Assalamu'alaikum,
Selamat siang Sobat Kompasiana. Semoga hari ini merupakan hari yang dipenuhi Rahmat-Nya. Amin.
Sobat, kata mumet berasal dari bahasa Jawa, yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan pusing.  Sebuah kondisi yang menunjuk pada sakit yang diderita oleh bagian tubuh, yaitu kepala. Penyebabnya macam-macam, bisa karena metabolisme tubuh yang sedang tidak normal, misalnya tekanan darah tinggi. Ini pun karena suatu sebab, bisa dari asupan makanan, bisa karena beban pikiran yang berat. Bisa juga karena bawaan, atau karena penyakit lain.Â
'Mumet' yang dimaksud di sini bukan disebabkan hal di atas. 'Mumet', digambarkan sebagai kondisi yang dialami oleh seseorang yang sedang bingung, buntu pikiran, serba salah, dan lain sebagainya. Siapa pun orang bisa dijangkiti penyakit ini. Tidak peduli kaya atau miskin. Pejabat atau orang rendahan. 'Mumet' bisa menghinggapi siapa saja. Kedatangannya kadang juga tidak diduga. Bisa terjadi kapan saja, tetapi ada 'mumet' yang hadirnya 'terjadwal'.
Di bulan-bulan seperti sekarang ini, kalangan akademisi di perguruan tinggi, saatnya mengisi BKD (Beban Kerja Dosen). Meskipun ini merupakan rutinitas yang pasti akan dilakukan, tetapi tak urung banyak juga yang mengalami kesulitan atau menemui hambatan dalam pengisiannya. Karena aplikasinya sudah merupakan sistem, acapkali banyak pula kegiatan yang tidak bisa diisikan, karena sistem tidak bisa menginput. Akibatnya banyak yang tidak bisa diunggah, meskipun tersedia juga layanan beban lebih.
Kadang sistem pula yang tidak siap meng-cover kegiatan/kerja dosen. Bisa pula karena kesalahan mengisi, tidak bisa dihapus, atau tidak bisa diisikan. Seperti yang penulis alami. Ketika hendak menginput HAKI, macet di bagian deskripsi peran dosen. Akibatnya, kum pada bagian tertentu (penelitian) menjadi sangat tinggi. Padahal batasan kum minimal 12 SKS untuk semua unsur, dengan beban paling tinggi pada unsur pendidikan  dan penelitian yang minimum 9 SKS. Meskipun tampaknya kecil, tetapi jika salah satu unsur yaitu pada penelitian 0, tetap dianggap tidak memenuhi syarat. Beban kerja dosen maksimal 16 SKS di setiap semesternya.
Di Program Studi yang kelasnya kecil, pemenuhan unsur pendidikan kadang menjadi hambatan, jika tidak didukung unsur penelitian yang cukup tinggi, sehingga bisa menutup batas minimum. Sementara itu, hampir nyaris tidak ada penelitian yang berlangsung secara mandiri, sehingga kum harus berbagi dengan anggota tim, dengan 60 % kum pada Ketua Penelitian.Â
Tetapi memang seperti pepatah Jawa yang mengatakan 'Wong iku sawang sinawang'. Mungkin saja 'mumet' ini tidak akan melanda dosen yang kreatif, atau rajin berkegiatan.Â
Pandangan umum selama ini menganggap, menjadi dosen itu enak. Take home pay-nya tinggi. Tentu tidak semuanya demikian. Apalagi jika dosen yang bersangkutan bukan dosen PNS, Â di PTS pula. Beban administrasi dosen sangat berat, sementara tugas dan tanggung jawabnya tidak ringan. Kemajuan teknologi, makin menambah 'mumet', terutama bagi dosen yang sudah berusia. Penggunaan aplikasi digital yang maksudnya makin memudahkan, bisa menjadi sebaliknya. Padahal itu sebuah keharusan yang tidak bisa dihindari. Kadang terlalu rigit persyaratan yang ditetapkan untuk sebuah karya. Akibatnya banyak pula kerja sia-sia. Sementara, tidak terpenuhinya persyaratan BKD, berarti Serdos terhambat pula. Sistem memang bukan manusia, diperlukan sinergitas yang 'ramah lingkungan' agar beban kerja tidak menghambat hak profesi yang harus diterimakan di samping Gaji menurut Jafanya.Â
Demikianlah Sobat, 'mumet' yang hadir musiman. Mudah-mudahan bagi siapa saja yang sedang mengalami hambatan dalam pengisian BKD-nya, segera mendapatkan solusi pemecahan. Sebentar lagi Mahasiswa akan kembali ke kampus. Rutinitas kerja kembali harus dipersiapkan, mengunggah materi, merancang aplikasi pembelajaran baru sesuai dengan RPS yang juga harus ditinjau ulang, penyiapan kegiatan terstruktur mandiri maupun kelompok sebagai luaran perkuliahan, dan sebagainya. Amin. Wallahu'alam bissowab. Wassalamu'alaikum,