Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wawancara Iseng dengan Orang di Australia tentang Panasnya Hubungan Diplomatik Australia-Indonesia

22 November 2013   06:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:49 1838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hangatnya berita hubungan Australia dan Indonesia menempati halaman depan koran The Sydney Morning Herald, 21 November 2013. Foto: jepretan pribadi koran The Sydney Morning Herald.

ISENG-ISENG penulis tanya beberapa teman tentang sikap orang Australia terhadap panasnya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia saat ini. Ternyata reaksinya amat beragam. Dari tidak tahu, masa bodoh, menyalahkan Abbott dan bahkan hingga mentertawakan sikap Abbott.

Dua hari lalu, pada saat berita penarikan Duta Besar RI di Canberra dan juga berita yang mengatakan bahwa Menlu RI wajahnya seperti bintang film porno dari Philipina, rata-rata reaksi orang Australia masa bodoh. Tapi ada juga yang tertawa ketika ditanya tentang bintang porno Philipina yang mirip Menlu RI.

Seorang teman bercerita, ketika ia tanya teman sekantor tentang hubungan diplomatik Australia dan Indonesia dua hari lalu, rata-rata mereka belum sadar tentang memburuknya hubungan antarnegara.

"What do you think about Australia and Indonesia relationship now?"

"Why? What's wrong?" jawab yang ditanya.

"Australia spying on Indonesia and Indonesian government doesn't like that?"

"Really?" jawabnya lagi.

Pertanyaan ringan yang diajukan itu seperti pertanyaan biasa dan tidak penting. Seolah sekedar menyambung obrolan pagi hari. Tapi ternyata sikap mereka berubah. Ketika petang harinya, banyak dari mereka melihat berita di TV bagaimana sekelompok demonstran membakar bendera Australia.

Teman itu bercerita, ketika ia masuk kantor, banyak dari kerabat kerjanya tiba-tiba lebih pendiam. Lain dari biasanya. Begitu teman itu lewat, semua tiba-tiba menghentikan percakapan mereka. Teman itu merasa aneh. Ia bersikap biasa saja sebenarnya. Tidak ada yang mengganggu perasaannya. Hubungan diplomatik antar dua negara sudah jauh dari pikirannya ketika mulai memikirkan masalah kerjaan pagi itu. Suasana yang tiba-tiba senyap itu menggelitiknya.

"What's wrong? Did anyone see a ghost?" tanyanya bergurau.

"Are you all right?" tanya seorang dari mereka.

"Yes, I am all right. Thank you. What's wrong?" tanya temanku itu malah jadi bingung sendiri.

"You are not upset, are you?"

"No. Why?"

"I saw Australian flag was burnt by Indonesian last night."

"Oh, that's one. Yes, I saw it in the news," jawab teman.

"What's wrong with them?" tanya salah seorang karyawan.

Ternyata kerabat kerja teman tersebut mengira bahwa semua orang Indonesia lagi marah sama orang Australia. Atau mungkin saja mereka mencoba menghargai masalah negara orang lain. Para imigran yang datang ke Australia memang banyak yang punya masalah dengan negaranya. Mereka adalah pengungsi politik. Bahkan ada yang takut balik ke negaranya karena jika balik pasti mereka akan dibunuh. Dan lain-lain keadaan yang membuat mereka lari dari negaranya lalu masuk Australia dan tak punya rencana untuk balik sebelum ada perubahan di negaranya.

Seorang teman lain bercerita, ketika ia masuk kantor ada seorang teman kerjanya langsung tanya padanya tentang peristiwa pembakaran bendera Australia di Indonesia itu.

"What's happening in Indonesia? I saw in the news, they burnt Australian flag?" tanya seorang kerabat kerja begitu melihat teman. Penanya itu orang Australia berumur 55an tahun. Ia kelahiran Inggris.

Teman tersebut tentu saja terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba yang bernada seperti interogasi itu. Tidak biasanya ia bersikap seperti itu.

"I don't know. I heard because Australia government spying on Indonesian president and refuse to apology," teman itu menjawab dengan santai untuk menghindari debat yang lebih politis. Tidak pantas debat tentang politik di tempat kerja.

"Australia and Indonesia had been so long in good relationship. It supposed to be in friendly relationship," kata kerabat kerja teman tersebut lebih lanjut seolah kurang puas dengan jawaban yang ia terima.

"Indonesia soon will declare war with Australia, mate," kata temanku itu singkat.

Percakapan pada jam-jam awal masuk kantor itu kemudian dilupakan begitu saja ketika semua mulai membenamkan diri pada pekerjaan masing-masing. Semua kembali normal sebagaimana suasana kerja di hari-hari kemarin.

Kegiatan sadap menyadap atau spionase antar negara adalah hal lumrah dilakukan oleh semua negara. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga keamanan dalam negeri terhadap kemungkinan adanya ancaman dari luar negeri. Negara yang bagaimana pun akrab tingkat persahabatannya, tidak menutup kemungkinan tetap terjadi saling adu spionase.

Maka tindakan Australia dalam masalah spionase dianggapnya wajar saja. Karena pasti negara lain juga melakukan kegiatan spionase terhadap Australia. Tapi ada kesalahan fatal yang dilakukan oleh Australia. Tindakan spionase juga dilakukan pada seorang isteri presiden yang sama sekali tidak terlibat dalam politik, pemerintahan atau keputusan-keputusan strategis masalah kenegaraan.

"Coba bayangkan, seandainya kamu membicarakan masalah kerjaanku dengan isteriku? Tentu saja aku bisa marah. Isteri kan tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaanku? Tidak berhaklah anda mengorek informasi masalah kerjaanku dari isteriku. Kalau memang ada masalah, ya tanya langsung padaku," begitu ujar teman menjelaskan duduk masalahnya kenapa pemerintah Indonesia begitu marah pada Australia dengan penyadapan yang dilakukan.

Sepertinya mereka setuju dengan pendapat temanku itu, begitu ceritanya. Tony Abbott harus minta maaf pada pemerintah Indonesia. Jawabannya yang muter-muter di parlemen saat ditanya masalah penyadapan amat menjengkelkan.

Reaksi pemerintah Indonesia untuk memanggil pulang duta besarnya memang agak berlebihan. Selama ini telah dua kali terjadi pemanggilan Duta Besar RI untuk Australia. Pertama tahun 2006 saat pemerintahan John Howard karena memberi suaka politik pada pengungsi dari Irian Barat. Dan yang kedua tahun 2013 ini, saat Tony Abbott menolak minta maaf atas penyadapan yang dilakukan. Penarikan Duta Besar RI di Canberra tersebut keduanya terjadi pada masa kepresidenan SBY.

Sekitar tujuh bulan lagi Indonesia akan mengadakan pemilu untuk memilih presiden. Apakah masalah hubungan diplomatik yang angat-angat tahi ayam ini ada hubungannya dengan masa pemilu? Tidak banyak orang yang tahu. Hanya menduga-duga saja bahwa setiap datang pemilu pasti ada sesuatu yang bikin rame. Cari skenario jalan keluar dengan kepenak dan aman. Biarlah kedua pemerintah menyelesaikan masalah itu sendiri-sendiri. Yang penting rakyat tidak terkena imbas main-main politik tingkat tinggi ini.*** (HBS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun