Belum lama ini saya mendapatkan kiriman dari seorang teman dunia maya mengenai flat-earth. Ah, untuk yang satu itu kok sulit bagi saya untuk berpura-pura tidak peduli bukan karena melihat betapa ia begitu bersemangat meluangkan waktunya mengetag nama saya dan juga teman-teman yang lain demi membagikan informasi tersebut ke sana sini. Bukan itu. Karena bukan hanya postingan itu saja, sebelumnya juga sudah ada postingan yang berbau-bau politik, isu sara dan sebagainya. Sungguh saya malas sekali menanggapi apalagi ikut-ikutan debat yang entah demi apa, saya selalu gagal menemukan alasannya. Makanya orang bilang saya apatis, yah mungkin benar, mungkin juga tidak. Toh saya tidak peduli. Tetapi Flat-earth itu lain lagi ceritanya. Ia seperti hujan yang mengingatkan saya pada sesuatu, pada mantan, pada lagu kesukaannya, pada cokelat pertama yang dia beri dan membuat galau. Ah. Dan momen-momen mengenang itu akan kurang afdol bila tanpa menghidupkan mp3. Untuk setiap momen mengenang selalu Reminiscene karya Mattia Cupelli yang akan saya putar. Mohon jangan intervensi ya, saat ini tidak dibuka sesi request.
Baiklah, pertama-tama pikiran saya memutar kembali kenangan waktu SD ketika saya belajar bahwa planet itu ada sembilan, planet pertama Merkurius, kedua Venus, ketiga Bumi, keempat Mars sampai yang terakhir yaitu yang kesembilan adalah Pluto. Lalu ketika SMP guru saya bilang bahwa partikel terkecil itu adalah atom. Kemudian ketika SMA, saya belajar tentang Hukum 1 dan 2 Newton beserta hukum-hukum gravitasinya. Kemudian.... dan kemudian lagi. Dan seterusnya kemudian.
Sekarang sudah hampir sembilan tahun sejak saya menamatkan sekolah menengah atas, dan masih melakukan aktivitas-aktivitas yang ada kaitannya dengan dunia sains yaitu mengajar, menjadi seorang guru fisika tepatnya. Selama proses belajar di sekolah dan bekerja itu pula saya dituntut untuk update dan akhirnya harus legowo menerima bahwa jumlah planet yang ada sebenarnya adalah tiga belas bukan sembilan bahwa karena definisi baru tentang planet, begitu pula dengan definisi partikel terkecil adalah Quark dan Lepton bukanlah atom. Dan hari itu, ketika seorang teman mengetag informasi tentang flat-earth. Lagi-lagi saya harus bersiap-siap menerima kenyataan (lagi) bahwa bumi itu datar bukan bulat sebagaimana yang saya tahu selama ini. Tetapi sebelum itu berikan saya kesempatan untuk mendamaikan pikiran saya terlebih dahulu.
Beberapa waktu lalu ada sebuah buku yang saya baca, iya buku fisika. Dia menceritakan bagaimana persisnya sejarah tentang teori gerak. Adalah Aristoteles yang mulai memberikan pencerahan tentang teori gerak setelah ribuan tahun lamanya orang-orang tidak memiliki pemahaman apapun mengenai gerak dan dibingungkan tentang fakta sederhana mengapa buah kelapa bisa jatuh dan mengapa panah meninggalkan busur. Ringkasnya menurut teorinya jika sebuah objek di tempat yang tepat maka ia tidak akan bergerak kecuali dikenakan gaya. Dan karena gaya yang dapat membuat bumi bergerak tidak dapat dibayangkan pada waktu itu, maka bumi dianggap tidak bergerak dengan asumsi bahwa bumi sudah berada di tempat yang tepat. Lalu Galileo memberikan pandangan lain tentang bumi yang bergerak dan mengenalkan gagasan tentang Inersia yaitu tidak perlu gaya untuk membuat bumi terus bergerak. Dan selanjutnya ini akan menjadi dasar bagi hukum-hukum gravitasi Newton.
Tidak bermaksud menyulap ini menjadi kelas fisika dadakan, saya hanya ingin memberikan gambaran saja bahwa pertama-tama dunia saintis tidaklah sekaku itu, karena “mengubah pikiran” adalah memang pekerjaannya para ilmuwan. Mengubah pikiran bukan berarti melulu plin-plan. Kalo plin plan mah kamu saja, iya kamu. Mengubah pikiran bisa berarti terbuka dengan hal-hal baru yang bisa jadi lebih bisa diterima kebenarannya.
Sudah biasa terjadi kok. Teori gerak Aristoteles itu saja contohnya yang sudah bertahta selama 200an tahun pun harus bertekuk lutut dengan teori geraknya Galileo. Dan betapapun orang-orang menghormati Aristoteles, jika teori yang dikatakannya sudah tidak terbukti benar ya sudah. Tidak perlu dibenar-benarkan. Lalu apakah karena itu hidupnya sia-sia karena meyakini hal yang salah? Tolonglah jangan menjudge hidup orang lain semudah itu. Toh sampai hari ini namanya tetap dikenang sebagai bagian dari sejarah. Nah, kalo kamu?
Kedua, sains itu sebenarnya hanyalah kebenaran yang disepakati oleh bersama. Detailnya itu hanyalah sesuatu yang dianggap benar oleh karena ada bukti-bukti yang mendukung kebenarannya semacam data percobaan, foto dan semacamnya dan lalu karena kelogisan antara masalah, data, dan pembahasannya itulah orang-orang menjadi turut meyakini kebenarannya selama tidak ada kebenaran baru yang bisa mematahkannya. Boleh saja jika kamu menemukan sesuatu yang baru yang kamu anggap benar, etikanya adalah pergilah ke simposium dan buatlah semua orang sepakat dengan kebenaran yang kamu yakini, dan jangan lupa bawa serta bukti-bukti yang mendukung.
Paling-paling kalau teori tentang flat earth itu akhirnya akan diterima publik sebagai kebenaran, lulusan-lulusan sains seperti saya ini akan nyesek. Tetapi tidak apa, memang sudah biasa kok, bukan pertama kalinya. Kalau mau membayangkan jadi saya ya boleh saja. Bebas. Teruntuk Newton, mohon maafkan kami. Kami tidak bisa membela hukum-hukum gravitasi yang sudah bertahun-tahun bertahta. Kalau memang salah, ya salah. Tidak akan kami paksa-paksakan benar.
Tetapi masalah yang lebih penting adalah menanyakan kabar satelit-satelit yang sudah diluncurkan sejak bertahun-tahun yang lalu dan yang baru-baru ini satelit kepunyaan bank BRI. Semisal bumi memang flat, bagaimana caranya satelit-satelit itu masih anteng keliling-keliling bumi, terus semua layanan online yang kita semua nikmati ini juga katanya bagian dari hasil peluncuran satelit itu loh, wah jangan-jangan juga konspirasi. Hanya sekedar informasi bahwa untuk meluncurkan satelit-satelit itu orang-orang bersandarkan pada teori-teori Newton tentang gravitasi itu yang akhirnya bisa dihitung berapa kelajuan yang diperlukan satelit agar bisa mengorbit bumi yang kira-kira nilainya mendekati 7,9 km/s (artinya pesawat yang diluncurkan harus menempuh 7900 meter setiap detiknya) yang tentu saja dengan menggaris bawahi bahwa lintasan yang akan ditempuh mengikuti kelengkungan permukaan Bumi, Bumi yang bulat, andaikan dia tidak bulat maka persamaannya tidak akan berlaku. Iyah itu.
Tetapi yasudahlah kalau memang teori flat-earth itu benar. Dulu Galileo harus mempertaruhkan nyawa untuk ngomongin teorinya yang berbeda dengan kebenaran yang diyakini oleh banyak orang pada masa itu, sekarang ini untunglah hanya perlu mempertaruhkan reputasi. Kalau berhasil mungkin akan didewakan, diberi penghargaan nobel, kalau gagal ya diabaikan dan—yang terburuk—kamu dianggap gila. Begitu. Sesederhana itu saja kok.
Sangat disayangkan juga bahwa teman saya itu yang sudah bersusah payah mengetag flat-earth hanya sibuk meneruskan info penting itu di sosial media. Ada baiknya ia mengirimkankan abstrak artikelnya ke salah satu simposium yang diselenggarakan ITB, misalnya, kalau belum bisa berpartisipasi di level internasional. Tentu saja tidak lupa menyertakan foto-foto bumi yang datar itu seperti apa, eitts bukan yang editan sotoshop lo ya. Yang asli made in angkasa. Lebih bagus lagi jika sekalian ada orangnya di foto itu sambil pegang buminya begitu, biar lebih afdol agar bisa mematahkan foto-foto NASA yang ia bilang semacam konspirasi juga biar sekalian eksis. Ia yang meramaikan dunia maya dengan itu sungguh tidak akan mengubah apa-apa. Tidak akan membuat buku-buku IPA dicetak ulang untuk mengoreksi bagian yang menyatakan bahwa bumi itu bulat pampat. Sayang sekali bukan?