Judul yang aneh.
Seorang ibu yang sedang mengandung adalah orang yang membutuhkan banyak asupan gizi. Porsi makannya harus dirancang variatif berisi berbagai jenis vitamin dan mineral serta zat-zat pembangun lainnya. Asupan itu dibutuhkan untuk membangun raga anak yang dikandung, agar kandungannya berkembang bagus, dan nantinya dilahirkan sehat. Sebagai analogi othak-athik gathuk,negara yang sedang membangun infrastruktur analogi dengan seorang ibu yang sedang mengandung, bukan analogi dengan seorang ibu yang sedang menyusui. (Kok bisa?)
Negara yang sedang membangun infrastruktur, menurut hemat saya, kurang pas jika dianalogikan dengan seorang ibu yang sedang menyusui. Sebab, raga dari ibu menyusui dengan raga anak yang disusui itu terpisah. Pada batas tertentu (misalnya untuk minum air mineral), si anak independen dari ibu yang menyusuinya. Sementara, antara negara yang membangun infrastruktur, dengan infrastruktur yang sedang dikerjakan, tidak terpisah. Artinya, infrastruktur yang sedang dibangun itu, sepenuhnya bergantung pada negara yang membangunnya. Maka, negara yang sedang membangun infrastruktur, lebih pas dianalogikan dengan seorang ibu yang sedang mengandung daripada dengan seorang ibu yang sedang menyusui.
Seperti ibu yang sedang mengandung membutuhkan berbagai asupan makanan untuk perkembangan janin, negara yang sedang membangun infrastruktur juga membutuhkan banyak dana segar untuk menutupi keperluan penyelesaian infrastruktur yang sedang dikerjakan. Apabila ibu yang sedang mengandung tidak diberikan asupan makanan yang mengandung gizi, patut dikhawatirkan bahwa ibu tersebut akan melahirkan anak yang kurang gizi. Demikian juga, apabila kepada negara tidak diberikan dana segar yang dibutuhkan menyelesaikan infrastruktur, maka infrastruktur akan mangkrak. Bukan hasil yang didapat, malah tambahan beban perawatan, setidaknya, beban mental atas mangkraknya infrastruktur. Pada saat kandungan sudah cukup umur dan dilahirkan, analogi dengan infrastruktur yang dikerjakan sudah rampung, maka anak yang dikandung akan lahir sehat, analogi dengan infrastruktur dirampungkan, lalu dioperasikan mempercepat kegiatan ekonomi.
Lantas, apa kaitannya dengan Dana Haji? Begini. Beberapa hari belakangan, media sosial nasional 'berisik' dengan berita bahwa Dana Abadi Umat yang bernama Dana Haji hendak dipakai oleh Pemerintah membiayai pembangunan infrastruktur. Sangat dapat dimengerti bahwa tidak semua jenis infrastruktur terkait dengan perhajian, maka pemakaian Dana Haji untuk pembangunan infrastruktur 'agak melenceng' dari peruntukannya. Kemelencengan itu menyebabkan media sosial 'berisik'.
Menurut pendapatku, sangat dimungkinkan Pemerintah memakai Dana Haji untuk pembangunan infrastruktur, dengan catatan, tidak menghambat tujuan penggalangan Dana Haji. Selain itu, mengingat negara ini adalah negara hukum, maka pemakaian Dana Haji harus tidak menabrak aturan hukum positif.
Pemakaian Dana Haji untuk pembangunan infrastruktur, lebih positif daripada pembukaan hutang baru. Hutang negara yang sudaha Rp3.700 trilyun, meski masih dalam kondisi aman bila ditinjau dari perbandingannya terhadap pendapatan domestik bruto yang 27%, betapa baiknya jika tidak ditambah lagi. Dengan pemakaian Dana Haji, berarti imbal jasa atas pemakaian tersebut akan diperoleh Dana Haji yang adalah uang warga Indonesia. Sementara, apabila membuka hutang baru, imbal jasa yang harus dibayar oleh Pemerintah akan diperoleh negara donor (pemberi utangan) dari mancanegara.
Begitu kukira.
Salam bhinneka tunggal ika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H