[caption id="attachment_323734" align="alignnone" width="614" caption="Tanah ini milik siapa? (Foto: Herry B Sancoko)"][/caption]
KITA tak ingin ketinggalan dengan budaya modern atau kemajuan bangsa lain. Dan kita malu bila disebut sebagai orang miskin, orang udik atau tertinggal peradaban. Bahkan malu disebut sebagai bangsa miskin, negara dunia ketiga, negara berkembang, developing country atau istilah lainnya. Padahal kita mengaku sebagai bangsa yang besar dan sadar bahwa kita memang bangsa yang besar dan kaya. Tapi merasa tersinggung harga diri kita bila disebut sebagai bangsa tertinggal? Apalagi yang mengatai kita sebagai bangsa tertinggal itu bangsa kaya, modern dan maju?
"Kalau tanahmu kau sewakan untuk ditanami tebu, nanti kuberi modal untuk beli traktor dengan cicilan rendah," demikian janji saudagar tebu di kampungku pada seorang petani.
"Kalau hutanmu kau tebangi dan kau tanami kelapa sawit, nanti aku kasih modal mengolahnya dan kujualkan hasil panennya. Kau tinggal menikmati hasil panen, nggak usah mikir banyak," demikian kata pemilik modal.
Bagi petani yang hidup dalam ekonomi subsistensi, ilustrasi dari dua tawaran itu sama menariknya. Nampak menggiurkan bagi seorang yang berpikiran pendek. Orang yang tidak menghargai sebuah proses, bermental lemah dan ingin cepat kaya. Seolah tanpa kerja terlalu keras untung bisa didapat dalam waktu singkat dan mudah. Jualan hari ini, untung hari ini. Tapi dalam jangka panjang belum tentu kepastiannya.
Sebab bisa saja hasil panen ditentukan harganya oleh pemilik modal. Belum lagi jika pemasaran hasil panen ternyata dikuasai oleh pemilik modal yang punya jaringan luas dan ditunjang modal yang kuat. Pemilik tanah akan gigit jari jika ternyata harga jual pasca panen akhirnya ditentukan juga oleh pemilik modal untuk mengeruk sebanyak mungkin keuntungan.
Masih untung bila hasil panennya melimpah. Kalau gagal panen maka makin terpuruklah pemilik tanah. Bisa-bisa dililit hutang tak berkesudahan. Ketergantungan tercipta. Pemilik lahan akan terpasung kepemilikannya terhadap tanahnya sendiri dan tidak memberinya untung maksimal. Pemilik lahan akhirnya menjadi kuli di atas tanahnya sendiri.
Fenomena di atas tidak hanya melanda petani, tapi juga melanda kita semua. Dalam bidang teknologi, pangan, sandang, pertanian, dan banyak bidang lain kita tergantung dengan para pemilik modal luar negeri atau kepanjangan tangannya. Kita sudah senang sebagai konsumen. Karena mudah. Tinggal pilih dan beli. Kita tidak berpikir bagaimana mengolahnya. Atau darimana uang itu berasal untuk membelinya. Kadang kita tidak sadar bahwa uang itu hasil hutang yang harus dikembalikan.
Teringat akan sebuah cerita tentang seorang gadis desa yang diajak bekerja di kota oleh temannya sedesa. Gadis desa tersebut meski hidup sederhana, tapi kebutuhan sehari-hari bisa didapat dari kebunnya. Ia sudah merasa bahagia dalam keadaan begitu. Tapi oleh temannya, ia dianggap miskin dan ketinggalan banyak hal karena lama tinggal di desa. Di kota ia bisa dapat uang lebih banyak sehingga bisa membeli lebih banyak keperluan. Beli baju model baru, tv, radio, sepeda motor, mobil, alat kecantikan, perhiasan berkilau dan lain-lain tawaran yang menggiurkan.
Gadis desa itu akhirnya memutuskan untuk bekerja di kota. Dan benar kata temannya, begitu bekerja di kota ia bisa mengumpulkan uang banyak. Tanah di desa dijualnya dan mengajak orang tuanya untuk tinggal di kota.
Gadis desa itu bekerja keras. Karena untuk membeli kebutuhan, ia perlu uang. Selama ia masih hidup, ia harus bekerja mencari uang.