Diberitakan hari ini (6/6) bahwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) menerbitkan Fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. (Baca)
Dalam fatwaMUI tersebut tercantum beberapa hal yang diharamkan bagi umat Islam dalam bermedia sosial. Pertama, melakukan gibah (membicarakan keburukan orang), fitnah,namimah (adu domba), dan penyebaran permusuhan. Kedua, melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan. Ketiga, menyebarkan hoaks serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup. Keempat, menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i. Kelima, menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.
Menyusul hal tersebut, Kompasiana menyajikan artikel bertajuk: MUI Terbitkan Fatwa Media Sosial, Perlukah? yang diakhiri pertanyaan: Kompasianer apa pendapat Anda soal fatwa media sosial ini? Menarik sekaligus menggelitik. Menarik karena menyulut keinginan merespon positif yaitu memberikan pendapat. Mengelitik karena pikiran melayang ke pernyataan Basuki Tjahaja Purnama mengenai Al Maidah 51 di pulau Pramuka yang menyeretnya ke bui. Apakah pendapat dari penganut bukan Islam terhadap MUI akan dinyatakan sebagai penodaan organisasi MUI? Namun, mengingat MUI itu bukan agama, bukan kitab suci, bukan suku, maka atikel ini diajukan sebagai respon positif.
Disalin dari website ini MUI adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendekiawan Islam di Indonesia. Berusaha untuk memberi bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat; memberi nasihat dan fatwa mengenai keagamaan dan kemasyarakatan untuk mewujudkan kerukunan antar-umat beragama dalam rangka memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa; menjadi penghubung antara umat dan umaro (pemerintah) guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan antar-organisasi/lembaga Islam di Indonesia.
Mencermati tujuan pendirian MUI tersebut, dapat disimpulkan bahwa MUI didirikan untuk mengatur sikap dan perilaku kaum Muslimin dalam hidup di komunitas sesama Muslim maupun di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk kesukuan, agama, ras, dll. Dengan demikian, dapat ditarik lebih lanjut, bahwa MUI merupakan kumpulan pemikir Islam yang bertujuan merumuskan sikap dan perilaku Muslimin dalam hidup bernegara dan bermasyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, maka menurut pendapatku, siapapun boleh menyumbang pendapat terkait kebijakan MUI, namun keputusan akhir dalam mengambil kebijakan ada di tangan permusyawaratan para cerdik-cendekia Islam yang tergabung dalam keorganisasian MUI. Maka, dengan simpulan seperti itu, Penulis turut sumbang pendapat guna merespon permintaan Kompasiana.
Penulis selaku penganut bukan Islam, tidak dalam kapasitas menentukan perlu atau tidak perlunya MUI menerbitkan fatwa penentuan hal yang boleh dilakukan atau yang haram dilakukan kaum Muslimin. Kupikir, penerbitan fatwa adalah satu cara MUI membina dan mengarahkan sikap kaum Muslimin. Pembinaan sikap adalah satu dari beberapa tujuan didirikannya MUI.
Mencermati hal-hal yang diatur (baca: ditentukan haram) dalam Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 itu, antara lain: melakukan gibah (membicarakan keburukan orang), fitnah,namimah (adu domba), dan penyebaran permusuhan, melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan, menyebarkan hoaks serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup, menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i, dan menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya, Penulis berpendapat hal tersebut adalah baik. Apabila masyarakat Indonesia, khususnya penganut Islam berdasarkan Fatwa MUI 24/2017, dalam melakukan aktivitas media sosial menghindari hal yang diharamkan tersebut, kuduga, komunikasi di media sosial akan baik-baik saja, meskipun mungkin ‘terasa lebih garing’.
Ringkasnya, Penulis setuju dengan kewenangan MUI menerbitkan fatwa untuk menentukan acuan perilaku kaum binaannya, namun, hal, atau materi, atau obyek sikap bersosial media tidak begitu perlu dituangkan sebagai suatu fatwa. Namun, pendapat itu tidak berpengaruh apa-apa dalam penerbitan fatwa apa saja oleh MUI. Maksud Penulis, pendapat Penulis tidak berpengaruh apa-apa pada MUI.
Dengan atau tanpa pendapat Penulis, Fatwa MUI 24/2017 sudah terbit. Penulis pesimis akan dipatuhinya Fatwa tersebut oleh masyarakat. Sepanjang pengetahuan Penulis, yang namanya fatwa, tidak mempunyai daya paksa fisik seperti hukum kurungan badan atau denda. Sanksi pelanggaran fatwa ialah pelabelan “HARAM”. Dengan demikian, meski Fatwa 24/2017 sudah terbit dan diberlakukan, tidak akan berdampak besar dalam aktivitas media sosial. Maksudnya, walaupun sikap-sikap seperti disebut dalam Fatwa MUI dikategorikan “haram”, tidak akan serta-merta mengurangi volume pelanggaran.
Simpulan seperti itu kutarik dari kondisi yang terjadi terkait atas kasus korupsi. Meski korupsi sudah dilabeli sebagai haram, ditambah dengan ditentukannya sanksi hukuman badan dan/atau denda, tetap saja pelaku korupsi semakin banyak. Kupikir, korupsi yang dilabeli haram dan diganjar dengan adanya sanksi kurungan dan denda, masih dilanggar beramai-ramai, apalagi hanya pelabelan haram tanpa ada sanksi, akan tidak dianggap.