Mohon tunggu...
Ruslan H
Ruslan H Mohon Tunggu... -

Technology Enthusiast, sms : 0881-136-5932

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemacetan Mudik Lebaran yang Memalukan

14 Juli 2016   09:56 Diperbarui: 14 Juli 2016   10:01 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1 : Macet di Brebes (sumber : Dailymail)

Tragedi kemacetan Brexit mencoreng Indonesia. Apalagi sampai meminta tumbal korban nyawa. Media luar negeri memberitakan hal ini dan merupakan aib karena menunjukkan cara berlalu lintas kita yang 'uncivilized'. Kita akan menjadi bahan tertawaan negara negara berbudaya tinggi.

Kemacetan lalu lintas di indonesia adalah persoalan klasik. Kita tidak bisa mengatasinya dan makin lama makin menjadi jadi. Terutama sejak reformasi. Ketidakmampuan mengatasi persoalan ini karena menyangkut karakteristik bangsa yang sudah terbentuk selama bertahun tahun. Revolusi mental yang digaungkan akan sulit merubah dalam waktu sigkat secara simsalabim. Butuh waktu beberapa generasi untuk megalami evolusi. Bukan revolusi.

Jalan di jaman modern ini pasti bisa mengalami yang namanya 'traffic jam'.  Jumlah mobil selalu bertambah. Cara berlalu lintas juga memerlukan cara tertentu agar bisa teratur dan aktivitas tidak menjadi terhambat. Biasanya diatur dengan rambu lalulintas dan aturan aturan yang tertulis. Sayangnya rambu rambu maupun peraturan lalu lintas tidak dianggap. Pengemudi menggunakan jalan dengan semaunya tanpa aturan.

Jalan menjadi macet karena masalah jalan nya atau masalah pengguna nya. Masalah jalan misalnya ada pohon tumbang,  mobil terguling atau jalan berlubang. Jika masalah nya disebabkan oleh pengguna jalan, maka itu adalah pengemudi saling serobot sehingga macet terkunci tidak bergerak. Tipe kemacetan jenis terakhir ini menyangkut human behavior. Bisa tidak sama antar negara.

Pengemudi Indonesia kebetulan kelakuan berlalu lintas nya jelek. Di mana mana mudah terjadi kemacetan tanpa penyebab eksternal. Kemacetan biasanya terjadi karena ada pengemudi menyerobot jalan. Cara menyerobot jalan ini dilakukan dengan keluar antriann dan menyalip kendaraan kendaraan yang ada di depannya.  Di depan mobil ini kadang kadang dia terpaksa harus balik masuk antrian lagi karena ada halangan. Ketika masuk jalur antrian lagi dia harus memaksa agar kendaraan yang diserobot mau memberikan jalan buat dia.

Konfigurasi jalan ada yang melebar sebagian itu sering digunakan untuk menyerobot. Bahu jalan juga tempat favorit untuk menyerobot. Bahu jalan yang sebetulnya akan digunakan untuk keperluan darurat akhirnya dimanfaatkan sebesar mungkin untuk para penyerobot.

Dengan melihat kelakuan pengemudi ini maka pengguna jalan harus diarahkan dengan keras agar tetap berada dalam jalur nya. Mengarahkannya harus secara fisik. Tidak bisa sekedar gambar rambu rambu ataupun tulisan. Cara seperti ini tidak akan mempan. Jalur jalan harus menghilangkan ruang ruang yang bisa digunakan untuk memulai penyerobotan.  Kegagalan mengantisipasi ini akan berakibat kemacetan parah. Kemacetan berat biasanya dimulai dari hal kecil. Pengemudi menemukan ruang kosong untuk menyerobot. Dia mulai keluar jalur antrian untuk menyalip ke depan. Langkah ini akan diikuti oleh pengemudi lain. Akhirnya lalu lintas secara keseluruhan menjadi ruwet dan terkunci.

Menghadapi human behavior yang khas ini pengatur kelancaran jalan harus memperlakukan mereka sedikit mirip hewan yang digiring. Hewan tidak bisa diatur melalui rambu rambu lalu lintas. Tapi harus dibuat suatu penghalang fisik untuk memaksa mereka mematuhi antrian. Harus menggunakan barikade fisik untuk menjaga mereka tetap pada jalur yang benar. Sebetulnya bisa digunakan traffic cone untuk mengarahkan. Tapi traffic cone yang ringan ini akan sangat mudah digeser oleh pengguna jalan yang nekat. Maka lebih baik digunakan blok beton atau penghalang yang diperberat degnan diisi air. Memang agak ribet, tapi demi kelancaran jalan kesulitan ini worth the effort.

Dengan memperhatikan foto kemacetan di pintu tol Brebes Timur yang dimuat di portal berita Dailymail di Inggris bisa dilihat bahwa ada kesalahan dalam menggiring pengguna jalan. Di suatu jalan bercabang, ruang untuk menyerobot dibiarkan terbuka. Akibatnya pengguna jalan membelokkan setir ke kanan untuk menyerobot. Diikuti mobil mobil di belakangnnya. Di ruas  jalan keluar sempit ini terjadilah kemacetan.

Gambar berikut saya perbesar dari foto Dailymail untuk menunjukkan tersedianya ruang kosong untuk menyerobot. Ruang kosong tersebut saya tandai dengan segitiga berwarna merah. Petugas menempatkan blok beton penghalang terlalu jauh dari antrian. Ini adalah tindakan kurang pintar dalam mengantisipasi orang menyerobot. Seharusnya blok beton itu dipasang dari titik A menuju ke titik B yang berfungsi sebagai pagar sehingga tidak ada kesempatan buat pengemudi untuk menyerobot. Karena dipasang dari titik B ke titik C, maka ada ruang kosong yang bisa digunakan untuk menyerobot. Lihat gambar 2.

Gambar 2 : Salah menempatkan penghalang (sumber : zoom dari Dailymail)
Gambar 2 : Salah menempatkan penghalang (sumber : zoom dari Dailymail)

Penyerobotan antrian lalu lintas dan korupsi adalah dua penyakit akut yang menjangkiti masyarakat Indonesia. Sebetulnya keduanya berasal ari akar yang sama, yaitu egoisme. Sejak kecil masyarakat Indonesia dididik untuk berlaku egois. Tidak mempedulikan kepentingan umum. Apa yang dilakukan pertama kali diipikirkan untung kepentingan diir sendiri saja. Tidak perlu memikirkan apakah masyarakat banyak akan dirugikan. "Biarin saja mereka rugi, yang penting gue untung." Mindset seperti ini yang mendasari terjadinya korupsi dan penyerobotan antrian lalu lintas terjadi dimana mana.

Jutaan pengguna jalan sebagian mempunyai mindset seperti di atas. Mereka ditaruh di jalan menuju kampung halaman, bebas menyerobot. Tentu saja tidak semua berpikiran egois. Ada juga yang berpikiran bagus. Tapi prosentasi kecil dari pengemudi berpikiran egois akan mengacaukan sistem jaringan jalan modern yang sebagian besar bertumpu pada aturan lalu  lintas modern.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun