Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpi Madha

9 Maret 2016   13:17 Diperbarui: 9 Maret 2016   13:42 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: encrypted-tbn2.gstatic.com"][/caption]

Siapa? Siapa dia jika berdiri di tengah-tengah keramaian sambil membagikan pamflet-pamflet yang berisi tentang menu-menu dari restoran tertentu atau sebuah rayuan bagi siswa untuk mendaftarkan diri pada bimbingan belajar tertentu. Siapa? Jika berdiri di depan sebuah kelas dan memberikan kuliah tertentu kepada sekumpulan orang yang duduk rapi pada sebuah kursi dan menopang dagu di sebuah meja. Dan tentang sekumpulan orang-orang itu pun adalah pertanyaan yang mudah. Hampir semua orang tahu itu. Makanya sebenarnya tak perlu juga terlalu dipikirkan.

Jadi, jika pertanyaannya begini. Siapa? Siapa dia jika yang selalu mondar-mandir secara teratur pada jam-jam tertentu di jalan belakang rumahku. Jika jawabnya adalah seorang tunawisma, maka dia seharusnya tidaklah berpakaian seperti layaknya seseorang yang bekerja kantoran. Mudahnya kau akan bilang mungkin saja bila dia adalah seorang pekerja kantoran. Atau dia adalah seseorang yang sedang melamar pekerjaan. Maka aku akan mengoreksimu dengan sebuah fakta lain bahwa tidak ada satupun pekerja kantoran yang kelayapan pada jam-jam itu. Juga kupastikan tak ada kantor yang buka jam segitu. Oleh karena itu, tidak seharusnya dia ada di sana setiap hari bukan? Dan kau akan menyerah kukira dan lalu menyuruhku untuk memikirkannya sendiri. Atau jika aku punya banyak waktu luang, menyuruhku melakukan hal lain yang lebih berguna. Sementara ada sebuah kemungkinan lain yang tak sempat kau dengarkan-yang sebenarnya aku belum yakin akan hal itu. Dia mungkin sedang menunggu seseorang di sana.

Laila, kau seharusnya mendengarkan aku menceritakan mimpiku semalam. Beberapa mimpi yang terkadang tampak sangat nyata. Dan ada kalanya beberapa kenyataan tampak sebagai mimpi. Seperti saat ini, aku menghadap sebuah jendela-yang adalah satu-satunya di kamar ini-yang akan meluaskan pandanganku dari sebuah petak kecil yang menghalangiku dari birunya langit di atasku juga melenyapkan bayangan semu tentang dunia yang kupikir hanya sekecil kamar ini. Jalan itu adalah bagian dari yang diizinkan untuk kedua mataku.

Sepertinya-dalam mimpiku-dua orang sedang berbicara di sana. Tepat di posisi dimana lelaki-yang kulihat dalam dunia nyata- biasanya tampak mondar-mandir. Aku tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka bicarakan sebab terdengar hanya sebagai bisikan saja. Wajar saja karena settingnya adalah tengah malam- waktu yang seharusnya semua orang tertidur lelap. Aku mengeluhkan seharusnya aku bisa mendengarnya karena ini mimpiku. Tidakkah seharusnya seseorang bisa menginginkan untuk menjadi apapun-tak peduli jika itu rasional atau tidak. Karena itu adalah mimpi. Dan aku sedikit kesal bahwa telingaku tidak bisa lebih tajam dari biasanya.

Mereka berdua tampil sebagai siluet seorang yang berambut panjang dengan bahasa tubuh khas gemulai-makanya kusimpulkan sebagai tokoh wanita-dan seorang yang berambut pendek dengan bahasa tubuh yang tegas-yang kusimpulkan sebagai tokoh lelaki-dalam drama hitam putih yang katakanlah bisu-karena aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Peranku adalah sebagai seorang penonton yang menikmati lakon mereka di sebuah layar-untukku adalah sebuah jendela- yang seharusnya dinikmati dengan sebungkus popcorn dan segelas penuh soda. Ah, aku ingat bahwa aku tidak membawa keduanya di mimpiku itu. Dan kau, kau pun tak ada di sampingku saat itu. Apakah kau sedang pergi membelinya? Entahlah, jika mimpiku itu datang lagi seharusnya kuajak pula dirimu dan tidak lupa dengan popcorn dan soda. Sah-sah saja bukan? Selama ini adalah mimpiku.

Malam berikutnya, mimpiku adalah drama episode kedua dari mimpi sebelumnya. Masih dengan setting yang sama, masih dengan berbisik, masih dengan ketidakhadiranmu di sisiku dan tentu saja tak ada popcorn dan soda jika kau tak datang. Sebenarnya aku tidak mengira bahwa hal itu akan menjadi berkelanjutan. Seperti sebuah serial TV yang selalu kutunggu, sebab episode pertama dan keduanya mengesankan, maka episode selanjutnya tak boleh dilewatkan begitu saja. Dan kupastikan kau akan kuberitahu.

Kau memenuhi undanganku pada malam ketiga. Kau bertanya-tanya tentang alasan yang belum kujelaskan padamu tentang malam ini. Kau harus menyaksikan mimpiku, Laila, kataku padamu. Kulihat alis sebelah kirimu naik tiba-tiba untuk merespon permintaan yang kau rasa tak mungkin. Tetapi kau menurut saja pada bahasa tubuhku untuk menyuruhmu tidur di sampingku dan meletakkan popcorn dan soda itu di atas meja di samping tempat tidur.

***

Entah itu mimpi atau bukan, kau meyakinkanku bahwa itu adalah mimpimu. Kita menyaksikannya-yang kau sebut sebagai drama episode ketiga-bahwa ada seseorang yang tampil dengan berjalan mondar-mandir di bawah langit malam dengan pencahayaan bulan purnama, setidaknya kita dapat sedikit lebih jelas melihat siapa orang itu. Dan kau ribut sekali mengatakan bahwa ada seorang tokoh yang menghilang dari scene itu sehingga meninggalkan tokoh lainnya sendirian dalam setting itu. Sementara aku tak bisa mengatakan apapun. Kerongkonganku kering sekali, soda di atas meja ku teguk hingga tak bersisa. Tidak kurasa lagi rasa tidak nyaman yang biasanya menyengat mulut dan kerongkonganku-yang biasa kau sebut sebagai sensasi minum soda.

Madha, apakah yang sedang kau pikirkan? Jika itu benar, maka bisa saja itu adalah Naila yang tinggal di sebelah rumah kita, seorang janda kaya yang cantik atau Delia yang tinggal di sebelahnya, seorang mahasiswi berwajah manis atau Nadia juga Keila yang juga tinggal di sekitar rumah kita. Pastilah salah satu di antara mereka. Kau juga akan mengiranya begitu bukan? Ah, mengapa benar-benar panas di sini? Beberapa kali menyeka keringat pun tak cukup mengeringkan dahiku yang terus menerus basah oleh butir-butirnya yang lahir sebesar bulir-bulir jagung. Mungkin ada hubungannya juga dengan tanganku yang mendingin dan dadaku yang mengeluarkan suara yang semakin menguat. Hingga bayangan dari semua benda memanjang dan menghilang, dari sebuah jendela yang lain, memandangi jalan yang sama denganmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun