Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Reformasi Hitam Ahok

11 Maret 2016   06:32 Diperbarui: 11 Maret 2016   07:23 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ahok tidak saja mereformasi sistem dan budaya kerja birokrasi yang selama ini nampak korup dan lamban, tapi juga mereformasi sesuatu yang selama ini tidak diperhatikan oleh masyarakat. Ahok tidak saja mereformasi hal-hal yang ada di atas meja, tapi juga yang ada di bawah meja. Mereformasi hal-hal yang selama ini bersembunyi di balik dinding dan di dasar got.

Selama ini kita hanya kenal birokrasi yang sopan dan lemah lembut. Masyarakat yang berhubungan dengan birokrasi pun nampak sopan dan santun. Mereka dilayani dengan obrolan yang santun dan terdengar lembut di telinga. Urusan beres dan diakhiri dengan senyuman mengembang di bibir masing-masing. Tidak ada masalah.

Tapi di balik senyuman ramah, kesopanan dan obrolan santai itu ternyata di baliknya mengalir uang pelicin yang tak terdeteksi oleh orang lain. Mungkin banyak orang sudah tahu aliran pelicin itu, tapi acuh tak acuh dan tak mau tahu. Karena tanpa uang pelicin urusan jadi tersedat. Jadi terserah saja pada pelaku masing-masing. Kedua pihak saling membutuhkan. Dan semua itu dilakukan tidak mencolok mata. Ada tepa seliranya. Masyarakat pun harus tahu tepa selira bahwa hal-hal yang begituan memang sewajarnya. Tak ada usaha tanpa bea. Jer basuki mawa bea. Tlutuh tela, butuh mara. Begitulah peribahasanya.

Uang pelicin itu bisa dipastikan terjadi di birokrasi di seluruh Indonesia. Dari tingkat RT di kampung hingga di pusat pemerintahan. Selama puluhan tahun kita semua tutup mata dan tak mau tahu, tapi tiba-tiba karena Ahok dengan ceplas-ceplos tanpa tedeng aling-aling mengungkap praktek-praktek gelap itu. Dengan tanpa tepa selira Ahok mengungkap praktek-praktek menyimpang yang selama ini kita biarkan dan acuh tak acuh. Tak ada orang punya cukup keberanian mengungkapkannya sedemikian gamblang seperti Ahok. Apalagi berharap dari orang birokrat. Ahok membuka praktek-praktek yang selama ini tabu untuk diungkapkan. Ahok tanpa sungkan-sungkan membuka "wadi"-nya (sesuatu yang saru dan tak sopan) para birokrat dan elite politik yang nampak terhormat.

Tidak berlebihan jika karena Ahoklah masyarakat mendapat informasi tentang praktek-praktek korupsi yang dilakukan pejabat dan elite politik. Masyarakat menjadi melek mata bagaimana korupsi dilakukan oleh para pejabat lewat berbagai media dan kesempatan secara lebih gamblang. Salah satu media populer dan bisa diakses kapan dan dimana saja adalah melalui video on line. Video berbagai peristiwa yang meliput Ahok dalam hal kasus-kasus praktek korupsi. Bahkan video gubernuran yang sifatnya kegiatan internal juga diunggah oleh Ahok di Youtube. Tergambarkan di situ bagaimana sikap Ahok terhadap pejabat korup, bagaimana pejabat minta upeti dan berbagai informasi modus operandi pejabat dalam memeras masyarakat dan menggarong uang negara.

Informasi tabu yang berusaha diungkap Ahok itu disusul dengan peristiwa fenomenal yang mengekspose kasus "Papa minta saham" lewat sidang MKD yang videonya juga bisa ditemukan di Youtube. Bagaimana seorang wakil rakyat melibatkan nama presiden dalam usahanya memperoleh bocoran uang negara. Informasi tentang korupsi juga bisa didapat dari berita-berita yang disiarkan oleh KPK. Namun kasus-kasus yang disidangkan oleh KPK jauh kurang lengkap dan detail dibanding dengan apa yang diucapkan dengan "blaka suta" oleh Ahok.

Ahok juga mengungkap praktek-praktek gelap lainnya, di balik meja, yang mungkin akan sulit dideteksi oleh penyidik KPK. Jalur praktek memberi pelicin itu tak meninggalkan jejak bahkan disamarkan dengan hal-hal yang nampaknya resmi dan tertata. Meski belum terbukti secara hukum, tapi paling tidak ucapan-ucapan Ahok menjadi referensi bagi masyarakat tentang potensi korupsi.

Kasus UPS kalau tak diangkat isunya oleh Ahok, barangkali kita tidak tahu bagaimana uang siluman itu bisa dianggarkan. Proses penganggaran dana ups itu sendiri amat menarik untuk diketahui oleh masyarakat awam yang tak mengerti bagaimana seluk beluk kerja birokrat dan elite politik dalam urusan uang negara.

Masyarakat barangkali sudah begitu muak dengan kasus-kasus korupsi. Beberapa lapisan masyarakat mengusulkan hukuman mati bagi koruptor. Bahkan ada yang menyarankan pembubaran DPR karena lembaga wakil rakyat itu sudah tak lagi berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat tapi sebagai sarang koruptor.

Kemuakan akan korupsi itu dengan terbukanya diekspresikan oleh seorang gubernur, seorang pemimpin di ibukota: Ahok. Sebagai bekas anggota DPR dan kini sebagai gubernur, Ahok tahu benar mentalitas para birokrat dan elit politik. Dan hanya Ahok sebagai gubernur yang berani mengatakan semuanya secara terus terang dan ceplas-ceplos tanpa pandang bulu. Jika semua lini birokrasi demikian korupnya, maka bisa dimengerti kejengkelan Ahok. Maka keluarlah kata-kata, "maling", "tai", "garong" dan sebagainya.

Maling di kampung masih bisa adu mulut, bahkan bisa ngajak berantem ketika dituduh maling. Tapi begitu ditangkap polisi dan dibawa ke pengadilan, para maling itu nampak demikian malu bahkan ketakutan. Lain halnya dengan para koruptor. Mereka bila dituduh korupsi atau diteriaki maling tidak lalu berbenah diri dan memperbaiki keadaan, tapi malah langsung mencak-mencak dan balik mencaci. Mereka punya seribu alasan dan mengelak dengan hal yang dituduhkan bahkan dengan polesan kata-kata yang mensucikan tindakannya. Mereka merasa begitu malu dengan tuduhan itu dan membela diri mati-matian. Tapi begitu terbukti dan ditangkap KPK bukannya merasa malu, tapi malah senyam-senyum dan melambai-lambaikan tangannya kayak selebritis kondang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun