Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mental Bangsa yang Mana Perlu Direvolusi, Pak Jokowi?

15 Mei 2014   14:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:30 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1400112974230624759

Sampai kemudian ia menyadari, bahwa hidupnya lebih punya arti ketika tinggal di desa. Meski miskin namun ia merasa hidupnya tak segelisah saat tinggal di kota. Ia lebih bisa mencukupi kebutuhannya sendiri dari tanah kebunnya, tak harus beli. Menjadi produsen berarti lebih punya kekuasaan untuk mengatur hidupnya sendiri. Kini ia penjadi konsumen yang senantiasa tergantung pada orang lain. Dan itu harus dibayarnya dari upah kerjanya. Ia tak kuasa keluar dari lingkaran cara hidup perkotaan ini.

Pembenahan mental rakyat Indonesia kini menjadi berita hangat di koran mengusik banyak kalangan. Mental yang manakah yang hendak direvolusi oleh Jokowi jika ia nanti terpilih menjadi presiden Indonesia?

Mudah-mudahan bukan merevolusi mental rakyat agar lebih konsumtif. Merevolusi mental untuk mengejar kemajuan dengan bangsa lain di dunia, namun sebenarnya malah mundur karena menjadikan kita makin konsumtif dan tergantung pada bangsa lain. Memanfaatkan kita untuk bermental kerja keras dan positif untuk membuka ladang dan mengolah sumber daya alam, supaya bangsa asing atau pemilik modal luar negeri agar makin bisa mencengkeramkan kekuasaan modalnya. Mengajak kita semua untuk bekerja di kota sebagai konsumen, meninggalkan kearifan hidup cara desa sebagai produsen. Tanpa sadar sebenarnya secara berangsur-angsur memiskinkan bangsa kita sendiri. Karena di manapun di muka bumi ini, seorang yang kaya pastilah seorang produsen. Bukan konsumen.

Benarkah ada yang salah dengan mental rakyat Indonesia selama ini? Barangkali pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh para sejarawan dan budayawan dengan penelitian panjang dengan menggali sejarah bangsa kita putar balik ke ratusan tahun silam pada saat bangsa kita pernah menjadi bangsa besar.

Kita merasa bahwa peradaban kita kini lebih maju dari nenek moyang kita. Benarkah demikian? Bangsa kita pernah jadi bangsa besar di masa lalu. Sementara saat ini bangsa kita punya hutang berjibun pada bangsa lain. Kita tergantung banyak hal pada bangsa lain. Kita ini maju atau sebenarnya malah mundur dari peradaban bangsa sendiri? Apakah masa lalu itu sebenarnya masa depan bangsa kita saat ini? Masa lalu tidak berusaha kita tinggalkan, tapi sebaliknya kita justru mengarah ke sana? Ke masa lalu? Ke keperadaban nenek moyang bangsa kita?

Pemerintah kita sebenarnya meneruskan mental kolonial dalam mengurus rakyat. Menempatkan rakyat sebagai pelayan di negeri sendiri. Pemerintah Indonesia modern telah lama menjauhkan diri dari rakyatnya sendiri. Mereka minta diperlakukan seperti golongan kulit putih dan rakyat sebagai inlander. Persis pada saat jaman Belanda. Memposisikan dirinya di strata sosial lebih atas daripada kaum rakyat jelata.

Duduk di posisi birokrasi pemerintah layaknya tuan meneer yang harus disegani, dilayani dan kalau perlu dikasih upacara kehormatan. Jika ingin merevolusi mental bangsa kita, sebenarnya kunci utamanya adalah merubah mental pemerintah kita dan antek-antek sistem warisan kolonial ini.

Jangan salahkan rakyat jika mereka menarik diri untuk terlibat dengan pemerintah. Pemerintah dan rakyat adalah dua hal terpisah. Tidak sebangsa dan setanah air. Rakyat tidak butuh pemerintah. Tidak ada yang salah dengan mental rakyat. Rakyat tidak menuntut banyak. Jika pemerintah tak mau tahu, rakyat pun tak akan memaksa. Jangan ditanggapi ini sebagai sikap pesimis dan negatif.

Jangan mengiming-imingi rakyat dengan kekayaan jika kekayaan itu berarti membuatnya menjadi budak. Lebih baik miskin karena lebih berharga dan menjadi tuan atas hidupnya sendiri daripada kaya tapi menjadi budak orang lain. Jangan mencoba merubah mental rakyat agar mau mengejar kemajuan dan kesejahteraan bila ternyata terjebak pada ketergantungan. Miskin bukan berarti melarat. Miskin jauh lebih baik dan bermartabat daripada kaya tapi hidup saling menghisap.

Pemerintah harus berkemauan untuk menjadikan rakyat sebagai tuannya. Sebab dengan begitulah pemerintah memperlakukan rakyatnya secara bermartabat. Itulah yang dibutuhkan rakyat. Bukan kekayaan, harta benda melimbah, mobil kinclong-kinclong atau gedong magrong-magrong. Rakyat tak akan menikmati suguhan kemewahan itu jika hak dasar mereka tak dikembalikan.

Jadikan rakyat sebagai tuan di atas tanah airnya sendiri sehingga akan mengangkat harga diri dan martabat mereka. Jadikan rakyat sebagai partner kerja untuk membangun negara dan bukan sebagai pesakitan yang perlu ditakuti bakal merombak struktur dan tatanan sistem negara. Sebuah sikap paranoid warisan kolonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun