Mohon tunggu...
Uut63
Uut63 Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik UPGRIS

Sebagai seorang pendidik (sejak 1981), saya selalu ingin meningkatkan kualitas diri. terutama sebagai pribadi Muslim, saya sangat interest dengan berbagai ajaran yang mengajak ke jalan kebaikan, dan keselamatan dunia akherat. Di setiap tatap muka dengan mahasiswa, saya juga selalu mengingatkan akan hal ini. Di usia yang tidak lagi muda, saya ingin selalu bisa menebar kebaikan. Mudah-mudahan tidak saja bermanfaat untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Saat ini, saya sedang ingin membuktikan talenta pemberian Allah yang tidak saya sadari. Membaca, menyimak (mendengarkan dan memcermati), kemudian menuliskannya. Sesekali saya masih suka bergabung dengan teman, sahabat untuk menyanyi. Sembari menunggu anugerah Allah untuk bisa segera menuntaskan studi S3, saya ingin melakukan apa saja hal-hal yang bermanfaat. Setidaknya ini merupakan salah satu bentuk syukur pada-Nya. Semoga Allah ridla.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Ekspresi Budaya Melalui Kuliner

29 Desember 2022   16:43 Diperbarui: 29 Desember 2022   16:49 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foodie. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Assalamu'alaikum,

Sobat Kompasiana, Selamat sore, sambil menunggu jam kerja berakhir kita bincang-bincang adat budaya.

 Saya hendak ceritakan di sini  kuliner dalam adat budaya Jawa. Di antara  yang akan saya kisahkan di sini adalah Randha (dibaca [rondho]) Royal. 

Dalam bahasa Jawa Randha adalah sebutan yang disematkan pada seorang wanita yang sudah tidak bersuami, baik karena bercerai maupun karena meninggal dunia. Bahasa Indonesia menyebutnya Janda. Sementara royal menunjuk pada perilaku boros, berlebihan. 

Rondho Royal adalah sebutan lain dari Tape Goreng. Mengapa kemudian disebut Rondho Royal? Randha, dalam masyarakat pada umumnya sering dipandang miring. Tanpa membedakan antara Janda yang sudah usia dengan Janda Kembang. Dalam tradisi Jawa kondisi semacam ini disebut digebyah uyah. Mungkin karena sudah tidak ada pasangannya, mereka ini sering menampakkan sifat-sifat manja, baper, kadang bahkan masih ada yang masih menor jika berdandan. Intinya dalam penampilan pantas dikatakan wah.  Sementara kata royal, mengacu pada semua perilaku dan sifat-sifat yang berlebihan tadi. Sekarang mari kita bawa ke salah satu jenis kudapan teman menyerupt Teh di Sore hari. 

Randha Royal terbuat dari bahan dasar Ketela Pohon (atau Pohung). Makanan dari jenis Umbi ini sebenarnya tanpa diberi apapun sudah enak disantap. Di beberapa tempat di Jawa, Pohung  masih menjadi makanan pengganti makanan pokok Beras.  Pohung melalui proses tertentu disulap menjadi Gaplek. Dari Gaplek kita bisa menjadikannya Gatot, Thiwul, dsb. Kesemuanya enak disantap tanpa harus ditambah dengan apapun, apalagi topping seperti yang dikenal sekarang ini.

Dari Pohung, setelah dikuliti, dicuci bersih, lalu dikukus kemudian ditaburi Ragi,  sejenis bahan untuk memfermentasikan makanan. Selanjutnya dibungkus rapat dengan Daun Pisang, dan disimpan di tempat dengan suhu hangat agar cepat masak menjadi Tape. Proses ini menjadikan Pohung berasa legit, dan sedikit asam. Jika pemrosesan bagus, kadang sampai berair menambah lezatnya makanan ini.

Anehnya, orang masih ingin menjadikannya kudapan istimewa. Tape kemudian dihaluskan secara kasar, dicampur dengan Tepung Terigu, diaduk dengan sebutir Telor yang sudah dikocok, tambahkan sedikit gula, dan pengharum rasa Vanili, serta garam, digoreng dalam bentuk tertentu bisa bulat, pipih bergantung selera. Setelah tampak kuning, dan tepung tampak sedikt keras (kemripik), angkat. Nah, jadilah kudapan yang dikenal dengan sebutan Randha Royal. Dapatkah pembaca membayangkan dan menghubungkan asal-usul kudapan ini hingga disebut demikian?

Jenis sajian ini, mula-mula hanya dikenal di kalangan Bangsawan (mengingat prosesnya yang begitu panjang, memerlukan beaya tambahan. Sajian ini sangat miyayeni (lazim di kalangan Priyayi atau keturunan Bangsawan). Seakarang kita mudah menemukannya di penjaja gorengan di pinggir-pinggir jalan. Bersama dengan aneka gorengan lain:  Ketela Goreng, Tahu Petis, Mendoan, Tahu Susur, Mentho,  Pisang Goreng, dll. Serba gorengan. Tape Goreng atau Randha Royal ini sangat cocok dihidangkan di Sore hari seperti sekarang ini, menemani kita menum Teh  (kadang disebut nasgithel: panas, legi, kenthel )bersama keluarga dan handai taulan.

Sungguh Maha Sempurna Allah yang telah mengaruniai kita dengan makanan dari jenis Umbi, Pohung atau Ketela Pohon. Dari satu jenis umbi ini, dikenal pula banyak makanan lain, seperti: Gethuk, Gethuk Lindri, Klenyem (Cemplon), Lemet (Utri), Kacamata, Jongkong, Mentho  termasuk Gathot dan Thiwul yang melalui proses pengeringan sehingga menjadi Gaplek, dll.

Bagaimana dengan para Pembaca? Masih adakah kudapan lain di daerah Anda yang terbuat dari Pohung, atau Ketela Pohon, atau yang populer dengan sebutan Singkong? Ceritakan di sini, kekayaan kuliner tradisional yang tidak kalah dengan sajian berkelas lain!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun