Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Larangan MUI dan Kedalaman Makna Toleransi

26 Desember 2012   00:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:03 1423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang teman di facebook menulis tentang dampak dari larangan MUI untuk tidak mengucapkan selamat Natal pada kaum Nasrani yang dirasakannya pada hari Natal tahun ini. Meskipun masih tetap ada teman-temannya yang beragama Islam yang "berani" mengucapkan selamat Natal, tetapi jumlahnya memang sangat berkurang. Beberapa teman yang tak suka ribut, diam-diam mengucapkan selamat Natal lewat inbox, sms, atau bbm. Sebelumnya teman itu sempat berpikir untuk tidak mengharap atas ucapan selamat Natal dari teman-temannya. [caption id="attachment_223928" align="aligncenter" width="573" caption="Di Beirut bangunan masjid Mohammad al Amin dan gereja Marounite terletak berdampingan. Sumber foto: http://en.wikipedia.org/wiki/File:ChurchMosque.jpg"][/caption] Teman itu menulis, "Sudahlah, tak diberi ucapan selamat juga tak apa. Toh memang bukan itu tujuan merayakan Natal."  Ia berusaha memahami posisi teman-temannya yang beragama Islam dalam menjalankan ketentuan agama dan ia memaklumi semaklum-maklumnya. Ucapan-ucapan selamat Natal yang diterimanya secara pribadi lewat inbox, sms atau bbm itu justru membawa kandungan yang lain.  Ucapan selamat Natal yang dulunya diterima sebagai hal biasa, bahkan sering dianggapnya sebagai basa-basi, pada tahun ini dirasakannya sebagai sesuatu yang amat menyentuh. Sedemikian menyentuhnya sampai teman itu tak kuasa menahan air matanya untuk menetes, demikian tulisnya. Dalam era globalisasi, pengaruh budaya modern sulit untuk dibendung dan sepertinya tidak ada yang bisa menandingi kekuatannya.  Globalisasi yang membawa nilai-nilai budaya barat itu sudah merambah dalam berbagai segi kehidupan.  Tidak ada yang bisa mengelak dari pengaruh budaya barat, kecuali bagi masyarakat itu benar-benar berada di daerah yang terisolasi dan terpencil. Tidak bisa dipungkiri bahwa moralitas yang baik adalah penting bagi kehidupan bersama secara sosial agar berlangsung secara harmonis.  Pertanyaannya adalah moralitas yang mana?  Banyak orang berpendapat bahwa mereka memperoleh kepercayaan moralnya sebagian besar dari agama.  Tapi banyak juga yang mengakui bahwa kepercayaan moral bisa didapat dari komunitas sosial. Karena moralitas tidak bisa berdiri sendiri.  Tidak bisa lahir dari sebuah keterisolasian.  Kita mendapat nilai-nilai moralitas yang baik dari pendidikan dan pengalaman-pengalaman lain dalam berkehidupan sosial.  Moralitas yang berlaku secara umum di masyarakat di mana kita tinggal.  Hukum-hukum positif sebagai sumber moral yang punya kekuatan hukum menjembatani dan melengkapi kedua sumber moral tersebut. Dari manapun sumber moralitasnya, jangan lupa bahwa kita juga berhadapan dengan moralitas universal yang tidak tergantung dari agama dan tempat di mana kita hidup.  Sebuah moralitas yang berlaku bagi semua manusia.  Setiap manusia kalau dicubit pasti merasa sakit, maka jangan mencubit manusia lain.  Begitu kira-kira contoh moralitas universal itu. Konsep human right, freedom of speech, kesamaan hak, kebebasan beragama, demokrasi dan lain-lainnya adalah konsep-konsep yang dibawa oleh globalisasi budaya modern. Terminologi "kebebasan beragama" sendiri sepertinya gampang diucapkan, namun begitu rumit bila diterapkan dalam kehidupan bersama.  Meskipun  oleh negara maju yang memisahkan antara kehidupan beragama dan negara. Agama ditempatkan pada ruang pribadi individu, dan negara akhirnya bersifat sekuler. Pemilahan itu telah menyebabkan keadaan dimana ekspresi keagamaan di ruang publik menjadi problem yang dilematis. Sebagaimana kasus-kasus pemakaian simbol keagamaan di ruang publik yang terjadi di Perancis dan di negara-negara lain yang bersifat sekuler telah mengundang debat sosial berkepanjangan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali menegaskan agar umat muslim agar tidak memberikan ucapan Selamat Hari Raya Natal kepada umat Kristiani apalagi mengikuti natalan bersama, karena hukumnya haram  dan berdosa bagi umat Islam mengikuti perayaan Natalan bersama umat Kristen. Sebab dalam acara Natalan bersama itu mengandung unsur ibadah Kristiani. "Umat Islam haram mengikuti perayaan Natalan bersama, karena mengandung unsur ibadah, sehingga akan merusak aqidah dan keimanan umat Islam. Bahkan ucapan Selamat Hari Natal,  jangan sampai diucapkan oleh umat Islam. Adapun yang diperbolehkan ucapan Selamat Tahun Baru 2013," nasihat Ketua MUI KH.Ma'ruf Amin dalam jumpa pers di kantornya di Jalan Proklamasi nomor 51, Jakarta Pusat, Rabu (19/12). Ia menegaskan, meski tidak mengucapkan selamat, umat Islam tetap harus menghormati perayaan Natal. Tapi tetap di dalam batasan-batasan ajaran agama Islam. Keputusan MUI yang mengharamkan untuk mengucapkan selamat natal pada kaum pemeluk agama Nasrani sebenarnya hanya didukung oleh sebagian kecil ulama, demikian menurut beberapa pendapat yang ada. Sedangkan fatwa MUI yang dikeluarkan pada era Hamka tahun 1981 adalah, haram untuk mengikuti ritual Natal namun tidak haram menghadiri perayaan Natal (bukan ritualnya).  Fatwa tersebut tidak membahas soal mengucapkan ucapan Selamat Natal. Beberapa pendapat juga menyimpulkan bahwa seorang muslim yang mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk Nasrani hukumnya boleh menurut mayoritas ulama dan ini dipertegas oleh Kementrian Agama Indonesia. Yang haram adalah apabila mengikuti ritual atau sakramen Natal. Mengucapkan Selamat Natal itu perlu bagi umat Muslim yang memiliki tetangga, teman, kolega kerja, atau anggota masyarakat lain beragama Kristiani sebagai sikap saling menghormati dan ekspresi toleransi antar-agama. [caption id="attachment_223931" align="aligncenter" width="350" caption="Menurut keyakinan masing-masing. Sumber foto: http://images.art.com/images/products/regular/13212000/13212873.jpg"]

13564814451172484933
13564814451172484933
[/caption] Kita patut menghargai keputusan setiap orang untuk melakukan apa yang terbaik menurut keyakinannya.  Jika keputusan untuk mengucapkan selamat Natal itu mengganggu keimanannya, kita harus menghormati keputusan untuk tidak mengucapkannya itu. Artinya, individu tersebut memakai keimanannya sebagai dasar keputusan untuk bertindak. Tapi perlu juga dicatat bahwa tidak setiap orang memutuskan sikapnya berdasar keimanannya.  Amat mengkuatirkan jika keputusan itu hanya berdasar karena adanya rasa takut terhadap sanksi sosial.  Sehingga individu yang bersangkutan mengalami proses marginalisasi, sebuah bentuk tidak langsung dari tindakan opresif.  Agama adalah sumber moral dan kadang berbeda dengan moral masyarakat yang berlaku secara umum (way of life).  Kedua sumber moralitas tersebut harus dibedakan. Di sinilah seorang individu bisa berada di ruang keremangan. Gejala yang menempatkan individu di daerah remang-remang ini nampaknya makin mendominasi masyarakat kita. Keadaan yang remang-remang tersebut menimbulkan rasa tidak pasti dan bahkan rasa tidak aman, rasa was-was, rasa curiga dan sebagainya.  Rasa takut secara sosial ini bisa bersifat endemik dan kadang dipelihara demi urusan politik dan keamanan.  Pada akhirnya, masyarakat cenderung mendiamkan masalah sosial yang berakar pada moralitas tersebut dan mendorongnya ke ruang-ruang personal. Sebuah keadaan yang tidak menyuburkan iklim demokrasi. Karena rakyat takut atau enggan mengekspresikan apa yang dipikirkan. Kediaman sosial yang terselubung dan menunggu katup pelepas untuk meledak atau mencari peluang jalan keluar yang gampang. Masyarakat sepertinya bersikap lebih baik diam jika isu sosial tersebut meyangkut sebuah keyakinan moral, dimana diskusi terbuka kearah itu akan sulit tanpa memancing debat emosional. Budaya kita adalah termasuk budaya tinggi.  Kita sudah terbiasa menerima hempasan budaya lain dan mengabsorsinya tanpa hentakan.  Kita sudah terbiasa dengan hidup bertoleransi dengan agama yang beda-beda.  Kami yakin bahwa toleransi beragama masih terbina dengan baik di pondasi sosial dimana kita semua saat ini berpijak.  Sebagaimana contoh ilustrasi yang dialami teman saya di atas.  Toleransi antar-agama tidak bisa disembunyikan atau dialihkan. Mereka akan tetap menemukan jalan keluarnya.  Bahkan bisa dibilang malah mengalami kedalaman arti. *** (HBS)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun