Lagi-Lagi Soal Ahok: Dari Kekuasaan Sampai Pelajaran PKn
Setelah Ahok menyampaikan pidatonya di kepulauan seribu (27 September), tidak ada sama sekali yang berkomentar dan keberatan, termasuk dan terutama dari para saksi langsung, yaitu warga pulau Pramuka. Namun mengapa tiba-tiba kasus ini populer sampai seluruh dunia, dan menjadi topik terheboh dan dahsyat di Indonesia beberapa bulan terakhir ini?
Mengilas balik, 9 hari setelah pidato Ahok, tepatnya pada 6 Oktober, Buni Yani mengunggah video editan pidato Ahok dengan menghilangkan beberapa kata yang krusial. Tidak lama setelah itu pun masyarakat resah dan beberapa terprovokasi. Ketegangan pun terjadi, walaupun sebagian besar masih rumor-rumor di media. Ahok yang mengetahui ini langsung meminta maaf pada 10 Oktober, mencoba mendinginkan keadaan. Sayangnya, justru yang terjadi adalah demonstrasi pertama tanggal 14 Oktober. Ini bukti yang cukup kuat bahwa video editan Buni Yani-lah yang menyebabkan keresahan dan memprovokasi. Buni Yani juga membuka gerbang untuk kelompok-kelompok yang dari awal dirugikan (karena tidak bisa KKN, mungkin) oleh Ahok atau yang dari awal tidak suka Ahok karena sebab lain. Juga untuk masyarakat biasa. Mereka yang awalnya tidak aware bahwa video pidato tersebut dapat dimanfaatkan, menjadi aware dan memanfaatkannya. Begitu juga dengan kekuatan-kekuatan kepentingan yang lain (yang memanfaatkannya). Akibatnya, semakin tersebarlah editan ini, sehingga muncul berbagai demonstrasi seperti yang paling pertama tanggal 14 Oktober, lalu 4 November, sembari mengedoki kepentingan-kepentingan dengan agama. Kemudian rakyat yang berpikir ini adalah benar aksi membela agama berdatangan dari Bekasi, Bogor, dan kota lain, ikut turun bersama kelompok-kelompok terorganisir lainnya. Beberapa pengamat termasuk seorang mahasiswa(atau pegawai ya? Saya lupa) yang bertemu seorang demonstran dari luar daerah Jakarta, terharu karena ia rela datang dari tempat asalnya, sehingga menyimpulkan bahwa demonstrasi ini full karena agama, tidak mungkin sebab yang lain. Lebih tepatnya aksi-aksi dianalogikan sebagai arus banjir yang awalnya kepentingan bercampur agama, yang kemudian menghanyutkan rakyat (yang kemudian menganggap ini murni soal agama). Kita bisa mengambil pelajaran darinya: berhati-hatilah menyimpulkan. Menyimpulkan itu dari bawah ke atas, bukan dari atas ke bawah.
Ada yang bilang “udalah lupain, jadiin batu lompatan aja.” Menurut saya ini adalah pendapat orang yang dijuluki “Mr. Don’t Rock the Boat.” (Dalam arti lain, orang yang mau perjalanan hidupnya cuma tenang-tenang, lurus-lurus, semua masalah yang menggangu bukannya diteliti dan dianggap sebagai tantangan untuk diselesaikan bersama, malah dibiarkan, pasrah, dan dianggap hal yang buruk sama sekali). Dalam perjalanan kapal saja, mana ada pelayaran panjang yang setiap detiknya tenang dan enak terus, tanpa ada tantangan dan kerja keras? Sama dengan kasus ini, jika “dilupain” dan dipasrahin saja (“jadiin batu lompatan” adalah versi halus dari yaudahlah gausah dipikirin lagi, lagian bikin berisik aja. Anggap aja itu sebuah kejadian yang terjadi, “ambil pelajarannya aja”.) ya yang mendemo dan memberi tekanan pada hakim (lembaga yudikatif Indonesia) dan beberapa aktor politik (merujuk statement presiden) semakin tertawa. Kedepannya karena mereka merasa cara mendemo untuk menekan hakim, memprovokasi keresahan dalam masyarakat, mengganggu stabilitas negara dan politk, serta mencampuradukkan politik dan agama atau unsur kebhinekaan lainnya (seperti ras, suku, golongan) terbukti efektif, mereka pun dengan pemikiran yang mementingkan diri dan kelompok akan melakukannya lagi, entah sampai kapan. Sehingga, ya stabilitas dan kesatuan dalam keberagaman negara akan terus terguncang, kalau kita tinggal diam. Maka itu, kita harus melakukan yang kita bisa dengan ikut menyumbangkan pikiran serta bersikap kritis untuk membela kebenaran.
