Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beberapa Jam Menerjemahkan Pikiran-pikiran Sendiri dan (Mungkin) Diri Sendiri (?)

3 September 2020   19:52 Diperbarui: 3 September 2020   19:57 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku lupa tepatnya kapan

Aku melihat kucing tetangga berak di atas atap

(Ya, aku tahu ini bukan cerita yang renyah untuk dicerna sebagai sarapan atau makan malam)

Namun apa kau tahu bahwa betapa sulitnya aku menerima mengapa kaki depannya mengais-ngais seng yang padat dan keras seolah-olah ada hamparan pasir di sana

Aku tak habis pikir hingga berhari-hari sampai hari ini

(Apa gunanya insting jika tidak mampu membedakan seng dan pasir?)

Dan aku seratus persen yakin bahwa segera kau membaca ini kau tak akan sabar berkomentar soal akal dan bla bla bla lainnya seolah-olah aku tidak tahu itu sebelumnya

(Sejujurnya aku suka sekali berpikir. Berpikir adalah cara terbaik untuk mengetahui bahwa di dalam kepala ada sesuatu yang memproses pikiran dan itu cara terbaik untuk mencintai diri sendiri)

Namun sayang sekali sekarang aku sedang malas berbicara

Walaupun ada banyak hal yang kupikirkan misalnya tentang perilaku kucing yang berak di atas atap itu

Atau hal-hal lain yang biasanya rutin kutanyakan di Quora

Kusadari baru-baru ini, memiliki akun di sana tidak membuat diri kita jauh lebih mulia ketimbang memiliki akun Facebook dan Instagram

Hal-hal sampah itu ada di mana-mana

Hal-hal berguna pun sama

Seketika aku merasa bersalah telah menyumpahserapahi Tiktok dan aplikasi-aplikasi semacamnya

Meskipun demikian,

Aku masih berharap berandaku hanya dipenuhi Liziqi seorang

Juga berharap kepalaku hanya memikirkan seputar-putar pantai, gunung dan hutan

Namun kau tahu (ya sekali lagi) bahkan laut yang tenang bisa tiba-tiba berombak dalam sekejap

Seketika aku merasa begitu takut dan kalut dan kemudian rindu kepada apa dan sesiapa

Lalu kubuka-buka album lama

Aku berlatih tersenyum di depan kaca persis seperti senyum di wajahku yang berusia delapan tahun sambil berpura-pura lupa berapa usiaku sekarang

Aku pernah dengan tegas menolak menjadi tua dalam definisi orang-orang

Dan garis-garis wajah yang kulihat membuat jurang yang nyata antara foto yang kulihat di album dengan wajah yang kulihat di kaca

Aku berdoa agar benda yang bernama kaca segera musnah dari muka bumi

Dan berdoa agar tidak bosan-bosannya berdoa untuk tidak segera bosan berdoa

(Bosan adalah sesuatu yang tidak kutemukan obatnya di apotek dan sialnya tidak mau sembuh dengan obat sakit kepala)

Tidak lupa pula aku berdoa agar bisa bahagia

Pacarku tidak suka melihat wajahku yang kurang bersyukur

Aku tidak suka mendengarnya menegaskan bahwa aku memang kurang bersyukur

Juga tidak suka dibangunkan lalu ditinggalkannya tidur begitu saja ketika sedang berbicara

Juga "tidak suka-tidak suka" lainnya yang bisa kutotal-total sampai sepuluh sementara ia jika kutanyakan hal yang sama hanya tersenyum dan menjawab satu dan itu pun tidak lupa dilengkapi dengan kalimat sayang diujungnya

Ya Tuhan, semoga ia tidak membaca tulisan ini dan bertanya apakah aku mencintainya setelahnya

Ya Tuhan, semoga tulisan ini jadi sangat panjang dan karena saking panjangnya tidak ada siapapun yang bersedia membacanya

Ya Tuhan, aku tidak sedang berharap siapapun menerjemahkan asal apa maksud dan tujuan keberadaan tulisan ini

Karena memang tidak ada apa-apanya kecuali imajinasi liarku dan imajinasi liarmu yang dipisahkan jarak, waktu dan (barangkali) pergaulan (?)

Lalu "Sudah tanggal berapa sekarang?"

(Kalimat Aan Mansyur itu muncul tiba-tiba bak pop ads)

Sudah berapa lama tubuh, pikiran dan jiwamu dianggurkan dengan beralasan keberadaan Covid-nineteen?

Mengakulah sejujurnya kau menginginkan hari libur sebanyak-banyaknya untuk bisa merasakan kembali nikmatnya kerja (?)

(Apa pernah ada kerja yang nikmat? Aku sadari akhir-akhir ini bahkan untuk sesuatu yang kita sukai pun ada masanya di mana kita tidak bisa nikmat melakukannya)

Lalu untuk apa aku melakukan ini semua?

Aku pernah menginginkan hari-hari menjadi orang-orang lain hanya untuk bisa merasakan kembali nikmatnya menjadi diri sendiri

Lalu pada suatu pagi,

Kusadari satu hal (lagi)

Bahwa rupanya kesepian itu memiliki banyak wajah

Sekali waktu ia adalah anak-anak yang ditelantarkan orang tuanya

Atau seorang perempuan yang cintanya bertepuk sebelah tangan

Atau seorang pekerja yang selalu dipandang sebelah mata

Atau pikiran-pikiran yang selalu di anak tirikan

Atau diri sendiri yang lupa siapa dirinya itu

Pada akhirnya, apapun bentuknya, kesepian itu sama saja

Aku kelaparan persis perut yang menagih makan

Lubuklinggau, 19 Juli 2020, 04.57

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun