Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Ekonomi Rasional

18 Juni 2015   07:24 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:45 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

 

Di Sydney, saya punya kenalan orang Semarang. Umurnya 55 tahunan. Perawakannya kecil dan ramping. Sepintas kelihatannya ia tak punya tenaga banyak. Tapi ternyata anggapanku salah. Ia orangnya keranjingan kerja. Tidur tak lebih dari empat jam seharinya. Selebihnya ia bekerja! Tak ada hari libur.  

Ia bekerja paruh waktu secara tetap di dua perusahaan. Masih kurang, ia punya sumber income sampingan. Ia jualan makanan. Menerima pesanan segala jenis masakan dan catering. Begitu pulang kerja ia membantu istrinya masak dan mengantarkan makanan pesanan. Suami-istri sama-sama gilanya. Gila kerja dan gila uang.

Kadang aku ditawari untuk pesan empek-empek, lumpia, rendang dan lain-lainnya. Pernah aku iseng-iseng tanya apa bisa bikin gudeg? Katanya bisa. Lalu jadilah gudeg pesananku itu. Tapi sayang rasanya tidak seperti yang aku harapkan. Aku pesan karena rasa ingin "membantu" dan tak ingin mengecewakan tawarannya. Salut pada sikapnya yang luwes dengan pesanan. Pesanan konsumen selalu disanggupi. Makanya, mereka tak pernah kehabisan pesanan. Aku hanya bisa membayangkan capeknya.  

Kadang aku heran, bagaimana bisa orang hidup seperti itu? Melulu bekerja dan bekerja. Kupikir aku termasuk pekerja keras. Tapi ternyata termasuk masih kelas ringan jika dibandingkan dengannya. Aku masih perlu waktu libur dalam seminggunya kalau nggak pingin jadi senewen dan uring-uringan.

Tak heran jika uangnya banyak. Di Tanah Air, mereka punya showroom mobil di dua kota. Jualan mobil ternyata belum cukup juga buat mereka. Padahal mereka sudah tak punya tanggungan. Anaknya empat sudah bekerja dan menikah semua. Aku tidak tahu untuk apa saja uangnya.

Hidup di Sydney memang mahal. Semua serbamahal. Sistem ekonomi di Australia sifatnya liberal dan rasional. Menganut sistem pasar bebas.  Harga mengikuti perkembangan pasar. Termasuk BBM yang bisa saja tiap hari berganti-ganti harga per liternya. Bahkan hanya beberapa meter jarak antar pom bensin harganya bisa beda. Bisa naik dan bisa turun. Kompetisi pasar bebas antarpelaku penjual BBM tetap diawasi pemerintah. Monopoli harga dilarang secara hukum. Jadi konsumenlah yang diuntungkan karena penjual pasti berusaha bersaing menawarkan harga terendah buat konsumen agar dagangannya laku. Itu teorinya.

Tapi ternyata tidak selalu begitu. Dalam mengikuti pasar, harga-harga tetap saja cenderung naik. Konsumen harus mengikuti. Sementara penghasilan relatif tetap jumlahnya. Beberapa barang tak lagi terjangkau tanpa pengiritan pengeluaran lainnya. Perencanaan pengeluaran harus diperhitungkan dengan baik kalau tak ingin tekor dan terjebak pada ekonomi subsistensi atau gali lubang tutup lubang.

Itulah kunci orang yang hidup di Australia yang budayanya lebih individualis dan rasionil. Bekerja keras, menghargai waktu, pandai mengatur keuangan dan rajin menabung. Kalau kurang uang, tidak dengan korupsi atau tipu sana-sini, ngoplos makanan dengan bahan kimia atau minta bantuan pemerintah, tapi dengan bekerja lebih keras. Makin banyak butuh uang, makin keras kerjanya. Tidak ada jalan pintas selain dengan kerja keras.

Karena ada kepastian hukum serta aturan jelas, sistem yang fair dan terbuka bagi semua, maka usaha keras dan kerja keras akan memberikan hasil sepadan. Tergantung masing-masing orang. Mau nggak? Ada keinginan nggak? Mau dapat uang banyak tanpa kerja keras?  Silahkan hukum dilanggar. Cepat atau lambat pasti ketahuan dan masuk penjara. Atau kena denda berlipat-lipat dan bisa memiskinkan. Sekali tercatat sebagai kriminal, pilihan lapangan kerja untuk hidup makin terbatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun