Assalamu'alaikum, Selamat petang Sobat. Salam Kompasiana,
Kita telah menghayati bersama bagaimana Ibu tidak pernah berhenti. Sejak mula kita berada dalam kehangatan rahimnya hingga kita dilahirkan. Ketika kita sudah di alam fana ini, menikmati hiruk pikuk dunia -mulai bisa mendengar, mulai bisa melihat, merasakan lezatnya asupan, menikmati indahnya semesta, dan banyak lagi kenikmatan yang Allah berikan pada kita sebagai bagian dari rezeki dari-Nya-.Â
Ternyata kita akan terus merepotkan Ibu. Karena kita belum bisa apa-apa, belum tahu apa-apa. Melihat, mendengar, merasakan karena Ibulah yang menolong kita, memberikan pengetahuan pada kita.
Ibu dengan segenap kelembutan, dengan kesabaran, dan ketelatenannya membersihkan kita dari pipis, atau pub yang kadang bahkan kita lakukan di pangkuannya, mengotori bajunya. Sesekali itu terjadi ketika Ibu sedang menikmati makannya. Serta merta dia tinggalkan kenikmatannya, dan segera membersihkan kita.Â
Sambil membersihkan dan mengganti baju, Ibu terus mengajak bicara seakan kita sudah bisa bericara. "Besok lagi bilang ya, sayang. Nah..., sekarang sudah bersih. Ayoo...ganti baju dulu ya." Apa saja keluar dari mulutnya, seraya terus tersenyum memandangi kita. "Pinter."Â
Tangannya menepuk-nepuk lembut pipi, paha, atau memain-mainkan tangan kita. Tak lagi ingat kalau ia tadi meninggalkan makannya. Tidak ada yang buruk dari kita di mata Ibu. Meskipun kita merepotkannya, Ibu terus memuji kita. Pinter, bagus, gantheng, cantik, solih, solihah. Semua ucapan baik untuk kita. Tahukah Sobat, ucapnya adalah doa. Terus mengalir tiada batas ruang dan waktu. Kapan saja, di mana saja, sedang apa saja.
Suatu ketika Ibu mengajak bercanda, "Sayang, besok mau jadi apa?" Tak peduli kita belum paham pertanyaannya, "Mau seperti ayah?, pinter...seperti Ayah ya?" Ibu mulai memperkenalkan siapa Ayah. Tangan lembutnya mengusap-usap telapak kaki kita. Kita menggelinjang, geli. Ibu terkekeh bahagia. Ketika ada suara bel berbunyi, Ibu mengangkat kita dengan penuh suka cita, "Ayah datang, bawa oleh-oleh apa ya?" Diulurkannya tangan mungil kita untuk menyambut tangan Ayah. "Pinter", katanya memuji.
Begitulah cara Ibu mengajari kita. Terus menerus, berulang, di antara tangis dan rewel kita. Kita tidak tahu makna semua itu, sampai akhirnya di usia batita kita baru tahu, itulah adab menyambut ayah tiba di rumah. Dan banyak lagi yang lain, yang kita tidak pernah menyadari Ibu telah mendidik kita agar kelak kita menjadi orang yang berbudi.
"Selamat pagi, sayang. Nyenyak ya boboknya. Mimpi apa semalam?" Terus dan terus Ibu mengajar kita. Betapa bahagianya Ibu dan Ayah ketika kita mulai bisa bicara. Hanya Ibulah yang tahu bahasa kita. Ibu pulalah yang menjelaskan kepada Ayah, kakak, siapa saja tentang celoteh kita, apa maksudnya.Â
"Ayoo...maem dulu. Biar cepat besar, dan seperti Ayah." Lagi-lagi Ibu mengajarkan sosok Ayah. Ayah yang melindungi kita, Ayah yang bekerja untuk kebahagiaan kita. Ayah yang hebat mengajak kita jalan-jalan, mengenal alam semesta. Begitulah Ibu, tak pernah ia mengenalkan kehebatannya pada kita.
Saat kita sakit, Ibulah yang gelisah. Beliau terus berjaga. Apapun dilakukannya agar kita mau makan, agar kita minum obat dan cepat sehat kembali. Ibu yang cermat memilih asupan kita. Ibu pandai merayu, dan membujuk kita agar kita mau ke dokter. Dan banyak lagi yang lain yang Ibu lakukan untuk kita. Lelahnya adalah kebahagiaan. Repotnya adalah kegembiraan. Kesedihannya menjadi kekuatan. Ibu, tak terbayang jika hidup ini tanpa dirimu.