[caption id="attachment_329261" align="alignnone" width="611" caption="Debat sekedar bagaimana bagikan pundi-pundi rakyat. (sumber foto: http://www.personal-finance-insights.com/image-files/saving-money.jpg)"][/caption]
MELIHAT debat capres 2014 semalam, saya sering hilang. Tidak sepenuhnya mengerti apa yang mereka bicarakan. Pembicaraan mereka terjebak pada pola-pola omongan pilpres-pilpres sebelumnya. Mereka berdua sepertinya hanya mengulang slogan-slogan politik dan ekonomi yang kita semua telah berpengalaman mendengarnya. Pembicaraan yang ada di awang-awang.
Mereka berdua membicarakan pundi-pundi yang sama, yakni pundi-pundi rakyat. Pundi-pundi rakyat itu apa? Pundi-pundi yang berisi uang atau kekayaan negara yang sebenarnya memang menjadi hak dan milik rakyat. Debat mereka berdua adalah tentang bagaimana pundi-pundi itu diberikan pada rakyat dengan konsepnya masing-masing.
Perdebatan mereka tak jauh dari bagaimana pundi-pundi itu dibagikan. Keduanya sama kuat dan baiknya meski terdapat perbedaan dalam titik tekannya. Prabowo lebih menekankan pada hal-hal yang sifatnya makro. Sementara Jokowi lebih pada hal-hal bersifat mikro.
Sebenarnya mereka saling melengkapi satu sama lain. Tidak secara terpilin, tapi secara paralel. Pasangan Jokowi dan Ahok adalah kerjasama saling melengkapi secara terpilin. Keduanya bisa maju secara bersama seperti rajutan seutas tali yang terpilin. Sementara Prabowo dan Jokowi, mereka saling melengkapi semacam rel kereta api. Paralel dan berjalan sendiri-sendiri tidak ada titik temunya tapi keduanya saling membutuhkan.
Prabowo type pemimpin yang pantas menjadi presiden. Jokowi type pemimpin yang pantas untuk kerja di lapangan. Membandingkan keduanya sebenarnya amat tidak relevan. Karena punya titik tekan berbeda. Masing-masing punya kelebihan dan kekuatan. Jika kita berkeinginan membangun Indonesia, maka pilihan terbaik adalah jika mereka berdua mau bekerjasama, bersinergi membangun Indonesia. Tapi ini tak mungkin terjadi. Karena mereka berada di kubu persaingan yang berhadapan. Dan kita harus memilih satu diantara mereka berdua untuk memimpin Indonesia.
Perdebatan yang ada di masyarakat dengan skor-skor tertentu sebenarnya amat lemah substansi indikatornya. Indikator yang terjelas adalah yang menyangkut segi-segi normatif belaka dan bukan substansi isi perdebatan. Menilai dengan indikator substansi debat memang nampak sulit. Karena substansi yang ada sebenarnya sama bagusnya tapi berada di area yang berbeda dan saling berhadapan demi sebuah kompetisi kursi kepresidenan.
Substansi berbeda ini amat sulit dipaksakan sebagai indikator untuk menilai penampilan masing-masing kandidat lewat skor. Maka pengamat cari gampangnya, yakni mencari indikator normatif. Karena segi normatif itulah nampaknya kedua kandidat itu berdiri pada posisi yang sama sehingga jadi ajang empuk untuk penilaian. Jika terpaksa dilakukan penilaian atas substansinya, maka yang terjadi adalah menyimpangnya indikator penilaian. Substansi tidak dinilai secara konseptual, tapi lagi-lagi kembali pada hal-hal yang normatif dan gampangan. Tergantung dimana si pemberi skor menempatkan posisinya di antara dua capres tersebut.
Debat Pundi-pundi Rakyat
Latar belakang kedua capres sudah jelas berasal dari lingkungan berbeda. Prabowo telah lama di kancah politik dan lahir dari kalangan militer. Prabowo punya pengalaman di bidang politik internasional dalam kapasitasnya sebagai individu militer. Pihak militer lebih punya orientasi keluar, ke dunia internasional karena fungsi mereka memerlukan itu demi keamanan negara. Sementara Jokowi berlatar belakang sipil dari kalangan pengusaha. Pengalaman Jokowi yang berorientasi internasional berpijak dari latar belakangnya sebagai pengusaha. Prabowo punya orientasi internasional dalam ranah politik dan Jokowi dalam ranah ekonomi dan segala macam kebijaksanaan ekonomi politik lapangan.
Mereka berdua membicarakan pundi-pundi yang sama. Prabowo bicara pundi-pundi dari sudut pandang makro. Sudut pandang yang selama ini kita kenal sejak era orba hingga reformasi kini. Pemerintah lewat kebijaksanaan-kebijaksanaan dari atas menetes ke bawah. Anggaran-anggaran yang dipersiapkan nyatanya tidak menyentuh masyarakat bawah. Terjadi kebocoran anggaran di sana-sini. Kebijaksanaan paternalistik yang oleh ekonom rasionil dianggap melawan sistem demokrasi. Karena rakyat tidak dilibatkan dalam kebijaksanaan, tapi didekte dari atas. Prabowo meneruskan apa yang sudah kita alami selama beberapa dekade belakangan. Yang membedakan mungkin retorika bagaimana pundi-pundi itu dibagikan.