Angin ini memujimu Sayang
Meski desaunya tak kau dengar
Debu dan dedaunan kering yang terbang karena hembusan mobil-mobil di jalan tol itu menyatu dengan aliran sungai yang berkelok-kelok. Ikut mengalir bersama kecipak ikan-ikan kecil serta debu dan daun dari belahan sungai yang lain. Terus bergerak mengikuti irama arus sampai mencumbu tepi samudera.
Permukaan sungai menghangat ditimpa merahnya matahari senja. Berkilauan mirip aliran perak yang menyilaukan mata.
“Aku senang kita bisa bertemu lagi,” kataku lambat-lambat seraya menyalingnyilangkan tangan di depan dada.
“Aku juga,” balas seorang gadis tuna rungu di sebelahku.
Kami adalah sepasang sahabat masa kecil yang telah didewasakan oleh waktu. Dulu kami sering kali datang ke tempat ini, sungai pinggir tol, untuk menceritakan banyak hal, atau hanya sekedar menemani derasnya air dengan tanpa kata.
Dulu rumah kami tak begitu jauh dari tempat ini, hanya berjarak satu penghabisan Marlboro dengan kecepatan hisap normal. Lalu aku diboyong ayah pindah ke luar kota saat menginjak bangku kelas lima SD, meninggalkan sahabat tuna runguku menunggui riak Sungai Riwayat.
Ya, kami berdua menamai sungai pinggir tol ini dengan nama Sungai Riwayat. Sebab banyak sekali kisah dan rahasia yang tumpah di sini dan menjadi makanan ikan-ikan kecil. Termasuk kisah kami berdua.
Sudah sebulan aku dipindah atau dalam kamus pribadiku dikembalikan ke kota ini oleh perusahaan tempatku bekerja. Dan ini kali kedua kami bertemu jika pertemuan pertama kami sejak belasan tahun lalu yang hanya berisi kekosongan itu bisa dikatakan sebuah pertemuan.
Kami hanya saling tatap. Menerka-nerka apakah benar dia adalah sosok yang pernah menemani duduk di bantaran sungai ini. Dan proses penerkaan itu lama sekali hingga gelap terlalu pekat untuk saling mengenali.
“Kamu tidak berubah ya. Cuma…”
Dara mengangkat alis, menunggu.
“Makin cantik.”
Dia tersipu. Pipinya sama merahnya dengan pantulan matahari sore di permukaan air.
Dara adalah sahabat dudukku. Dia pelipur laraku. Aku masih ingat saat-saat aku masih sering datang ke tempat ini sendirian, membawa tetes air mata untuk dipadu dengan jernihnya air sungai. Gadis kecil itu datang lalu duduk disampingku, menghibur dengan candanya yang renyah.
Dia seorang tuna rungu yang cerdas. Dia tak putus asa dengan kehampaan di telinganya. Memang tak ada suara yang mampu ia dengar. Tapi hatinya mendengar jauh lebih baik dari kebanyakan orang. Kemampuannya membaca gerak bibir terasah dengan baik.
“Masih sering di sini?”
Dara mengagguk. “Sendiri.”
Hatiku perih. Sejak ada dirinya dulu, aku tak lagi sendiri saat ada di sini. Aku pun telah berjanji bahwa aku tak akan pernah meninggalkannya sendirian berkawan angin sepi. Namun ke mana janji suci itu? Aku telah berkelana ke ujung dunia, mengenal banyak hal-hal baru dalam hidupku sedangkan gadis manis ini masih menunggu-nunggu kabar apa yang dibawa gemericik air sewaktu petang membawanya ke sungai ini lagi. Sendiri. Adakah sedikit kabar dariku yang ia tunggu?
“Maafkan aku.”
“Untuk apa?”
“Sepi ini.” Aku mengambil kerikil lalu melemparnya ke arah sungai. Batu itu beberapa kali menyentuh permukaan lalu tenggelam.
“Tak perlu. Melihatmu sukses sekarang sudah cukup membuatku bahagia, walau mungkin hanya bayang-bayangmu yang menemaniku duduk esok petang dan esoknya lagi.”
Kami tak lagi berkata-kata. Masing-masing dari kami larut dalam lamunan sendiri-sendiri. Apa hanya ini yang didapat dari sebuah pertemuan setelah banyak tahun terlewati? Bahkan tak banyak yang sudah kami bicarakan.
Duhai Sungai Riwayat
Ceritakan padaku sebuah hikayat
Tentang sebuah senyum dulu kala
Ke muara mana telah kau bawa?
*
Konsentrasiku di kantor menurun. Aku jadi jarang sekali bicara dengan siapa pun. Sejak menginjakkan kaki di kota ini pikiranku jadi kacau. Hanya gadis tuna rungu itu yang berseliweran. Perasaan sedih dan senang timbul tenggelam bergantian, bergelombang-gelombang menghantam karang di dada. Gairah mulai memuncak bila matahari sudah condong ke Barat. Itu menandakan permukaan sungai kesayanganku sudah cukup tenang untuk kembali diisi curahan hati.
Maka kutemukan kembali ia di sana. Duduk sendiri seperti arca. Bertahun-tahun. Hingga mungkin bisa kudapati bekas duduknya kala dia tiada.
Hampir tiap sore setelah pulang kerja aku kemari. Karena kurasa sumber gelombang susah-senangku ada di sini. Senang karena alasan yang tak jelas. Sedih juga karena alasan yang sama.
Gadis tuna rungu ini membuatku tak mampu berahasia. Semua yang telah aku alami kuceritakan. Bahkan sesuatu yang kuingin dia tak tahu meluncur begitu saja: rencana pernikahanku.
“Syukurlah, akhirnya kau dapat pasangan yang tepat.”
Aku menangkap sinyal getir dalam suaranya. “Tapi rasanya keputusanku itu terlalu tergesa-gesa.”
“Kenapa?”
“Andai aku tahu akan kembali lagi ke sini.”
“Maksudmu?”
Aku tahu sebenarnya dia sudah menangkap maksudku. Begitulah wanita, soal seperti ini pun harus dikatakan sejelas-jelasnya. Tepatkah saatnya? Aku sudah kehilangan kendali.
“Aku akan sangat bahagia jika kau yang duduk di sana menggantikan Esti.”
Sebuah lipatan tak setuju tergambar di kening Dara.
“Kau gila?”
“Seringkali karenamu.”
“Ini bukan main-main, Tan. Kita bukan anak kecil lagi!” Suaranya bergetar.
“Karena kita bukan anak kecil lagi makanya aku berani memintamu.”
Dara terdiam. Matanya meraba kesungguhan di mataku.
“Tidak. Sadarlah kau itu siapa! Jangan paksa aku untuk menjadi sumber bencana.”
“Aku tahu, Ra. Memang ini keputusan gila tapi…”
“Cukup!” Sentak Dara. Dia menahan bahuku. “Jangan katakan apa-apa lagi! Bagiku kau sudah tak ada. Pulanglah dan sebaiknya begitu!”
Ia beranjak dari tempat duduknya. Aku tahu aku tak bisa bergerak lebih jauh. Membiarkannya sendiri adalah keputusan paling bijak. Lebih bijak daripada terus mengirisnya dengan kata rindu. Sembilu rindu.
*
Hujan badai. Kaca jendela menyamarkan jeritan angin di luar sana. Senyum hambar menyamarkan jeritan pilu di dalam dada. Aku terus dihantui perasaan bersalah. Mengapa kutanyakan pertanyaan bodoh itu pada Dara? Lewat diam kami saling menyayangi. Dulu sekali. Saat undangan pernikahan itu belum dibagi-bagi.
Aku sendiri bingung mengapa cinta pertamaku kembali membara di saat yang tak tepat. Semua berkat kenangan ini yang mengipasinya.
“Ayo, siapa dulu yang mencintai?” Sungai Riwayat mendengar kami berdua yang masih kecil bergurau soal cinta.
Kata cinta yang masih enak didengar dan dibawa sebagai teman tidur. Manis semanis teh campur madu buatan ibu Dara. Hangat sehangat pandangan putri wanita yang telah tiada itu.
Tidak. Sadarlah kau itu siapa!
Aku seorang laki-laki yang akan menikah. Kata cinta itu kini mirip kaca yang ditabrak peluru, pecahannya melesat, menembus lapisan kulit hati kami berdua yang tak mungkin bersatu.
Aku memang egois. Menurutku itu lebih baik daripada naïf. Dan lihat hasil keegoisanku. Dara kini mungkin terpuruk. Harusnya kusadari keras usahanya untuk melupakanku.
Bagiku kau sudah tak ada.
Lalu mengapa dia terus menunggu di tepian sungai itu kalau tidak sedang berharap ada sebuah kabar dariku yang dibawa alirannya?
Aku dikejutkan dengan sepasang tangan yang tiba-tiba melingkar di pinggangku.
“Suaramu di telepon menunjukkan kalau kau sedang tidak baik-baik saja,” kata Esti. “Kau bisa cerita apapun.”
Juga tentang Dara? Batinku.
“Juga tentang gadis tuna rungumu,” bisik Esti lembut.
Aku melepaskan diri dari pelukan Esti dan berbalik menghadapnya. Esti tahu tentang Dara?
“Mungkin kita bisa duduk dengan nyaman dulu sebelum kau mendengarku bercerita.” Esti menarik tanganku menuju sofa.
Rupanya Esti membuntutiku. Bukan karena apa, hanya dia merasa ada yang aneh dari diriku sejak menginjakkan kaki di kota ini. Kamu jadi dingin, katanya.
Dia bertanya-tanya di mana aku berada setelah jam kantor usai, selalu pulang ke rumah lepas Isya’ padahal jarak kantor dan rumah tidaklah terlalu jauh. Akhirnya dia mendapatiku sedang duduk berdua bersama seorang wanita di pinggir sungai hingga matahari terbenam.
Beberapa kali ia mengikutiku ke sana, namun baru kemarin ia berani keluar menemui si gadis penjaga sungai.
“Karena kau tak ada di sana, itu jarang terjadi, dan akhirnya kuputuskan untuk mendekatinya.”
Esti memperkenalkan dirinya pada Dara kalau dia adalah calon istriku. Perkenalan yang sangat canggung, katanya. Tapi itu hanya awal. Selanjutnya dia menggantikan tempat dudukku di samping Dara sepanjang sore itu.
“Dia gadis yang baik, Tan, tak salah kau mencintainya.” Kata mencintai ia ucapkan ringan saja seolah itu bukan masalah untuknya, bahkan dalam beberapa hari menjelang pernikahan kami. “Kami bercerita banyak hal, tentangnya, tentangku, tentangmu.”
Dadaku sesak.
“Baru kali ini kutemui seorang tuna rungu setegar dia. Dia sebatang kara, kan? Kenapa kau tak pernah menceritakan ini padaku?”
Aku menolak menjawab. Hujan masih deras di luar sana. Halilintar masih menggelegar di dalam sini. Esti meminta tanganku lalu digenggamkannya sebuah amplop.
“Dara menulisnya sepenuh hati.”
Aku tak segera membuka amplop itu. Hatiku sedang runtuh. Tapi pandangan Esti menguatkanku.
Untuk Tempat Duduk yang Kosong,
Tak ada kabar paling menggembirakan yang pernah disampaikan Sungai Riwayat padaku selama ini kecuali kembalinya dirimu. Aku bahkan tak pernah percaya saat rumput kosong itu menjelma kau. Itu sudah lama sekali kan sejak kita masih setinggi ilalang?
Kini aku bangga dengan dirimu, tak pernah menyangka bocah cengeng itu tumbuh menjadi laki-laki tempat merindu. Apalagi beberapa hari lagi kau akan menikah, lengkap sudah kebanggaanku.
Maafkan jika aku tak banyak bicara semenjak kita bertemu. Bukan aku membenci karena kau pergi, hanya sudah terpatri dalam benakku bahwa kau tak akan kembali. Kuakui tak mudah, buktinya kau selalu mendapatiku duduk di sana tiap petang, kan?
Tapi sudahlah, lewat surat ini aku hanya ingin kau berhenti memikirkanku, sama sepertiku yang terus mencoba. Mungkin usaha sepanjang masa.
Salamku untuk Esti, dia calon istri yang sangat baik. Jaga dia baik-baik. Semoga jalan kalian mulus, persis aliran Sungai Riwayat yang membawa rintik hujan sampai ke ujung samudera.
Salam hangat,
Gadis Tuna Rungu
Hatiku seperti dikucuri timah panas. Surat ini membuat kesedihanku berlipat ganda. Beberapa hari ini aku tak menemuinya. Kuputuskan sekarang juga aku ke sana, persetan dengan hujan badai.
Tapi tangan Esti mencegahku.
“Mau ke mana?”
“Tempat biasa.”
“Untuk apa?”
“Dia tak bisa bicara denganku hanya lewat surat seperti ini.”
“Duduklah. Tak ada gunanya kau ke sana. Toh dia sudah mengatakan apa yang dia rasa perlu dikatakan.”
“Kau cemburu?” Nada suaraku meninggi. Aku lepas kontrol.
“Sultan, dengarkan aku!” Esti mencoba meredakan.
“Kau hanya tak ingin aku bertemu dia sehingga kau bisa memilikiku seutuhnya?” Napasku memburu. “Dia memang tuli tapi aku mencintanya!”
Air mata Esti meleleh. “Bukan. Bukan seperti, Sultan! Sama sekali bukan…”
“Lalu apa? Kau menguntitku, mencuri-curi kesempatan untuk menemuinya, mengatakan sesuatu yang buruk padanya. Oh, aku sekarang sadar mengapa beberapa hari terakhir ini kau selalu minta diantar ini-itu saat petang tiba. Agar aku tak bisa ke sana! Iya?!” Emosiku meledak-ledak.
Esti mendekap mulutnya. Kepalanya terus menggeleng. Tangisnya nyata.
“Kau juga mengancam agar Dara tidak lagi menemuiku dan menyuruhnya menulis surat ini untukku?” Sinis sekali kedengarannya. Tapi aku sudah kalap. Aku sudah hendak membuka pintu ruangan saat Esti menarik kuat tanganku.
“Sultan! Percuma, Sultan. Dara telah pergi…”
“Pergi?” Dahiku mengernyit. “Jelas. Kau mengusirnya!”
“Tidak. Dia, dia… Dia meninggal…”
Halilintar meledak menggetarkan kaca.
“Apa maksudmu? Kau membunuhnya?” Tatapanku kosong.
“Kumohon jangan menuduhku seperti itu! Tenanglah dulu!”
Lututku lemas. Akhirnya kubiarkan Esti menuntunku kembali ke sofa. Cerita apapun yang akan dia kisahkan, sama-sama menggarami luka basah di hati yang menganga.
*
“Berikan ini pada Sultan. Jangan kau ceritakan padanya jika aku nanti mati, kecuali saatnya benar-benar tepat,” Dara terbaring di tempat tidur kasar di gubuknya.
“Sudah, Ra, jangan berkata yang tidak-tidak. Simpan tenagamu. Dokter sebentar lagi datang,” Esti menggenggam tangan Dara disampingnya.
Dara tersenyum. “Terima kasih ya, Ti. Kamu serasi dengannya.” Dia memejamkan mata sejenak. “Ini akan mempermudah Sultan juga dalam memilih.”
“Bagaimana bisa?”
“Yang terbaik adalah yang tersisa. Aku percaya padamu.”
Aku dan Esti duduk di samping pusara Dara. Dia disemayamkan tak jauh dari tempatnya duduk sepanjang sore seperti biasa, sesuai permohonannya.
Menurut keterangan dokter, Dara mengidap penyakit akut di paru-parunya. Dulu dia sering mengeluh sakit di daerah dada. Seharusnya aku ingat itu saat aku kembali ke kota ini. Tapi karena aku lebih mengutamakan perasaanku, kesehatan Dara terlupakan. Aku memang egois!
Semua bab terakhir kehidupan Dara diurus Esti. Mulai dari menemani Dara menghitung napas sampai pemakamannya. Kata Esti, hal terberat adalah menyerahkan surat itu kepadaku. Karena mau tak mau dia juga yang harus mengatakan kepergian si penulis untuk selamanya. Aku jadi merasa bersalah telah berprasangka dan menuduh hal-hal yang tidak benar kepada Esti.
Aku bangkit dari pusara Dara, menggenggam tangan Esti dan mengajaknya pergi dari situ. Aku mencoba tegar dan tenang meski keyataan ini menghantam keras dadaku. Karena kuyakin cinta tak terbatas ruang dan waktu.
Duhai Sungai Riwayat
Teruslah mengalir sampai akhir hayat
Kisahmu ‘kan terus dikenang
Sepanjang tinggi airmu menggenang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H