#riphukumindonesia lebay? Memang kalau dilihat sekilas ya, lebay. Tapi mari kita berpikir lebih dalam dan mengerti perasaan beberapa orang yang merasa terbantu oleh Ahok. Misalkan anda seorang turis di negara X. Kemudian anda ingin membeli suatu barang, misalnya es krim, di pedagang asongan. Pedagang menyebut harganya 20, dan andapun membayar, lalu pergi. Eh ternyata anda lupa beli untuk teman anda yang menitip dibelikan, jadi anda pun kembali. Saat dekat dengan sang pedagang, anda menyaksikan langsung pedagang mengatakan harga 5 untuk es krim yang sama, hanya pembelinya orang lokal. Andapun akhirnya tidak jadi membeli lagi, dan menulis di blog anda “RIP cost equality and fairness.” Apakah anda layak disebut lebay? Tidak! Andalah yang mengalami sendiri kejadian tersebut sehingga anda-lah yang mengetahui bagaimana rasanya, dan sangat wajar anda merasa kesal sehingga menggunakan bahasa yang lebih dalam “RIP.” Ini bukan berarti menganggap dan mengklaim fakta bahwa semua pedagang asongan tidak fair dalam memberi harga, namun satu bagian dari pedagang asongan memang tidak fair dan diskriminatif, dan satu bagian itulah yang harus diubah, dengan dinyatakan kesalahannya. Satu bagian cukup untuk merusak susu segudang. Mirip seperti kasus ini, kesalahan keputusan hakim disini, yang dalam kapasitasnya sebagai keputusan hakim harus tetap dihormati, adalah satu bagian yang merusak dalam gudang susu(yah, walaupun hukum Indonesia selama ini juga belum pantas disebut sebagai gudang susu) tersebut. Lebih lagi, kasus ini mendapat perhatian sangat luas dari dunia Internasional (perlu saya ingatkan, yang dimaksud Internasional disini bukan hanya negara barat saja, seperti pandangan banyak orang Indonesia), menjadi headline, top story, maupun top side story di beberapa media seperti The Straits Times, Guardian, NY Times, Bangkok Post, Berita Harian Malaysia, dan lain-lain. Keputusan para hakim ditonton seluruh dunia akibatnya noda kecil saja dapat merusak wajah Indonesia di kacamata Internasional, yang tentu saja agak wajar jika diberi tag RIP. Di sisi lain, kita juga tidak boleh menyia-nyaiakan kesempatan(berupa perhatian dunia) ini! Kita harus membuktikan pada dunia bahwa Indonesia adalah negara hukum yang kuat dan mencintai keadilan, sehingga siapapun, orang luar maupun orang dalam, tidak bisa membongkar benteng kita. Dan kalaupun hakim gagal menyingkap keadilan yang sebenar-benarnya, kita sebagai warga-lah lapis kedua yang harus turun mengeluarkan aspirasi! Inilah contoh dan saat yang baik untuk mengimplementasikan yang ada di buku PKn, bela negara! Oh ya, jadi, anda yang masih belum mengerti bahwa RIP hukum Indonesia ini BUKAN berarti hukum Indonesia ini semuanya lumpuh, silahkan belajar gaya bahasa/majas bahasa Indonesia sedikit lagi.
Jikalau Ahok memang harus dipenjara, setidaknya dia telah menunjukkan kepada kita, bahwa untuk menjadi tegas melawan korupsi dan kelaliman lainnya, serta menjadi benar, itu tidak mudah. Setiap titik hidup kita akan dikorek-korek untuk dicari-cari apa yang bisa dipakai sebagai alasan untuk menjegal kita. Selain itu, karena kasus Ahok ini jugalah banyak orang menjadi peduli keadaan (dalam hal ini politik dan sosial) negara, dan lebih sering cek berita. Beberapa pelajaran lain yang menurut saya bisa diambil juga, adalah:
-Mengorbankan persepsi dan pamor diri untuk meredakan amarah dan keresahan dengan meminta maaf walaupun tidak bersalah
-Membuka kedok kedok beberapa kelompok yang selama ini memakai topeng negarawan atau topeng mengutamakan kepentingan bersama diatas pribadi (eh ini bukan pelajaran ya?)
-Berpikir, jangan cuma terprovokasi(ikut-ikutan) dan memakan hasil cernaan(pemikiran orang lain)
Nah, kasus ini berguna untuk mendidik kita juga kan? Seperti yang Ahok katakan, bahwa warga itu harus dididik, bukan dimanjakan yang tidak benar asal mendapat muka baik.
Akhirnya nulis juga tentang Ahok.