Lowongan kerja dibutuhkan tenaga yang punya attitude dan karakter positif.
MENYELEKSI kandidat pekerja untuk lowongan kerja baru bisa amat pelik penuh liku. Pelamarnya bisa lebih dari sepuluh hanya untuk satu posisi kerja yang ditawarkan. Pilihan kandidat pada tahab awal disaring dari resume yang dikirim tentang latar belakang pengalaman kerjanya. Pada tahab ini relatif mudah. Tinggal mencoret pelamar yang tidak mempunyai pengalaman kerja cukup. Alasannya sederhana, tanpa pengalaman cukup akan sulit bisa diharapkan bisa bekerja sesuai standard. Waktu untuk mentraining guna mempersiapkan pekerjaan yang akan dilakukan bisa makan waktu cukup lama. Makin tinggi posisi makin mustahil untuk menerima pelamar dengan minim pengalaman. Makin tinggi posisi, makin diperlukan pengalaman matang.
Tapi kadang kalau terlalu pengalaman, kita juga ragu untuk tidak mencoretnya. Pekerja yang punya pengalaman melebihi dari posisi yang ditawarkan secara teori berpotensial untuk tidak bisa tahan lama. Atau kadang malah mempersulit atasannya karena merasa punya pengalaman lebih. Bahkan pelamar dengan kualifikasi pengalaman lebih biasanya rewel. Mengkritik sana-sini membuat tempat kerja jadi tidak nyaman. Ibaratnya seperti naik kapal. Pekerja baru itu akan menggoyang kapal terlalu keras. Bisa-bisa membuat kapalnya tenggelem. "Don't shake the boat too hard," begitu orang Australia akan memperingatkan jika ada seorang pekerja yang suka bikin ulah.
Maka pilihan terbaik adalah mencari seorang yang punya pengalaman "cukup" dan sesuai dengan posisi pekerjaan yang ditawarkan. Definisi "cukup" itu kadang diterjemahkan secara subyektif. Kadang bisa setahun pengalaman, kadang bisa juga cukup beberapa bulan. Atau bahkan cuma sekedar pernah mengecamnya tanpa ukuran waktu yang pasti. Tergantung posisi yang ditawarkan. Untuk posisi pekerja di garis bawah, pengalaman kerja tidaklah begitu dituntut yang tinggi-tinggi.
Jika kandidat sudah ditentukan, tahab berikutnya adalah wawancara. Banyak teknik dikembangkan dalam melakukan wawancara ini guna menyaring kandidat yang pas. Pengalaman dan penguasaan teknik wawancara amat diperlukan dan penting bagi seorang pewawancara untuk menghindari salah pilih karena adanya kebenaran yang disembunyikan atau dipalsukan dalam resume kandidat yang diwawancarai. Untuk itulah, biasanya dilakukan oleh orang yang kompeten dari departemen human resourse. Dan wawancara biasanya didampingi oleh orang lain. Biasanya kepala departemen yang membuka lowongan kerja agar ia bisa ikut menentukan calon pas karyawan barunya.
Jika kandidat yang melamar punya kualifikasi merata, makin sulitlah untuk memutuskan kandidat-kandidat mana yang cocok sesuai apa yang dibutuhkan perusahaan. Biasanya wawancara akan dilakukan lebih dari sekali untuk memastikan ketepatan penilaian kandidat.
Dalam posisi kritis inilah, kadang penilaian bisa amat subyektif. Karena semua syarat administrasi sudah terpenuhi, maka penilaian berikutnya bisa saja "hanya" berdasar selera pribadi si pewawancara. Penilaian pribadi ini tergantung dari orangnya. Jika pewawancara bisa berpikir rasional, maka ukuran-ukuran penilaian sedikit banyak bisa lebih logis.
Tapi bisa juga pewawancara memutuskan untuk memilih seorang kandidat karena alasan-alasan sederhana. Misalnya karena suka cara berdandannya, suka bentuk fisiknya, suka keramahannya, suka dengan obrolannya, suka cara duduknya, suka kesopanannya, suka karena terkesan ia gampang diatur, suka ketegasannya dan sebagainya. Kadang seorang kandidat gagal mendapatkan posisi hanya karena ia terkesan arogan. Atau sebaliknya terkesan tidak menunjukkan kemauan kerasnya, tidak tegas, tidak bisa memutuskan dengan cepat, lamban cara berpikirnya dan seterusnya. Penilaian lebih mengarah pada kualitas psikologi atau kepribadian kandidat.
Pengetahuan tentang pribadi para kandidat disimpulkan dalam waktu singkat saat wawancara muka ke muka. Tidak mungkin bisa mengenal pribadi para kandidat dalam sekali atau dua kali wawancara saja. Sementara keputusan harus diambil secepatnya.
Karena pendeknya waktu yang diperoleh, bisa mengakibatkan salah kesimpulan jika tidak hati-hati. Kandidat yang nampak kurang tegas, mungkin saja karena cara berpikirnya lebih dalam. Penuh pertimbangan dan hati-hati dalam memutuskan. Orang yang nampak tegas dalam wawancara belum tentu bisa tegas jika dihadapkan pada persoalan nyata di depannya. Karena berbagai aspek perlu dipertimbangkan sebelum melahirkan keputusan yang efektif, adil dan memuaskan banyak pihak. Kalau asal tegas, semua orang hampir pasti bisa melakukannya. Tapi masalahnya adalah, ketegasan yang membabi buta tidak cocok lagi dalam budaya kerja yang demokratis dan egaliter.
Pentingnya Attitude