Terbetik berita bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan, SP (Susi Pudjiastuti) 'bersimpang pikir' dengan Menteri Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, LBP (Luhut Binsar Pandjaitan) mengenai penangkapan ikan. Susi menghendaki agar penangkapan ikan 100% diserahkan kepada nelayan domestik, sementara LBP menginginkan agar investor asing diberi ruang dalam hal penangkapan ikan[1]. Â Padahal, pada banyak segi seperti Kawasan Konservasi Perairan, Rehabilitasi Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Lautan Fishing Policy -- IUUF, UU 32 / 2014 Tentang Kelautan, Perikanan Tangkap dan Budidaya, Tata Ruang Laut, LBP memiliki jenjang tugas koordinator bagi SP. Namun, SP tidak sungkan bersimpang pikir dengan koordinatornya, pada aspek kompetensinya.
Nasionalisme SP dan LBP tidak perlu diragukan. Tidak dinyana, ada titik persimpang-pikiran pada keduanya. Mungkin, dalam benak LBP, jika penangkapan ikan dilakukan oleh investor asing, maka hasil tangkapan ikan akan melimpah dan hasil akhirnya, meningkatkan devisa bagi negara. Di sisi lain, berbekal pengalaman yang sudah lama malang-melintang di dunia perikanan dan kelautan, bahkan sejak sebelum menjadi menteri sekalipun, SP menghendaki agar penangkapan ikan diserahkan kepada nelayan domestik. Mungkin, dari pengalamannya menggeluti dunia perikanan dan kelautan, ada simpulan bahwa nelayan domestik tidak kalah tangguh 'berenang dan mengejar' ikan, dibanding orang mancanegara, apalagi di perairan sendiri (NKRI). Maka, SP tidak mau 'mundur', dia ngotot kekeh agar penangkapan ikan diserahkan pada nelayan domestik.
Jika diibaratkan bahwa nelayan domestik adalah 'anak' dari SP, tampak dia mempertaruhkan segalanya (bersimpang pikir dengan koordinatornya) demi menyerahkan pekerjaan penangkapan ikan di wilayah laut NKRI. Tetapi, 'anak-anak' nya, dengan kepolosan pikiran tradisional, menuding bahwa SP mempersulit mereka, gegara dilarang menangkap ikan menggunakan cantrang[2], dan dilarang menangkap hewan-hewan laut yang sedang bertelur[3]. SP melarang penangkapan ikan dengan cantrang, dan juga melarang penangkapan hewan-hewan laut yang sedang bertelur, adalah karena berpikir ke depan. Jika itu tidak dilarang, maka ikan dan hewan-hewan laut akan punah, karena seluruhnya akan terjaring, baik hewan yang masih bayi maupun yang sudah kakek dan nenek. Hasil tangkapan memang banyak, tetapi setelahnya, habislah, tidak ada yang berbiak, seluruhnya sudah dipanen.
Sekarang, begitu itu pandanganku mengenai SP. Dia rela mempertaruhkan segalanya, bersimpang pikir dengan koordinatornya, untuk memberikan pekerjaan bagi 'anak-anak'-nya. 'Anak-anak'-nya juga 'dipaksa' untuk tidak merusak lingkungan, meski 'anak-anak'-nya menuding dia tidak sayang karena melarang menangkap ikan dengan cantrang, juga melarang menangkap hewan laut yang bertelur. Setelah memberi penjelasan kepada 'anak-anak'-nya, kelihatannya, para nelayan dapat menerima argumen pelarangan penggunaan cantrang dan penangkapan hewan laut yang bertelur. Â Tampak dari redanya 'teriakan-teriakan' tentang cantrang dan penangkapan hewan laut yang bertelur.
Salam bhinneka tunggal ika.
Â
[1] kompas.com
[2] detik.com
[3] bkipm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H