Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jangan Percayai Masa Lalu dan Masa Depan, karena Hanya Konsep di Kepala

3 Januari 2014   05:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:13 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MANUSIA selalu melihat ke masa depan. Manusia selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi dan dialaminya di masa depannya. Konsep ciptaan manusia tentang masa depan mungkin semacam naluri untuk mempertahankan diri hidup manusia itu sendiri. Manusia mempersiapkan dirinya untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi di masa depan dan belajar dari pengalamannya di masa lalu.

Masa lalu atau masa depan sebenarnya tidak ada. Hal itu hanya ada di pikiran manusia. Hanya konsep dan bukan realita. Tapi manusia sering hidup dalam konsep dan bukan dalam realita. Kadang konsep itu bisa sedemikian menakutkan bagi manusia. Tidak jarang bahkan ada yang mengakhiri jiwanya karena ketakutan dengan konsep masa depan yang ada di pikirannya sendiri.

Hidup adalah masa kini dan detik ini. Realita hidup ada dalam seperkian detik. Selebihnya tidak ada. Hanya konsep dalam pikiran. Tapi jarang manusia menyadari tentang ini. Mereka banyak terbelenggu dengan konsep yang ada di pikirannya sendiri. Ketakutan dengan masa depan dan terpenjara oleh masa silam.

Bahkan lebih luas, manusia juga mereka-reka tentang masa depannya. Bagaimana jika begini dan begitu? Itulah pertanyaan tentang masa depan yang jadi kontemplasi manusia. Manusia mereka-reka jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan sendiri dalam pikirannya. Jawabannya tak kalah abstraknya.

Manusia memikirkan masa depannya dan lupa dengan masa kininya. Mereka merencanakan masa depannya dan lupa menikmati hidupnya saat ini.

Penulis kenal dengan banyak orang yang bekerja luar biasa keras demi kebahagiaan masa depannya. Mereka mengumpulkan uang seperti tidak ada lagi hari esok. Bekerja keras bukanlah hal asing di Australia. Apalagi bagi para imigran. Mereka bekerja lebih dari delapan jam. Bahkan cuma tidur tak lebih dari empat jam. Selebihnya bekerja.

Tujuan utama mereka bekerja adalah melunasi cicilan rumahnya secepat mungkin. Hampir semua gaji yang didapat dari kerjanya masuk ke bank untuk membayar cicilan rumahnya. Karena demikian semangatnya, mereka tidak menyisakan secukupnya uang untuk menikmati hidupnya hari ini. Mereka jarang liburan, menikmati makan malam di restoran, nonton film di gedung film atau membeli hal-hal yang disukainya. Bahkan untuk makan sehari-harinya mereka mengetatkan budget belanjanya. Tidak membeli hal lain selain makanan pokok.

Beberapa dari mereka menderita sakit di pinggang atau syaraf di tangannya. Cedera karena kerja terlalu keras. Gejala-gejala sakit itu tidak diperhatikan demi masa depan. Setelah bertahun-tahun gejala rasa sakit itu akhirnya menunjukkan efeknya. Sakit pinggang atau nyeri di tangannya makin tak tertahankan. Harus minum obat penahan rasa sakit dan harus mengurangi beban kerjanya.

Begitu cicilan rumahnya lunas, lalu buat apa kalau menikmatinya sambil menahan sakit berkepanjangan? Sementara umur juga tidak makin muda lagi?

Begitulah, banyak orang berkorban demi konsep yang ada di kepalanya. Cicilan rumah mungkin masih bisa diambil manfaatnya, karena rumah (tanahnya) adalah aset yang selalu mengalami apresiasi. Harga tanah selalu naik. Ada keuntungan kapitalnya. Namun tidak sedikit juga orang mencicil mobil, sepeda motor, barang kebutuhan barang mewah lain yang selalu mengalami penurunan harga atau depresiasi. Begitu lunas cicilannya, barang tersebut dijual dengan nilai jauh lebih rendah.

Banyak manusia mencemaskan masa depannya dan lupa menikmati apa yang dipunyai saat ini. Mereka menggantungkan kebahagiaan mereka dengan hal-hal yang ada di masa depan. Mereka akan bahagia jika sudah punya rumah, punya pacar, punya bisnis, dan lain-lain yang ada di masa depan atau hal-hal yang bersifat eksternal. Padahal kebahagiaan adalah masa kini dan tidak selalu tergantung pada faktor eksternal. Kebahagiaan harus dinikmati pada saat sekarang. Waktu tidak bisa ditunda lagi. Banyak orang melupakan hal ini. Banyak orang bikin resolusi akhir tahun berdasar konsep-konsepnya di masa depan dan tidak pada kekinian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun