Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencari Jawaban Paling Layak untuk Pertanyaan "Apa Pentingnya Sekolah?"

13 Desember 2016   15:13 Diperbarui: 13 Desember 2016   15:27 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oke, intinya adalah sejujurnya saya ini sedang galau. Saya tiba-tiba terkenang seorang dosen anti mainstream asal UPI yang akrab disapa Prof. Oong. Mengutip di salah satu kelasnya dulu, katanya jika anak-anak SD itu belajar materi tentang “Perubahan Zat” dengan benar, maka selepasnya dari SD mungkin sudah bisa buka pabrik gula. Ah.

Dan ini saya hanya berandai-andai bagaimana jika semua orang yang saya ceritakan sebelumnya itu menjadi murid-murid saya, apakah saya bisa memberikan jawaban yang layak perihal pentingnya sekolah bagi mereka?

Pendidikan di sekolah dewasa ini memang masih menggunakan standar tes yang sama untuk setiap siswa dan semua harus belajar hal yang sama walaupun kebutuhan setiap orang berbeda-beda. Dan memang sulit sekali membayangkan bagaimana kita bisa menyediakan pendidikan yang ideal yang seperti Einstein katakan. Bayangkan jika setiap orang harus punya sekolahnya sendiri? Saya pikir pada banyak ranah, pengelompokan adalah semacam penyederhanaan terhadap sesuatu. Perumusan kurikulum sekolah adalah penyederhanaan. Seperti misalnya dalam psikologi kita membagi kepribadian orang-orang menjadi introvert atau ekstrovert walaupun bisa saja misalkan seseorang seperempat introvert dan tiga perempat ekstrovert. Agar mudah ‘dieksekusi’.

Gagasan Jon Jandai patut diapresiasi dengan menawarkan bahwa seharusnya orang tua menyusun kurikulum sendiri bagi anak-anaknya. Gagasan ini menarik karena lebih dari siapapun sebenarnya yang paling mengenal anak-anak adalah orang tuanya sendiri, orang tua bisa menyusun hal-hal yang bermanfaat (menurutnya) yang penting diketahui dan bayangkan jika setiap orang tua bisa menyusun kurikulum yang dimaksud maka pendidikan yang menyediakan kebutuhan yang berbeda bagi setiap anak-anak dapat diwujudkan.

Tetapi masalahnya adalah Jon Jandai itu hanya ada satu di dunia ini. Di negeri kita yang tercinta ini, para orang tua di kota yang berpendidikan tinggi kebanyakan sibuk dengan kegiatan kantor yang perginya pagi pulangnya petang, sedangkan yang di daerah kebanyakan orang tua yang sebenarnya punya waktu pun tidak banyak juga yang menghabiskan waktunya untuk mengajari anak-anaknya. Seperti yang Anies Baswedan katakan bahwa orang tua adalah pendidik terpenting yang paling tak tersiapkan.

Sementara pemerintah sedang sibuk mempertimbangkan full day school dan ide-ide “luar biasa” lainnya. Saya hanya harap-harap cemas jangan sampai kurikulum yang terakhir kali diganti lagi. Karena perangkat administrasinya yang kemaren belum selesai, pak. Eh.

Saya pernah menawarkan ini sebagai jawaban yang “layak” versi saya. Bahwa seperti  apapun pendidikan di sekolah kata mereka—sad to think—faktanya bagi banyak orang memang hanya itu pilihan yang terpikirkan sebagai tumpuan harapan akan masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, paling-paling saya mengulang-ulang nasihat orang-orang tua bahwa mau apapun yang diajarkan sekolah, selain ijazah yang bisa dipakai sebagai tiket mendapatkan pekerjaan, sepaling-tidaknya kemampuan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk terasah, ya dalam bahasa lainnya “menjadi lebih kritis” begitu. Walaupun urusan sedikit atau banyaknya ya biarlah waktu yang menjawabnya atau bisa juga tanyakan pada rumput-rumput yang bergoyang kalau sudah bisa bahasa rumput.

Sefrustasi-frustasinya, anggaplah belasan mata pelajaran itu artinya sekolah menyediakan pilihan atau semacam alternatif jalan hidup. Semakin banyak mata pelajaran artinya makin banyak pilihan hidup. PR, latihan, tugas atau praktikum itu artinya guru-guru sedang mendorongmu untuk keluar dari zona nyaman dan membuat intelektualitasmu berkembang dengan memikirkan dan mengerjakan sesuatu yang selalu diluar batas kemampuan.

Semisal punya cita-cita menjadi komikus, setidaknya bukan cuma punya modal bisa menggambar. Detective Conan dibuat tidak hanya dengan bisa menggambar. Aoyama Gosho melakukan riset dengan mempelajari fisika dan hal-hal lain untuk menciptakan sebuah kasus yang seru. Jadi dengan mempelajari banyak hal, setidaknya pikiran bisa luas sedikit. Semisal ingin menjadi olahragawan, kamu setidaknya bukan cuma punya modal gerak dan bisanya cuma latihan. Lihatlah Muhammad Ali yang seorang petinju itu, dia punya pengetahuan dan perenungan yang dalam tentang kehidupan. Dia punya banyak hal-hal menarik untuk bisa dicantumkan dalam meme *eh menginspirasi maksudnya.

Iya, begitu. Berpikir positif saja seperti kata motivator. Semuanya akan berguna pada waktunya. Tinggal apakah memanfaatkan kesempatan belajar itu dengan benar atau tidak.

Tetapi sekali lagi apakah itu adalah jawaban yang layak? Saya sudah tidak yakin lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun