Mohon tunggu...
Sotardugur Parreva
Sotardugur Parreva Mohon Tunggu... -

Leluhurku dari pesisir Danau Toba, Sumatera Utara. Istriku seorang perempuan. Aku ayah seorang putera dan seorang puteri. Kami bermukim di Jawa Barat.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mencermati Video "Live Streaming" Konferensi Pers Pertemuan SBY dan Prabowo

30 Juli 2017   21:57 Diperbarui: 31 Juli 2017   07:42 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pengertian PT (presidential threshold) adalah ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon presiden atau wakil presiden. Maksud PT 20-25% adalah parpol atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen jumlah kursi di DPR dan/atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu sebelumnya.[1]  Lepas dari adanya pihak yang keberatan terhadap PT, melihat perjalanan waktu hingga munculnya PT, dapat disimpulkan bahwa PT merupakan satu dari sekian 'saringan' untuk menentukan calon presiden dan calon wakil presiden, agar calon presiden dan calon wakil presiden benar-benar pilihan 25% pemberi suara pada pemilihan wakil rakyat sebelumnya. 

Para wakil rakyat dan Pemerintah berdiskusi, bertukar pikir, berbagi informasi untuk menghasilkan pemilihan umum yang semakin bermutu. Maka, simpulan itu dapat dimaknai sebagai hasil pemikiran dan perembugan rakyat yang diwakili anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat -- lepas dari benar atau tidak mewakili rakyat) beserta Pemerintah.

DPR akhirnya mengesahkan RUU (Rancangan Undang-undang) Pemilu menjadi UU (Undang-Undang) Pemilu setelah melalui proses sidang paripurna yang panjang dan diwarnai aksi walk out Jumat (21/07) dini hari.[2]  Walk out dilakukan oleh Fraksi PAN, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi PKS.[3]   UU Pemilu tersebut memuat PT 20-25%. Selain memuat materi PT, UU Pemilu juga memuat empat materi lainnya, yakni soal sistem pemilu, ambang batas parlemen, metode konversi suara, dan alokasi kursi per dapil.[4] Menurut Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pasal-pasal dalam UU Pemilu rentan untuk diajukan gugatan uji materi ke MK (Mahmakah Konstitusi).[5]

Tujuh hari setelah pengesahan UU Pemilu, dua ketua umum partai peserta pemilu 2014, yakni SBY (Susilo Bambang Yudhoyono -- Ketua Umum Partai Demokrat) dan PS (Prabowo Subianto -- Ketua Umum Partai Geroindra) mengadakan pertemuan. Karena mereka berdua adalah ketua umum partai politik, wajar saja bila masyarakat memandang bahwa pertemuan mereka adalah pertemuan politik. Tidak jelas apa saja yang mereka bicarakan dalam pertemuan tersebut, tidak jelas juga apa saja yang menjadi kesepakatan yang mereka bangun.

Sepanjang yang dapat Penulis tangkap dari live streaming[6] konferensi pers setelah pertemuan SBY dan PS di Cikeas, antara lain:

Versi SBY:

  1. Pertemuan tokoh politik bukan hal yang sangat luar biasa;
  2. Pertemuan menjadi luar biasa karena keduanya adalah ketua umum partai yang fraksinya walk out dalam pengesahan RUU Pemilu menjadi UU Pemilu;
  3. Pertemuan bertujuan baik;
  4. Keduanya bersepakat terus mengawal perjalanan bangsa Indonesia dalam kapasitas masing-masing agar perjalanan negara pada arah yang benar;
  5. Cara pengawalan ialah mendukung kebijakan yang memihak kepentingan rakyat, dan mengkoreksi kebijakan yang melukai rakyat;
  6. Meningkatkan komunikasi dan kerja sama bukan dalam bentuk koalisi, melainkan di wilayah politik dan menggalang gerakan moral bila perasaan rakyat dilukai;
  7. Bila perasaan rakyat dilukai, wajib mengingatkan dan memberikan koreksi;
  8. Segala aktivitas yang proper, beradab, civilize, bertumpu pada nilai-nilai demokrasi;
  9. Setelah 6 bulan puasa bicara melalui pers, menyampaikan power must not go uncheck. Artinya, kami (SBY dan PS) memastikan pengguna kekuasaan tidak melampaui batas hingga masuk ke arah abuse of power. Rakyat akan memberikan koreksi.

Versi PS:

  1. Menyatakan "Presiden" bagi SBY adalah hal yang melekat selamanya seperti penyematan Profesor pada seorang dosen meski tidak mengajar lagi. Itu sesuai dengan Konvensi Internasional;
  2. SP diundang dalam pertemuan biasa dengan makan nasi goreng yang luar biasa;
  3. Intel SBY masih kuat, tahu kelemahan SP adalah nasi goreng;
  4. Pertemuan tersebut berada pada kondisi suasana yang agak prihatin;
  5. TNI mundur dari kekuasaan secara sukarela;
  6. Demokrasi adalah cara paling tepat dan terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila;
  7. Demokrasi Pancasila dilaksanakan dengan cara pemilu;
  8. Setiap upaya yang mengurangi kualitas demokrasi, atau menggunakan cara-cara demokrasi yang tidak sesuai akal sehat, atau menyakiti kemampuan berpikir rakyat Indonesia, itu mencemaskan;
  9. Untuk UU Pemilu yang disahkan, partai Demokrat, PAN, PKS, dan Gerindra walk out  tidak ikut bertanggung jawab karena tidak mau ditertawakan sejarah;
  10. Gerindra menyatakan bahwa PT 20% adalah lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia;
  11. Lahir dari kecemasan, dikuatirkan, demokrasi ke depan akan dirusak;
  12. Kita wajib mengawal, mengingatkan pemegang kekuasaan untuk tetap patuh pada logika, patuh pada rules of the game,  tidak memaksakan kehendak dengan segala cara;
  13. Melakukan chek and balances, kekuasaan harus diawasi;
  14. Melakukan komunikasi terus-menerus dengan siapapun untuk tukar-menukar pandangan.

Menurut pendapat Penulis, faktor pendorong sehingga terjadinya pertemuan SBY dan PS itu adalah walk out-nya empat fraksi dari pengesahan UU Pemilu. Mereka berdua sama kecewa dengan ditetapkannya PT 20-25%. Padahal, pemilu sebelumnya (2009 dan 2014), NKRI sudah menggunakan PT.

SBY membahasakan kekecewaannya sebagai bahwa perasaan rakyat dilukaioleh pemegang kekuasaan. Sayangnya, SBY tidak menguraikan secara gamblang, peristiwa, atau kejadian, atau proses apa yang dimaksudkannya melukai perasaan rakyat.  Tidak jelas juga, bagaimana kisahnya hingga menyimpulkan bahwa sudah terjadi perasaan rakyat terluka.

Mencermati pernyataan penutup dari SBY, dapat ditafsirkan bahwa menurut SBY, sudah terjadi pelaksanaan kekuasaan tanpa diawasi (power go uncheck). Namun, lagi-lagi, SBY tidak menyebut hal apa penyebab SBY menyimpulkan seperti itu.

Kenyataannya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apalagi di era informasi, jalannya penyelenggaraan NKRI diawasi oleh DPR, dan oleh pers sebagai pilar demokrasi. Selain itu, diawasi langsung oleh masyarakat melaui LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Dalam hal keuangan, diawasi atau diperiksa oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Kurang jelas, bagaimana kondisi yang menghantar SBY kepada simpulan bahwa  power go uncheck(kekuasaan diselenggarakan tanpa diawasi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun