Observasi adalah dasar dari berkembangnya pemikiran dan pengetahuan. Realitas dipahami lewat observasi pembuktian fakta-fakta sehingga masuk akal. Keterbatasan observasi membuat orang jadi emosional atau macetnya daya pikir. Maka kesimpulan atas realita bisa saja tak masuk akal. Bahkan sering disisipkan pula dengan kekuatan supernatural untuk cari gampangnya dalam menyikapi realita.
Albert Einstein dan Isaac Newton, sang ilmuwan yang tingkat intelegensinya dipuncak daya pikir manusia itu toh akhirnya juga menyerah dengan realita yang tak bisa dipahami lewat observasinya pada kekuatan supernatural? Lalu apa yang jadi persoalannya?
Kita, manusia dengan tingkat kecerdasan rata-rata dan dengan pengetahuan rata-rata, kadang belum sampai pada tingkat observasi memadai sudah menyerahkan pada kekuatan supernatural dalam memahami realita. Menelan mentah-mentah realitas kekuatan supernatural hanya karena pendidikan sejak kecil, hubungan sosial atau kata ahli supernatural. Kita takut mempertanyakan realita secara kritis dan masuk akal. Kita takut melakukan observasi. Kadang ketakutan melakukan observasi karena dikaitkan dengan hukuman dari dunia supernatural. Kita takut kuwalat, kesambet, kesurupan, kena kutukan dan sebagainya. Ketakutan pada hal-hal yang sifatnya metafisik.
Ketakutan itu kadang membuat kita jadi paranoid atau tidak realistis. Misalnya berhubungan seks sebelum menikah adalah dosa. Masalah kemudian yang bisa timbul adalah ketakutan melakukan dosa itu bisa berlanjut hingga pernikahan. Meski sudah menikah, perasaan berdosa melakukan seks itu bisa saja masih melekat. Atau contoh lainnya, melakukan korupsi itu dosa. Tapi perasaan berdosa itu dengan mudah dieliminir dengan perbuatan lain yang nampak berpahala. Ukuran dosa dan tidak dosa kadang diinterpretasikan secara subyektif. Tergantung moralitas individu dalam menginterpretasikannya. Dan interpretasi ini sulit untuk diukur lewat jalur hukum formal. Apalagi jika perbuatan itu dilakukan dalam ranah pribadinya. Jika seorang individu terbiasa melakukan observasi, maka pertimbangannya tidak lagi melulu berkaitan dengan dunia supernatural, tapi juga berkaitan dengan fakta-fakta sosial. Tindakan tersebut salah atau benar. Melawan hukum atau tidak. Masuk akal apa tidak. Realistis apa tidak.
Jika tingkat-tingkat observasi telah dilakukan hingga puncak batas kemampuan diri, namun kemudian disadari telah menemukan jalan buntu dalam memahami realita, maka penyerahan diri kita pada kekuatan supernatural bisa lebih bermutu tinggi, humanis dan memanusiakan. Mendewasakan dan mematangkan diri kita sebagai pribadi dalam hal pikiran dan emosi. Kita bisa memahami realitas dengan lebih baik dan proporsional. Kita jadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain. Memahami sebuah realita berdasar observasi tidak harus selalu bertentangan dengan keyakinan moralitas seseorang. Bahkan keyakinan moralitas pribadi itu bisa menemukan titik temu dengan realitas sosial.
Mungkin karena alasan kemalasan berpikir saja yang membuat orang enggan untuk berpikir kritis, logis untuk melakukan observasi. Untuk ini, maka tidak heran jika kita lihat banyak orang menganut aliran 3G di masyarakat kita, yakni NgGolek menange dewe, ngGolek benere dewe lan ngGolek butuhe dewe. Kalau sudah menganut aliran 3G, Albert Einstein atau Isaac Newton pun bisa dianggap manusia bodoh dan tidak beriman!*** (HBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H