Bagi masyarakat yang tinggal di Jawa, penjaja miniatur sirkus keliling ini pasti tidak asing lagi. Meski keberadaan mereka kembang kempis tapi sepertinya beberapa masih bisa bertahan hidup. Entah sampai kapan mereka bisa bertahan di jaman yang media hiburan marak di mana-mana saat ini. Sanggupkah mereka bersaing? "Sarimin nyolong tela", "Sarimin nggolek kayu", "Sarimin lunga neng pasar", demikian sedikit gambaran perintah-perintah sederhana yang dilontarkan oleh pelatihnya pada artis kera dalam pertunjukan sirkus mini ala Jawa yang dikenal dengan berbagai nama: Ledek Kethek, Tandak Bedhes atau Kethek Ogleng, Ledek Munyuk, Topeng Monyet dan lain-lain. Perintah "Sarimin nyolong tela", artinya Sarimin (nama keranya) mencuri ketela. Kera itu pun lalu menyahut mainan gerobak dan menariknya ke sana ke mari. Perintah-perintah yang akrab dengan hidup keseharian rakyat pedesaan. Karena lehernya terikat tali atau rantai, kera jawa itu tidak bisa berjalan jauh. Hanya sekitar dua meter dari sutradaranya. Sementara anak-anak kecil mengelilingi panggung sirkus terbuka itu dalam jarak aman dari jangkauan kera. img class="alignnone size-medium wp-image-131746" title="113503c2a882b9ef50121d8aac1a236f" src="http://stat.ks.kidsklik.com/ci/image/media/300x300/640x480/2013/03/22/113503c2a882b9ef50121d8aac1a236f.jpg" alt="113503c2a882b9ef50121d8aac1a236f" width="586" height="439" />
Jangan bandingkan sirkus rakyat ini dengan circus berkelas internasional semacam Cirque du Soleil (English: Circus of the Sun)[p] yang berasal dari Kanada. Sirkus Jawa ini meski juga berfungsi sebagai media hiburan bagi anak-anak kecil di pedesaan, perlengkapan yang dipakai ala kadarnya. Memang ada yang lebih kreatif dalam memberi kostum si kera. Namun peragaan yang dilakukan tidaklah serumit dalam pertunjukan sirkus profesional. Perintah-perintah dan atraksinya boleh dibilang tidak banyak variasinya. Pertunjukan sirkus mini ini bisa dilakukan di sembarang tempat. Bisa di halaman rumah, di pinggir jalan bahkan di teras rumah. Tidak makan banyak tempat. Asesoris yang dipakai juga tidak banyak. Kereta dorong, payung, topeng, kursi, kadang senjata laras panjang dari kayu (memainkan tentara) dan lain-lain tergantung kreativitas penyedia jasa sirkus mini ini. Musik pengiring juga ala kadarnya. Kadang ketipung atau kendang kecil. Beberapa pengusaha sirkus mini ini kadang juga melengkapi dirinya dengan loud speaker dan musik pengiring dari kaset. Binatang lain yang disertakan dalam sirkus mini ini juga tidak selalu ada. Biasanya hanya melibatkan seekor kera sebagai pemain tunggal. Namun ada juga yang membuat pertunjukan lebih menarik dengan mempekerjakan seekor anjing yang akan dinaiki si kera atau atraksi lain menurut perintah majikannya. Untuk lebih seram lagi, kadang seekor ular phyton juga diikut-sertakan. Ular phyton tersebut besarnya bervariasi dan dimasukkan dalam kotak kayu yang dipikul bersama perlengkapan lainnya. Namun ular tersebut tidak diikutkan dalam atraksi bersama si kera. Cukup dikalungkan di leher pemiliknya dan ditunjukkan pada penonton. Kadang beberapa anak kecil diperbolehkan memegangnya, meski banyak yang ketakutan berlari menjauh. Meski tanpa atraksi, ular ini bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak kecil. Jeritan ketakutan mereka menambah suasana makin meriah. [caption id="attachment_244115" align="alignnone" width="640" caption="Pertunjukan yang disukai oleh anak-anak. (Foto: Koleksi pribadi kiriman mas Pranawa Martosuwignjo)"][/caption] Tidak diketahui dengan pasti asal usul atau mulai adanya pertunjukan sirkus keliling rakyat ini di Indonesia. Foto yang ada tentang pertunjukan ini diambil pada tahun 1947. Foto yang menggambarkan pertunjukan ledhek kethek yang disaksikan oleh anak-anak Belanda dan anak-anak Indonesia diabadikan oleh fotografer Belanda bernama Charles Breijer, seorang fotografer Belanda yang tergabung dalam organisasi fotografer Belanda bernama "de Ondergedoken Camera". [caption id="attachment_244116" align="alignnone" width="750" caption="Pertunjukan ledhek kethek yang disaksikan oleh anak-anak Belanda dan anak-anak Indonesia pada tahun 1947. (Sumber foto: http://resources21.kb.nl/gvn/NFA02/NFA02_chb-5164-6_U.JPG)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H