[caption caption="Novel Puya ke Puya_Faisal Oddang"][/caption]Tulisan Faisal Oddang yang bertajuk "Puya ke Puya" ini novel lokalitas pertama yang berhasil saya baca sampai akhir. Saya membelinya karena penulis favorit saya, Aan Mansyur, merekomendasikannya di akun twitternya beberapa waktu lampau kala saya masih suka bercuit-cuit di sosial media berlambang burung itu. Label seperti "Pemenang IV Sayembara Menulis Novel DKJ 2014" dan logo penerbit KPJ di sudut kanan atas sering punya pesonanya sendiri dalam memikat mata pembeli dan saya pun berhasil dipikatnya. Walaupun sempat was was perihal isinya yang tema ceritanya--lokalitas, biasanya jarang sekali saya lirik, bahkan jika dilirik tidak saya tuntaskan tetapi nyatanya isinya memang sememikat kulitnya yang kemerahan dan bergambar tangga-tangga yang sedang dinaiki oleh orang-orang itu. Dan karena itu saya pun gagal kecewa. Ilustrasi di sampul menurut saya berhasil mewakili apa yang ada di dalamnya. Berkisah tentang bagaimana upacara "Rambu Solo" dipersiapkan. "Rambu Solo" itu adalah upacara mengantarkan arwah seseorang yang meninggal ke "Puya". "Puya" adalah surga bagi keyakinan orang Toraja. "Rambu Solo" ini oleh pemerintah setempat sering dijadikan daya tarik bagi wisatawan asing untuk datang seperti halnya kebanyakan upacara adat lainnya yang menjadi kekayaan budaya suatu daerah.
Kehidupan di dunia, bayangan akan kehidupan setelah kematian, dan transformasi dari kehidupan setelah kematian ke "Puya" seperti yang diyakini oleh masyarakat di tempat yang dijadikan setting ceritanya dituturkan penulis dengan sangat apik. Dia bercerita dari sudut pandang aku yang diwakili empat tokoh utama dan para leluhur. Empat tokoh utama ini adalah sebuah keluarga yaitu Rante Ralla yang merupakan kepala keluarga yang sekaligus tetua adat dan berasal dari garis keturunan bangsawan, di awal cerita Rante Ralla ini dikisahkan meninggal, dan kelak upacara "Rambu Solo" akan dipersiapkan untuknya. Tina Ralla yang merupakan istri dari Rante Ralla, Allu yang merupakan anak lelaki pasangan Rante-Tina Ralla yang merupakan anak tertua, dan Maria, anak perempuan mereka yang sudah meninggal yang makamnya dibuat dengan melubangi batang pohon--cara penguburan menurut keyakinan orang Toraja bagi bayi yang meninggal sebelum tumbuh gigi. Masing-masing akan mengisahkan apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakannya terhadap perilaku tokoh lain. Oleh karena itu, kita akan dibuat akrab tokoh-tokoh itu secara langsung, bukan dari sudut pandang orang lain.
Konflik-konflik antar tokoh yang diciptakan penulis dijamin tidak akan membuat kita bosan. Diceritakannya secara detail bagaimana perasaan-perasaan dilematis yang muncul antara keharusan mematuhi adat dengan kondisi ekonomi yang tidak memadai, antara kehidupan modern dan kehidupan masyarakat setempat yang masih memegang teguh nilai-nilai budaya serta bagaimana cinta dapat membuat seseorang berpaling dari sesuatu yang tadinya dipegangnya teguh. Tiap-tiap kata yang dijalinkannya ke dalam kalimat seperti anak-anak tangga yang menghantarkan pembaca menuju surga. Surganya para pembaca yang saya maksud adalah kepuasannya dalam membaca suatu karya. Intinya, novel 218 halaman ini sangat direkomendasikan apalagi bagi yang suka cerita-cerita lokalitas. Akan tetapi siap-siap saja kau akan dibuat mengernyitkan dahi untuk beberapa hal yang menggiring pembaca untuk merenung seperti pertanyaan yang terus muncul di awal dan di akhir novel, kenapa surga diciptakan?(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H