Logika nggak boleh tegak. Logika harus bengkok. Logika yang benar adalah logika yang dibengkokkan menurut kepentingan, kelompok atau kroni. Ungkapan yang terkenal sering kita dengar bila berurusan dengan birokrasi salah satu contohnya adalah, "Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah".
Ungkapan bernada nyleneh ini merupakan salah satu contoh saja tentang adanya penyimpangan logika. Hal-hal yang sebenarnya mudah, malah dipersulit. Bertindak secara nalar ternyata tidak semua orang bisa melakukannya. Common sense ternyata tidak common. Dan nyatanya ungkapan itu ada benarnya dan dipraktekkan dalam sistem birokrasi pemerintah secara luas.
Penyimpangan logika ini bila kita bersedia perhatikan, ternyata tidak terjadi hanya pada birokrasi, tapi juga dalam banyak hal di kehidupan sehari-hari. Banyak orang melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak logis tanpa sadar. Ada yang karena terbiasa dan tidak tahu kalau tidak logis. Tapi ada juga yang tahu tidak logis tapi tetap saja dilakukan karena memang dasar berlogikanya menyimpang. Menurutnya benar-benar saja apa yang dilakukan tersebut.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah cara berlogika itu terjadi karena faktor keturunan atau pergaulan? Kalau berdasar keturunan, maka sulitlah merombak birokrasi kita tanpa harus mengganti orang-orang yang terlibat. Susah dibenahi karena cara berlogika keturunannya memang demikian.
Tapi dilain pihak, bila karena pengaruh lingkungan, kenapa cara berlogika yang menyimpang itu melanda di berbagai kelas sosial dan pendidikan. Status sosial atau terutama status pendidikan tinggi tentunya diharapkan punya cara pikir logis dan logika yang lempeng. Namun ternyata tidak demikian halnya. Banyak juga yang punya gelar akademik tinggi - bahkan tingkat profesor, punya logika menyimpang. Lihat saja para elite politik kita. Banyak nalarnya yang melenceng. Tidak masuk akal. Tidak memenuhi cara berpikir khalayak umum. Salah satunya, ketangkap korupsi malah cengar-cengir. Keputusan hakim, membakar hutan tidak merusak lingkungan. Lingkungan pendidikan tinggi tidak juga merubah cara berlogika. Pendidikan tidak sepenuhnya bisa meluruskan logika menyimpang.
Cara berpikir logis ternyata juga tidak selalu tergantung pada lingkungan sosial budaya masyarakat dimana orang bersangkutan tinggal dan hidup. Di Sydney misalnya, saya sering ketemu juga orang-orang yang tidak punya nalar sehat. Cara berlogikanya nyleneh. Menyimpang dari logika umum dari budaya masyarakat yang dikenal punya budaya liberal dan rasionil. Tidak mau bayar ongkos parkir dengan alasan karena tempat parkirnya banyak kosong. Menolak dituduh merokok dalam kamar hotel, padahal seluruh kamarnya benar-benar bau asap rokok dan ada puntung rokok di tempat sampah di kamar mandi. Alasan logis menurutnya, ia merokok di luar kamar lalu masuk kamar dan membuang puntung rokok itu di tempat sampah kamar mandi. Bau asap rokok dari bajunya.
Orang-orang yang anti sosial atau kriminal barangkali disebabkan karena logika yang menyimpang. Tidak merasa salah melakukan perbuatan melanggar hukum karena menurutnya perbuatan itu masuk akal dan bahkan bisa dibenarkan.
Cenderung Mengelompok
Apakah cara berlogika punya kecenderungan untuk mengumpul dalam satu kelompok karena kesamaan? Kecenderungan untuk berkumpul ini bisa dilihat dari kecenderungan-kecenderungan yang ada selama ini. Logika maling hanya cocok di lingkungan para maling. Logika penipu tentu saja hanya cocok di lingkungan para penipu. Dan seterusnya. Dan logika antar kumpulan itu bisa amat beda. Logika para maling pasti lebih banyak berbeda dengan logika para penipu.
Dalam kehidupan dunia maya, pemegang akun media sosial bisa dikelompokkan dalam berbagai kecenderungan. Logika kelompok pendukung Jokowi beda dengan logika kelompok pendukung Prabowo. Logika pendukung Ahok berbeda dengan logika kelompok penduduk lawan Ahok. Bahkan logika sesama muslim pun bisa beda. Logika pendukung muslim nusantara bisa beda dengan logika muslim pendukung PKS.
Nampaknya cara berlogika itu tidak tergantung pada status sosial dan pendidikan. Dalam satu kategori kelompok logika ternyata anggotanya bisa berasal dari berbagai tingkat jenjang pendidikan dan status sosial. Mereka cenderung punya kesamaan dalam berlogika. Logika pendukung Jokowi mati-matian banyak menyetujui langkah-langkah yang diambil oleh pemerintahan Jokowi. Sementara pendukung Prabowo menganggap pendukung Jokowi itu sudah tak punya logika lurus. Karena apapun yang dilakukan pemerintahan Jokowi selalu dianggap benar dan baik. Tapi, demikian juga sebaliknya. Pendukung Jokowi menganggap pendukung Prabowo merupakan kumpulan orang-orang yang berlogika bengkok karena tak mau move on.
Dasar logika masing-masing kelompok itu meski kadang menggelikan, namun toh pendukung masing-masing kelompok bersikukuh bahwa logika merekalah paling benar. Fakta apapun yang disajikan tidak bakal bisa ditelannya, secanggih apapun beberan sebuah fakta. Logika mereka menyangkal kebenaran sebuah fakta di luar kelompoknya. Kebenaran sebuah fakta tergantung dari kelompok mana fakta itu dimunculkan. Menginterpretasi sebuah fakta berdasar selera kelompok. Mereka hanya mau menerima fakta yang mendukung kelompok mereka sendiri. Di luar itu dianggapnya rekayasa atau pencitraan. Ada sikap "denial" terhadap fakta-fakta logis di luar kelompok masing-masing.