Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hidup Tak Lebih dari Sekedar Menunda Mati

20 Januari 2014   10:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:39 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

MAU apa tidak, siap apa tidak, sadar atau tidak, hidup itu sebenarnya cuma menunda kematian. Kita semua bakal mati. Tidak ada seorangpun nggak bakal mati. Semua mati. Mati, dikubur dan jadi tiada. Tidak berbekas. Dunia tetap berputar tanpa atau dengan keberadaan kita. Hidup bergulir dari detik ke detik. Menggelinding tanpa bisa dihentikan sepersekian detik sekalipun.

Saat ini, mungkin kita masih menganggap kematian bukan urusan kita. Bila kita melihat orang mati, itu urusannya yang mati dan keluarganya. Mati seolah jauh dari kita. Seolah kita bakal tak mengalami kematian. Kita ucapkan ikut berbelasungkawa, urusan jadi beres. Kematian dilupakan dan kita kembali ke liang kehidupan masing-masing. Disibukkan oleh urusan-urusan yang dekat dengan diri sendiri. Kita lupa bahwa untuk memutus benang hidup hanya perlu waktu sepersekian detik. Mati sedekat udara yang mengalir di hidung sendiri. Namun kita lalai mendengarnya karena mati seolah bukan urusan diri.

Kita lahir sendiri. Kita tidak bisa mengingat bahwa dunia peduli saat kelahiran kita. Kita merasa telah memasuki dunia kehidupan tanpa orang lain peduli selain orangtua dan keluarga dekat kita sendiri. Merekalah orang-orang yang kita kenal saat menapaki hidup dari hari ke hari. Keluarga kita mengenalkan kita bahwa ada orang-orang lain di sekitar kita. Kita mengenal kehidupan lain selain keluarga. Manusia hidup ada di mana-mana.

Ketika kecil kita menerima hidup sebagaimana adanya. Hidup orang lain adalah bagian dari hidup kita sendiri. Hidup sebagaimana hidup kita sendiri. Kita terima kehidupan lain tanpa melihat asesorinya. Hitam, kuning, putih, atau coklat kita terima hidupnya. Keanekaragaman hidup kita terima sebagaimana keanekaragaman yang ada dalam hidup diri pribadi. Keindahan masa kecil saat kita bisa berteman dengan siapapun tanpa peduli.

Begitu kita dewasa, kesibukan dengan kebutuhan diri menjauhkan kita dari hidup orang lain. Hidup orang lain bukan dipandang lagi sebagai bagian dari hidup sendiri tapi sebagai sesuatu yang berada di luar diri. Bahkan sebagai ancaman hidup diri. Hidup orang lain adalah bencana yang setiap saat bisa mengancam kehidupan diri. Kehidupan diri kita kedepankan. Kita merasa paling tahu dengan hidup diri. Kita bedakan hidup diri dengan hidup diri orang lain.

Kelahiran baru di keluarga lain kita anggap tak lebih dari hasil dari kegiatan esek-esek. Kehidupan baru orang lain adalah tanggungjawab orang yang telah beresek-esek dan bukan tanggungjawab kita. Kehidupan baru manusia lain adalah milik orang lain.

Kita lupa dengan kemanusiaan diri kita sendiri. Kita lupa bahwa kita lahir lewat proses sama. Kita juga mati lewat proses yang persis sama sebagaimana dengan hidup-hidup lainnya. Kita terbatasi oleh lapisan kulit kita sendiri. Kita terpenjara oleh kulit kita sendiri dalam memahami hidup di luar diri. Kita merasa bahwa hidup diri lain dengan hidup di luar diri. Kita merasa dilahirkan beda. Kita dilahirkan dengan cara suci dan cinta sejati. Sementara lainnya dari air mani yang dimuntahkan dari nafsu kekotoran duniawi.

Jika kita jalani hidup kini dengan memungkiri hidup di luar diri, sebenarnya kita hidup hanya untuk menunda mati. Kita berilusi bahwa kita bisa hidup sendiri dan beda dengan hidup lain yang kita benci. Kita berilusi bahwa orang yang kita cintai hanya bagian dari hidup sendiri. Kita berilusi bahwa cinta membuat hidup kita tidak sendiri. Kebencian kita puji dan syukuri sekedar untuk menghibur diri. Seolah hanya kitalah yang berarti dan orang lain hanya asesori.

Kematian datang pada diri tak dapat dihindari dan kita bakal menemukan kebenaran sejati. Bahwa kita tak beda dengan manusia lain yang lahir kemudian mati. Apa yang kita punyai dan dapati saat ini tak lebih dari sekedar asesori. Kita tak mengerti bahwa hidup akan lebih berarti jika kita bisa menghargai hidup lain di luar diri. Karena hidup selalu memberi, cintailah hidup maka hidup akan balik mencintai. Bahkan berlipat kali tanpa peduli. Pinginnya hidup seribu tahun lagi.*** (HBS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun