Dari dulu saya tidak pernah tertarik pada politik. Politik kuanggap main politik. Main politik berarti main sandiwara. Kadang cenderung main tipu. Belum lagi peringatan sesepuh desaku. Jangan main politik-politikan. Dapat manfaat apa? Ora melu opo-opo iso kena tlutuhe. Kuliah wae sing bener. Politik ora marai warek. Begitu kata sesepuh di kampungku.
Tapi aku kuliah di fakultas politik. Sebuah keputusan yang tidak aku rencanakan. Pada saat kuliah itulah aku kenal sedikit gerakan politik mahasiswa. Sempat mondar-mandir sebagai pengamat. Senang lihat diskusinya. Senang bergaul dengan mahasiswa aktivis politik di luar kampusku. Tapi tidak tertarik ikut nimbrung masuk kader. Tawaran kaderisasi selalu kuabaikan. Karena ingat pesan sesepuh kampungku untuk hati-hati bila terjun ke politik.
Setelah mengamati para mahasiswa aktivis politik itu, makin aku yakin bahwa politik memang kerjaan orang yang suka molitiki orang lain. Tidak kudapat gambaran konsistensi kebenaran dari tingkah laku politik mereka. Yang ada malah debat berkepanjangan dan jarang menemukan titik temu. Apalagi diwejawantahkan dalam tindakan. Semua hanya di udara. Main intrik, main tikai, main kata-kata.
Tapi ada yang bisa aku petik dari keterlibatanku itu. Mengamati cara berdiskusi dan mengemukakan pendapat. Sumber-sumber bacaan yang bisa bikin dada bergetar. Sitiran-sitiran ahli sosial dan politik orang ternama. Sikap-sikap nasionalisme yang seolah tak kehabisan sumber. Politik praktis pada tataran adu teori inilah yang membuatku tertarik dengan ritme kehidupan politik. Selebihnya tak tertarik. Apalagi jika paham itu dikontak-kontakkan dalam sebuah organisasi aliran politik berdasar ideologinya. Aku lebih tertarik mempelajari politik dari segi teori secara umum. Tidak tertarik pada aplikasinya. Aku tak mau terjerumus dalam dunia pengkotak-kotakkan itu.
Akhirnya dunia politik mahasiswa itu aku tinggalkan. Lebih tertarik mengikuti kegiatan di luar kampus yang bersinggungan dengan kebudayaan dan kesenian. Di sinilah aku menemukan dunia keindahan. Kebudayaan dan kesenian lebih menyentuh kejiwaan manusia. Inilah dasar dari segala tingkah laku manusia berasal. Termasuk politik. Kebudayaan memberiku gambaran lebih utuh dalam mengamati kehidupan. Juga kehidupan politik. Politik hanya lapis kulit luar saja dari sebuah kebudayaan. Dengan memahami kebudayaan bisa lebih terang dalam memahami tingkah laku politik di kehidupan sosial.
"Bacalah banyak-banyak buku kebudayaan agar kau makin beradab," begitu kata salah seorang dosen di kampusku. Kata-katanya itu aku ingat betul. Kata-kata yang diucapkan dengan nada sinis oleh dosenku saat kuliah Komunikasi Politik. Saat itu ia membicarakan perilaku politisi di Indonesia.
Mungkin perkataan dosen itu ditertawakan oleh mahasiswanya. Tidak mengerti maksudnya. Termasuk aku.
Ketika makin terlibat dalam kegiatan kebudayaan dan kesenian, aku makin mengerti apa maksud perkataan dosen itu. Mempelajari kebudayaan memang bisa membuat manusia makin beradab. Kesenian memperindahnya. Manusia yang tahu kebudayaan dan kesenian akan bisa lebih baik dalam memahami kehidupan dunia praktis keseharian. Memandang manusia lebih egaliter. Memahami manusia lebih manusia. Tidak berlebihan jika aku simpulkan bahwa kebudayaan dan kesenian bisa memanusiakan manusia.
Lain sekali dengan politik. Politik bagiku menghewankan manusia. Tujuan praktis mencapai kekuasaan kadang dicapai dengan menuruti naluri terendah dari manusia itu sendiri. Apapun latar belakang ideologi politiknya. Politik memandang manusia lain dari jubahnya. Dari kulit luarnya. Dari kotaknya. Dari benderanya. Menutup mata dengan hakekat sebenarnya dibalik semua itu. Bahwa kita sama-sama manusia. Politik memandang manusia lain sebagai obyek yang perlu dikuasai. Jarang dipandang secara egaliter. Karena akan meniadakan dan memandulkan politik itu sendiri.
Memperebutkan kekuasaan memang sudah tua sejarahnya di kehidupan manusia. Manusia tak bisa mengelak dari hal ini. Karena dengan pegang kekuasaan, "kekacauan" sistem sosial bisa dibenahi agar "lebih baik". Yang salah diluruskan. Yang benar dilanjutkan. Yang tertindas dimerdekakan. Yang miskin disejahterakan. Yang korup dikucilkan. Meski harga dari perebutan kekuasaan itu melebihi dari harga yang diperjuangkan. Bahkan manusia mengorbankan milik pribadi satu-satunya yang paling berharga. Nyawanya.
"Berpolitiklah yang santun," itu kata orang-orang yang berdiri di pinggiran jalan. Kata-kata itu tidak diumpatkan atau diteriakkan. Lebih pas sebagai gumaman.