Seseorang sedang bertanya tentang bagaimana perasaanku sekarang.
Saat itu hening sekali di sebuah ruangan lantai empat. Tidak biasanya suara langkah kaki orang lalu lalang di depan pintu tidak terdengar. Ia baru saja tiba setengah jam yang lalu. Ia yang selalu membawakan semua perlengkapan yang kubutuhkan seperti pakaian ganti, seprai, selimut, sarung bantal, perlengkapan mandi, makanan-minuman dan ... tidak ketinggalan setangkai mawar---walau aku sebenarnya tidak pernah menyukainya.
Sebelum menanyaiku tadi, ia telah mengganti semua perlengkapan yang perlu diganti dari ruang ini dengan semua barang-barang yang baru dibawanya itu. Ia terlihat cekatan seperti biasanya. Ia sempurna kecuali seragam putihnya yang hanya itu-itu saja---sudah sedikit menguning dan ada beberapa cipratan noda yang tidak hilang dicuci. Tiba-tiba saja, aku merasa ingin membelikannya gaun dan melihat ia memakainya ketika masuk ke kamar ini.
Aku balik bertanya padanya tentang apakah ia ingin jawaban yang jujur atau tidak. Yang jujur, katanya sambil tersenyum---manis seperti biasanya. Dan apakah lantas aku mengatakan semuanya dengan jujur? Entahlah. Aku barangkali hanya akan mengatakan hal-hal yang akan wajar ia dengar. Seperti....
Aku akan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan padanya apakah lalu lintas jalan yang ia lewati tadi lancar atau tidak dan barangkali ia akan menjawab bahwa semuanya lancar-lancar saja---jawaban yang amat biasa.
Lalu aku akan mengatakan padanya tentang betapa bagusnya cuaca saat ini untuk bepergian. Awan terbentang di atas sana bak kain putih tipis, kontras dengan langit yang biru terang. Angin bertiup sepoi-sepoi---tampak dari daun-daun kelapa yang terlihat bergoyang-goyang dengan lembut serupa tangan penari yang sedang menarikan tarian adat Sumatera yang pernah kusaksikan suatu kali.
Dan bahwa aku ingin berjalan-jalan dengannya di sebuah taman kota yang rimbun pepohonannya.
Kami tidak perlu membicarakan apa pun, kedua tangan kami masing-masing disimpan di saku jaket. Tidak perlu lagu dengan earphone yang dibagi berdua, tidak perlu es krim cokelat dan popcorn, tidak perlu apa pun. Kami hanya akan berjalan. Jika menemukan tempat yang baik untuk bersantai, kami akan menepi di sana sambil memandangi orang-orang yang lalu lalang.
Lalu aku juga akan menanyakan kepadanya, tempat apa yang bagus dituju dalam cuaca begini. Apakah laut, gunung atau seperti yang kukatakan padanya tadi---taman kota. Dan aku ingin ia menjawab laut. Aku pernah membayangkannya membawakanku kerang dan menceritakan agenda liburannya di sebuah pantai yang tidak pernah kudengar namanya. Ia lalu menceritakan tentang ombak, langit, dan birunya laut dengan mata yang menyala-nyala. Jujur saja aku tidak menyukai laut tetapi aku ingin mengubah persepsiku tentang laut darinya---entah kenapa.
Jadi, setelah pembicaraan yang panjang tentang cuaca dan sebagainya itu, jam dinding tiba-tiba saja akan menunjukkan pukul lima. Berarti sudah saatnya ia pamit.
Apa yang akan ia pikirkan tentangku saat itu? Entahlah. Apakah ia akan percaya dengan mudahnya bahwa aku baik-baik saja? Mungkin iya, mungkin tidak.
Tetapi yang pasti ... ia akan melupakan perihal perasaanku itu sekelebatan saja.
Benar begitu kan ....
Tiba-tiba saja aku merasa begitu kalut.
Bagaimana jika aku berkata jujur padanya?
Bahwa aku sedang merasa sangat sendirian, kehilangan, nestapa, remuk, tercampakkan, terkucilkan, terlupakan, terhina, terjatuh, terhempas, terbaring tak berdaya dan bahwa aku sedang ingin sebuah pelukan, genggaman yang menghangatkan, kata-kata yang menguatkan dan ia .... Lalu aku akan menangis berderai-derai sambil sesenggukan berulang-ulang kali dan meraih bahunya untuk bersandar hingga beberapa saat sampai tangisku reda dan semua perasaan-perasaan tadi tumpah membasahi seragamnya.
Apa yang terjadi setelah itu?
Pertama, ia barangkali juga akan menangis agar aku merasa tidak sendirian dalam kesedihan itu. Ia akan menepuk-nepuk pundakku dan berulang-ulang mengatakan yang sabar ya. Yang tabah ya. Ini ujian biar makin kuat. Lalu ia menghapus air matanya dan menghapus air mataku. Ia memandang kedua mataku yang masih basah dan dengan tatapannya itu, ia seolah hendak meyakinkan bahwa aku bisa melalui ini semua.