Kupikir budaya kita itu ahli banget bikin produk manusia pesimis. Sejak kecil kita dididik untuk tidak melakukan sesuatu dengan larangan yang tidak jelas. Misalnya, kalau makan harus dihabiskan kalau nggak ingin ayamnya mati. Kita dilarang makan di depan pintu. Kita dilarang main di tanah. Kita dilarang dolan saat beduk. Kita dilarang makan pakai ajang layah. Dan berbagai larangan lainnya.
Alasan pelarangan itu bisa macam-macam. Kotor, tidak layak, kualat, digondol betara kala dan seterusnya. Alasan-alasan yang tidak dijelaskan secara realistis dan eksplisit. Tapi bersifat mistis, etis semu dan bahkan cenderung berbau klenik.
Saat pergi mancing di desa pinggir hutan, saya pernah kehilangan helm. Saya yakin segerombolan anak yang lagi main-main di pinggir hutan tahu siapa pencurinya. Aku minta tolong pada anak-anak itu mengantarkan ke rumah RT untuk laporan. Di depan anak-anak yang ikut bersamaku itu, pak RT bilang, "Di desa ini tidak pernah ada laporan pencurian." Ada nada tersinggung di balik ucapannya itu. Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran anak-anak yang aku asumsikan mereka tahu siapa pencurinya itu. Anak-anak itu pada usia dini sudah belajar untuk tutup mulut demi hormatnya pada pak RT dan menjaga kehormatan warga desa.
Kita tidak terdidik untuk melihat masalah secara realistis. Melihat kenyataan dan menganalisanya dengan menggunakan akal sehat. Bahkan untuk sekedar bertanya saja sudah dihalangi. Kita tak mempertanyakan lagi. Menyerahkan pada dunia di luar kita.
Orang pesimis menilai keadaan yang terjadi di dalam diri atau di luar diri kita bukan produk dari cara berpikir dan tindakan kita sendiri, tapi atas kekuatan yang ada di luar kekuasaan kita untuk mengaturnya. Seperti budaya agraris yang menggantungkan hidup pada keramahan iklim. Kita menghadapi ketidak-pastian iklim dengan kepandaian kita untuk mensiasatinya. Kita terbiasa untuk menahan diri untuk tidak gegabah menyimpulkan sesuatu. Jangan kagetan, jangan nggumunan, jangan sok, jangan dupeh dan jangan-jangan lain.
Jika kita dihadapkan pada keadaan yang tidak pasti tapi dipaksa untuk menentukan sikap, bukannya berusaha untuk menganalisanya secara logis dan memakai akal sehat, tapi melarikannya pada dunia di luar diri kita. Kita mengandalkan pada kemampuan jimat. Dan jimat yang paling sering kita pakai adalah jimat ajian othak-athik gathuk untuk memuaskan rasa intelektuil kita dalam usaha mencari kepastian jawaban yang bisa diterima. Aji othak-athik gathuk itu jalannya macam-macam. Bisa dilarikan ke dunia supernatural atau kalau mau cari gampangnya pakai mistik, walikan, pasangan dan ajian ngramal lainnya.
Budaya pesimis memang tidak selamanya jelek. Karena pesimis kita bisa mendapatkan jalan alternatif yang mencerahkan. Menilai sesuatu dari sudut pandang lain. Bahkan karena adanya rasa pesimis bisa melahirkan rasa optimisme yang baru. Masalahnya adalah, rasa optimisme yang baru itu tapi kemudian diragukan kembali dan ditanggapi lagi dengan sikap pesimis. Rasa optimis dianggap tidak bisa direncanakan kesinambungannya. Budaya pesimis kita secara tak sadar mempengaruhi cara kita bersikap. Tidak ada yang pasti dan bisa kita kontrol dengan memakai pemikiran logis dan realistis.
Barangkali latar belakang budaya pesimis inilah yang membuat dunia perpolitikan kita carut marut. Program-program yang kedengaran optimis, logis dan realistis tidak begitu saja dipercaya. Meski ada data-data pendukung dan aktivitas yang benar-benar mengarah pada tujuan itu. Selalu dicari-cari kelemahannya. Siapa tahu nanti gini atau gitu. Kita pakai ajian yang telah begitu lama kita kuasai yakni ajian othak-athik gathuk. Tujuannya agar kita tak terlalu optimis. Karena tidak ada yang bisa sepenuhnya kita kontrol. Optimisme bisa memberi produk mengejutkan. Optimisme bisa jadi momok yang menakutkan. Tiwas optimis tombok gede ternyata sing metu mbleset.
Etika politik tergantung dimana kita berpihak. Persis seperti sikap pak RT di desa pinggir hutan itu. Harga diri dan rasa hormat desanya telah menutup pertimbangannya atas etika kelayakan atau etika yang lebih universal. Dan faktanya, banyak elite politik kita berpikir atas dasar bukan kebangsaan, tapi ke-RT-an.*** (HBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H