Mohon tunggu...
Ruslan H
Ruslan H Mohon Tunggu... -

Technology Enthusiast, sms : 0881-136-5932

Selanjutnya

Tutup

Money

Indonesia Impor LNG dari Australia

6 Mei 2016   14:36 Diperbarui: 6 Mei 2016   14:47 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar ilustrasi kapal pengangkut LNG (sumber:abc.net.au)

Membaca berita di The Globe Journal tanggal 19/04/16 beberapa minggu yang lalu, mata saya tertuju pada berita berjudul : “Pertamina akan Impor Gas dari Australia”. Kontrak yang ditandatangani dengan Woodside Petroleum ini adalah untuk supply gas ke Indonesia sebanyak 0,5 sampai 1 juta ton per tahun (MTPA) dengan tenor 15 sampai 30 tahun. Selain itu Indonesia juga menanda tangani kontrak pembelian gas sebanyak 1,52 MTPA untuk 20 tahun sampai dengan tahun 2039 dari Cheniere Corpus Christi Liquifaction LLC Amerika. Selama ini kita ketahui Indonesia adalah salah satu pengekspor LNG dunia. Mismanagenent dari energi dalam negeri akhirnya memaksa kita akhirnya membeli gas dari luar, sementara gas di dalam perut bumi belum bisa dikeluarkan karena silang pendapat terus.

Penanda tanganan kontrak Indonesia dengan Woodside Petroleum Australia ini menyadarkan posisi kita tidak lagi sebagai jawara pengekspor LNG ke negara negara miskin energi. Indonesia realistis pada tahun 2020 akan membutuhkan gas sesuai dengan proyeksi kebutuhan gas yang terus meningkat. Tahun itu Indonesia akan mengalami defisit gas sebesar 4 miliar MMSCF. Sumber sumber gas alam Indonesia sebetulnya bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri. Tapi rencana untuk mengekspoitasi gas ini jadwalnya banyak yang meleset. Blok migas Natuna East yang dipercayakan kepada Pertamina untuk pengerjaannya juga mundur schedule nya. Natuna East ini mempunyai cadangan gascukup besar yaitu 46 TCF. Blok migas yang tadinya digarap Exxon ini akhirnya pada tahun 2008 diserahkan kepada Pertamina untuk mengerjakannya. Karena tingkat kesulitan yang cukup tinggi, Pertamina kesulitan memenuhi schedule sesuai harapan pemerintah. Sudah direvisi untuk mundur berkali kali, mungkin baru bisa onstream rahun 2030.

Pendapat umum masyarakat Indonesia terlalu overestimate kepada kemampuan BUMN pelat merah ini. Dikiranya blok migas yang bisa digarap PSC asing juga akan dengan mudah dikerjakan oleh Pertamna. Kenyataan tidak semua blok migas bisa ditangani oleh Pertamina seharusnya menyadarkan kita akan realita sebenarnya. Ada suara suara di DPR yang menginginkan Blok Masela diberikan kepada Petamina untuk mengerjakannnya. Resiko kegagalan yang mungkin terjadi akan menambah berat beban perekonomian negara. Kita harus berpikir realistis menjejak bumi, bukan melamun di awang awang. Kebiasaan kebiasaan populis harus dikurangi. Ini bisa menyeret negara ke dalam jurang kehancuran. Angin surga juga pernah dihembuskan untuk Blok Masela ini. Dikatakan Indonesia akan melebihi Qatar.

Negara yang dikelola dengan cara populis akan bangkrut. Recources lebih dipentingkan untuk membentuk pencitraan daripada dipakai untuk kerja riil. Pemimpin akan me nina bobok kan masyarakat dengan iming iming muluk. Kemampuan yang nyata sebetulnya tidak ada. Belakangan ini yang sedang terlihat bakal ambruk adalah Venezuela.Ini adalah ironi bagi negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia. Cadangan minyaknya melebihi Arab Saudi. Populisme membuat bencana. Venezuela terpaksa mengimpor BBM dari Amerika. Terjadi pemadaman listrik bergilir. Toko toko yang menjual kebutuhan hidup sehari hari rak nya kosong melompong. Rumah sakit kekurangan obat. Praktek populisme ini banyak dijalankan oleh politisi di seluruh dunia. Mereka menggunakan cara ini untuk tujuan pribadi. Luarnya saja dibungkus manis untuk keperluan rakyat. Kebijakan yang ditempuh petiggi populis ini bukanlah jalan optimal. Sekedar untuk menaikkan citra saja sehingga dia bisa mendapatkan kekuasaan dari rakyat. Sebanyak apapun kekayaan SDA yang dimiliki negara, kalau tidak dikelola dengan cara yang benar akan menimbulkan kebangkrutan. Dalam sejarahnya negara negara yang menerapkan kebijakan populis pada akhirnya akan mengalami keseulitan ekonomi. Argentina pada jaman Eva Peron mengalami hal ini.

Indonesia harus waspada terhadap kemungkinan salah kelola seperti itu. Populisme sama saja meniupkan angin surga sehingga rakyat terbuai mimpi. Ada pihak pihak yang mendapatkan manfaat dari populisme ini, tapi ditinjau secara keseluruhan akan merugikan rakyat. Venezuela meensubsidi harga BBM dalam negeri sangat banyak. Kalau dikurs sekarang ini harga BBM tidak sampai dua ratus rupiah per liter. Kepemimpinan almarhum Hugo Chavez juga menjadi idola sebagian masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Jatuhnya harga minyak dunia membuat perekonomiannya mengalami kesulitan sangat berat. Saatnya Indonesia terbangun dari mimpi. Sumber daya alam yang kita miliki tidaklah sebanyak yang sering kita duga. Kemampuan teknis dari perusahaan Indonesia juga masih kurang mencukupi. Kita harus realistis dalam perencanaan kebutuhan energi ini. Tentu saja kita tidak menginginkan nasib buruk seperti Venezuela dialami oleh Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun