[caption id="attachment_352129" align="alignnone" width="600" caption="Kartu Indonesia kaya. Kecemburuan sosial. (Sumber foto: http://www.satuharapan.com/uploads/pics/news_19_1414996191.jpg)"][/caption]
Budaya kita belum bisa menerima ritme kerja cepat. Cara kerja sebagian dari kita adalah alon-alon waton klakon. Pelan-pelan asal sampai. Bekerja tidak melulu untuk bekerja. Bekerja itu ada seninya. Semacam ritual. Semacam ibadah. Bekerja harus selaras dengan hati. Irama kerja harus sinkron dengan irama hati. Bekerja yang cuma mengandalkan fisik hanya cocok bagi kalangan rendahan.
Bagi masyarakat di belahan bumi lain yang bersuhu dingin, kerja keras dan bergerak cepat mungkin sebagai kebiasaan. Suhu yang dingin membuat tubuh mereka jadi hangat. Diam berarti bakal beku. Suhu dingin membuat mereka bisa bekerja lebih lama. Juga lebih lama waktu yang diperlukan untuk sampai berkeringat. Kerja mereka diperhitungkan hasil produktivitasnya tiap jam. Maka, gaji mereka pun disesuaikan dengan jumlah jam kerjanya. Gajian per minggu berdasar hitungan jam dari kerja yang mereka lakukan. Waktu bersifat linear. Waktu yang hilang tak kembali lagi. Maka waktu yang dikeluarkan oleh seseorang amat dihargai. Kerja keras dan upah yang diterima relatif seimbang. Time is money, menurut peribahasa mereka. Ijasah juga tak begitu penting. Yang penting pengalaman kerja. Begitu lamaran kerja diterima, diharapkan pelamar langsung turun ke lapangan dan kerja. Tidak buang-buang waktu untuk training.
Lain bagi masyarakat bersuhu tropis sebagaimana di Indonesia. Bekerja fisik bikin gampang berkeringat dan lemas. Bahkan tidak bergerak saja sudah membuat kita berkeringat. Budaya kerja kita mengikuti iklim yang ada. Bahkan secara tradisi, tengah hari tidak baik untuk kerja. Bisa dimakan Betarakala. Menjadi pantangan. Harus istirahat. Karena budaya kerja yang relatif lebih pelan, upah kerja mereka dihitung per hari dan digaji dengan rentang lebih panjang, yakni per bulan. Dimensi waktu bagi masyarakat kita masih bersifat circular. Waktu akan berputar kembali. Maka kerja terburu-buru dianggap tidak ada manfaatnya secara langsung. Wong masih ada hari esok. Tidak punya pengalaman kerja nggak masalah. Banyak waktunya untuk training. Dan lagi terutama di birokrasi pemerintah, kerja keras bukan berarti akan dapat upah lebih. Maka lahirlah sikap, tak ada manfaatnya untuk bekerja keras karena tak ada reward yang didapat.
Di sebagian besar tempat kerja di Indonesia, orang yang bekerja terlalu keras dan cepat dianggap ngongso, grusa-grusu, cari muka, egois, mencari butuhnya sendiri, mengejar kebutuhan fisik, tidak seperti ksatria yang mengandalkan otak, hati dan keserasian dengan lingkungan. Jika lingkungan budaya mendukung keharmonian sesama, maka akibatnya bisa lebih buruk lagi. Si pekerja keras dianggap tidak tahu nggon lan papan. Mencari menang sendiri. Congkak dan gegabah. Memperlakukan orang lain dengan semena-mena. Tidak menghargai perasaan orang lain. Tidak menghargai kehadiran orang lain. Bersikap "sapa siro sapa ingsun". Mengejar aji mumpung. Dan berbagai budaya stigma negatif lainnya.
Budaya Kerja Keras dan Gerak Cepat
Kita semua tahu bahwa menteri-menteri yang duduk di Kabinet Kerja diharapkan oleh Jokowi untuk bekerja keras dan cepat membenahi keadaan. Beberapa hasil kerja keras dan gerak cepat telah dinikmati oleh sebagian masyarakat kita. Kita semua mendukung kerja keras dan gerak cepat. Kita sebagai penikmat tentu saja kebanyakan mendukung Kabinet Kerja. Tapi bagaimana dengan pelaku di dalamnya? Para pendukung administrasi dan birokrasi Kabinet Kerja yang selama ini terbiasa dengan budaya kerja alon-alon waton klakon? Bekerja sambil menikmati kebersamaan dan bersosial. Mungkin kerja keras dan gerak cepat berlaku untuk hal-hal tertentu saja dan tidak untuk hal-hal lain. Jadi diperlukan spesifikasi dan pemilahan. Kabinet Kerja belum lama umurnya. Dampak budaya kerja keras dan gerak cepat yang dipelopori Jokowi belum meluas cakupannya. Jadi belum punya pengaruh yang terasa.
Sebelum revolusi sebaiknya para menteri Kabinet Kerja membenahi mentalitas birokrasi pendukungnya dalam mengantisipasi perubahan secara evolusi. Melakukan perombakan dan perubahan budaya birokrasi tidak mudah. Perlu waktu untuk mengamati apakah perubahan yang dicanangkan diikuti oleh jajaran birokrasinya. Karena masing-masing orang akan berbeda dalam menanggapi perubahan. Tidak bisa disama-ratakan atau dipaksa untuk mengikuti bersama-sama dalam waktu bersamaan. Kabinet Jokowi akan menghadapi bahaya pembusukan dari dalam jika perubahan birokrasi yang dilakukan tidak dikelola dengan baik dan terencana. Perubahan sistem birokrasi dan perubahan ethos kerja adalah dua hal yang berbeda meski punya hubungan erat satu sama lain.
Menghadapi perubahan birokrasi dan ethos kerja, ada yang bisa dengan cepat menerima perubahan dan menyesuaikan ritme kerja. Ada yang masih setengah-tengah dan perlu diyakinkan. Dan ada pula yang menolak. Mengindentifikasi orang yang tak mau menerima perubahan relatif mudah. Dengan demikian relatif mudah pula untuk mendepaknya keluar dari sistem. Untuk yang setengah-setengah atau ragu-ragu untuk menerima diperlukan waktu dan bimbingan. Perlu diyakinkan bahwa perubahan itu demi kebaikan bersama. Diperlukan agen-agen pemimpin perubahan agar informasi yang diperlukan bisa digali dari mereka. Agen-agen perubahan itulah yang akan membimbing dan mengawasi kalangan peragu dan menuntun mereka pada arah perubahan sebagaimana direncanakan.
Kalangan yang paling punya potensi untuk menimbulkan resiko adalah kalangan yang punya sikap menolak tidak dan menerima pun tidak. Kalangan ini amat berpotensial mengadakan pembusukan dari dalam. Mereka susah dideteksi kehadirannya. Sekilas mereka nampak menerima, tapi apa yang dilakukan sebenarnya berlawanan dari perubahan yang dicanangkan itu sendiri. Mereka sengaja tidak mengerjakan tugas dengan baik. Mengerjakannya tugas yang dibebankan dilakukan pelan-pelan dengan sengaja. Mengulur-ngulur waktu agar tak tepat waktu atau agar terganjal. Pekerjaannya beres tapi tak tepat waktu atau ada bagian-bagian yang dengan sengaja disembunyikan. Membuat sistem goyah dan tak sinkron. Inilah yang mereka inginkan. Agar perubahan itu tidak terjadi. Agar sistem bergoyang sehingga tak bisa menerima perubahan. Peribahasanya, mereka berpedoman: "Jangan menggoyang kapal terlalu keras bila tak ingin semuanya tenggelam."
Status Quo yang Terancam