untuk itu. Namun pandangannya soal khilafah memang menjadi berbahaya jika dilihat dari sudut pandang negara. Jikalaupun ingin berpolitik, tentu akan lebih fair dan realistis menurut saya, dengan membentuk partai politik seperti yg dilakukan Ikhwanul Muslimin dengan PKSnya atau NU dengan PKBnya, ketimbang hanya berupa konsep yg menjadi utopia belaka.

Pada intinya, semua elemen umat islam, sesungguhnya memiliki misi yg sama, yakni keinginan untuk melaksanakan ajaran islam dalam semua aspek kehidupan (kaffah). Perbedaan terletak pada pemahaman dan cara merealisasikan keinginan tsb. Perbedaan yg seperti ini merupakan suatu keniscayaan, apalagi dengan iklim demokrasi yg kita anut. Memaksakan satu pemahaman saja justru merupakan suatu pengkerdilan cara berpikir demokratis. Namun umat Islam, khususnya umat Islam di Indonesia, harus menyadari bahwa persatuan adalah lebih utama. Bukan hanya persatuan dalam sesama Umat Islam saja, tetapi juga persatuan sesama Anak Bangsa. Kita harus menyepakati suatu konsensus dalam beragama dan bernegara. Menyepakati apa yg menjadi pokok dalam berislam seperti tauhid yg sama, kitab yg sama, nabi yg sama, dan kiblat yg sama. Juga menyepakati apa yg menjadi pokok dalam bernegara yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara, sehingga menjadi jelas apa yg menjadi kepribadian bangsa kita. Tetapi jangan juga memainkan politik identitas yg berbasis klaim sepihak, seperti ungkapan-ungkapan yg sering kita dengar akhir-akhir ini, "Saya paling Sunnah dan Saya paling Islam, siapa yg beda dengan saya berarti bukan Islam", pun tidak bedanya "Saya Pancasila dan Saya NKRI, siapa yg beda dengan saya berarti bukan Pancasila". Klaim seperti ini tentu menjadi suatu hal yg kontraproduktif dalam usaha menjaga persatuan bangsa.

Semangat berislam sangat bisa menjadi momentum persatuan umat. Di sisi lain juga sangat bisa menjadi potensi perpecahan jika kita tidak bisa mengelolanya dengan baik. Pun jika ditemplate pada level bernegara, isu perbedaan bisa menjadi suatu kelemahan (yg bisa dimanfaatkan pihak-pihak lain) yg sangat bisa menghancurkan bangsa dan negara kita. Kondisi kita hari ini sedang digempur oleh banyak sekali paham-paham asing yg sama sekali berbeda dengan pribadi bangsa kita seperti Liberalisme, Komunisme, Ateisme, Sekularisme, Materialisme, Radikalisme, Sektarianisme, dan banyak lagi. Adalah tugas kita membentengi diri dan berkomitmen menjaga persatuan. Arif lah dalam menyikapi perbedaan, dan kita bersatu untuk memperkokoh kepribadian.

Sekian

Salam          

          

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun