SUASANA kampanye pilpres makin hari makin memanas. Saling sindir, hujat, hina antar kontestan dan pendukungnya makin hari makin tanpa arah. Sudah menjurus ke arah penilaian-penilaian yang jauh dari konteks persaingan yang sehat. Bahkan sudah menyinggung masalah SARA.
Pembelaan dan penyerangan pada masing-masing kontestan dan pendukung makin menyeruakkan rasa kebencian. Keadaan makin meruncing dan membabi buta. Sikap rasionil, logis dan realistis makin ditinggalkan dan sikap emosionil makin menonjol. Jika keadaan ini tidak segera dihentikan, saya kuatir pada masa kampanye dan setelah coblosan keadaan bisa memburuk. Masyarakat makin terpecah-pecah dan kemungkinan untuk adu fisik mungkin tak terhindarkan.
Isu-isu kampanye yang bisa menyulut keterpecahan terutama isu yang menyangkut SARA dan rasa nasionalisme. Masing-masing kontestan dan pendukungnya mengangkat isu SARA untuk menyudutkan pihak lawan. Isu SARA sebagaimana kita ketahui amat sensitif, stereotype dan mudah disulut. Apakah masyarakat kita telah siap menghadapi isu-isu SARA yang dipertajam dan dipertentangkan?
Isu kedua yang tak kalah penting adalah gencarnya kontestan dan pendukung meneriakkan isu nasionalisme. Nasionalisme telah diartikan demikian sempit demi memenangkan kursi presiden. Isu nasionalisme yang diterjemahkan secara sempit demi pembenaran partai politik amat berbahaya bagi kelangsungan hidup bermasyarakat dan bernegara. Nasionalisme mengarah pada bendera partai dan ditumpangi dengan retorika-retorika nasionalisme sempit berkemungkinan mengaburkan rasa nasionalisme lebih luas. Bahkan pilpres diasosisikan sebagai perang Badar. Masyarakat digiring untuk saling berhadapan demi sebuah kepetingan politik elite.
Masing-masing kontestan dan pendukung sudah melampaui kewajaran dalam mendukung partai politiknya. Sikap kritis telah menjadi penyakit jiwa. Sikap kritis tidak lagi diarahkan pada hal-hal yang konstruktif dan konseptual, tapi sudah ke arah penilaian subyektif terlalu kritis sebuah pribadi. Cara jalan, cara ngomong, cara berdiri, cara bersalaman dan hal-hal kecil lain sudah menuai kritik berkepanjangan. Sikap terlalu kritis ini sudah mengarah pada penyakit jiwa semacam paranoid, scizoprenic dan psikopat. Sikap overly critical Lahir dari semacam pribadi yang tidak stabil emosinya. Lahir dari sikap emosional terlalu membela kebenaran masing-masing partai yang didukungnya.
Gejala mendukung partai secara emosional tidak saja dilakukan oleh masyarakat umum biasa lewat media sosial, tapi juga dilakukan oleh para cerdik cendekiawan dari berbagai latar belakang akademik. Argumentasi-argumentasi lewat kaidah-kaidah ilmiah dihiraukan. Penyederhanaan logika demi pembenaran subyektif dilakukan tanpa malu secara akademik hanya untuk mendukung partai idolanya.
Mengalah untuk Menang
Untuk menghindari makin meruncingnya pertikaian antar pendukung kontestan pilpres, sebaiknya ada yang mengalah. Mengalah bukan berarti pecundang. Mengalah sementara untuk bisa menang nantinya. Mundur selangkah agar bisa berancang-ancang untuk bisa melompat lebih jauh.
Masyarakat sudah tak perlu lagi diberi kampanye. Sebagian besar sudah tahu masing-masing plus dan minusnya para konstestan. Bila dipertimbangkan betapa jenuhnya air wacana politik saat ini, maka kampanye seperti menangkap ikan di air berjelaga. Bukan ikan yang didapat tapi malah belepotan. Tidak ada yang bisa didapat sesuatu yang positif dalam keadaan yang sudah meruncing seperti saat ini. Malah akan memperkeruh keadaan.
Dulu waktu kecil, nenek sering bilang kalau ada kakak adik bertengkar yang tak tentu arah. Malah cenderung akan adu fisik.
"Kamu itu yang besar harus ngalah. Ini yang kecil sama saja. Nggak menghormati yang lebih tua. Ngasah saja," begitu kata nenek.