Wayang Lakon (1)
Dewa Ruci
“Tirta Pawitra Mahening Suci” memiliki arti filsafat.
Disusun oleh: Hendra Rayana Sumber: Mengenang Ki Nartosabdho Dilandasi oleh niat untuk melestarikan dan mendokumentasikan Seni Budaya Tradisional Indonesia (Seni Musik, Seni Tari, Seni Sastra dan Seni Lukis) yang berasal dari seluruh penjuru Nusantara, maka kami membuat artikel ini agar dapat dibaca dan dinikmati oleh pengunjung secara luas. Sama sekali tidak ada maksud komersial, artikel ini banyak mengutip dari website lain, blog, atau buku tanpa dirubah, melainkan ditambah dengan gambar, link, flash video atau MP3 agar lebih menarik. Seandainya ada yang keberatan karena website atau blog nya dikutip mohon diberitahukan kepada kami, kami bersedia untuk menghapus. Sepenggal kisah dari lakon Ki Nartosabdho - Dewa Ruci Werkudara (Bima - dewasa) Sang Bima nyemplung di samudra nan ganas mengikuti perintah gurunya, Begawan Durna, untuk mencari “air kehidupan” guna menggapai kesempurnaan hidup, Tirta Pawitra Mahening Suci. Badan terombang-ambing dihempas dan diterjang ganas ombak, seolah kapas dipermainkan tiupan angin kencang di angkasa nan maha luas. Werkudara sudah pasrah akan nasib dirinya. Namun tekadnya sungguh luar biasa, tidak goyah oleh kondisi tubuh yang makin lemah. Tiba-tiba dihadapannya, muncullah seekor naga yang luar biasa besarnya menghadang laju Bima. Kyai Nabat Nawa, naga raksasa itu, langsung menyerang sosok kecil dihadapannya dan menggigit betis Adik Yudhistira itu. Belum cukup dengan itu, diraihnya badan Werkudara untuk dibelit dengan maksud menghancurkan raga manusia yang menjadi mangsanya.
- Apakah ilmu kesempurnaan hidup itu ? Ilmu kesempurnaan hidup ini akan diperoleh bila telah sempurna hidupnya. Hidup sudah tidak tergantung lagi kepada keinginan-keinginan dunia lagi. Kalau seandainya kehidupan manusia masih menggunakan daya panasnya matahari, daya dari semilir angin, segarnya air dan masih menginjak bumi dibawah langit, manusia belum bisa dibilang sempurna karena yang Sempurna itu hanyalah Sang Pencipta. Meskipun ada manusia yang katanya mempunyai ilmu yang linuwih, mampu melakukan ini, mengerjakan itu, pasti ada kekurangannya, ada cacatnya.
- Apakah “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu ? Tidak akan dapat diperoleh wujud air itu dimanapun, termasuk ditempat ini. “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu hanyalah sebuah perlambang yang harus dimengerti maksudnya.
- Tirta : air, kehidupan. Dimana ada air disitu ditemui kehidupan
- Pawitra : bening. Air bening, tidak hanya dilihat dari wujud air yang bening namun juga harus dilihat dari kegunaannya menghidupi semua makhluk, manusia, hewan dan tumbuhan.
- Mahening : dari kata Maha dan ening yang mewujudkan arti ketentraman lahir dan batin
- Suci : terhindar dari dosa
Jelasnya, didalam menjalani hidup ini, mencarilah kehidupan yang sempurna yang mampu memberikan ketentraman lahir dan batin, mampu menghindarkan diri dari dosa-dosa yang menyelimuti dirinya untuk menggapai kesucian. Namun petunjuk itu belum mampu diperoleh banyak manusia dari dulu hingga kini meskipun peyunjuk itu tlah lama adanya. Bila ingin mengetahui hidup yang langgeng, tentram terhindar dari kegalauan dan kekecewaan, kalau sudah dapat menemukan “alam jati”. Dimanakah Alam Jati itu ? Tidak bisa dilihat oleh mata, hanya mampu dirasakan melalui cipta. Bima kemudian disuruh memasuki gua garba Dewa Ruci. “Duh Batara … bagaimana hamba mampu mengerti alam jati dengan memasuki badan paduka. Badan hamba begitu besar sementara Paduka begitu kecil. Bahkan, kelingking hamba saja tidak akan mampu masuk ke badan paduka.” “Hai Werkudara, besar mana kamu dengan jagad ? Bahkan Gunung dan samudrapun mampu saya terima. Percayalah, masuklah kamu melalui telinga kiriku.” Seketika tanpa tahu apa yang terjadi, maka Bima tiba-tiba melewati telinga Dewa Ruci dan akhirnya sampai ke gua garba Sang Dewa. Dan saat telah berada di gua garba Dewa Ruci, yang ditemui Bima hanyalah perasaan tentram belaka. “Pukulun, hamba sekarang hidup dimana ? Hamba melihat tempat yang begitu luas seakan tanpa tepi, begitu terang tanpa bayangan. Terangnya bukan karena cahaya mentari, namun sangat nyata dan indah. Hamba tidak tahu arah kiblat, mana utara selatan, mana barat timur. Pun tidak tahu apakah ini di bawah atau di atas, depan atau belakang. Hamba masih dapat melihat dengan baik, dan mendengar, namun kenapa hamba tidak melihat badan hamba sendiri. Yang hamba rasakan hanya kedamaian dan ketentraman semata. Hamba hidup di alam mana ini Pukulun ?” “Werkudara, kamu sekarang berada di alam yang bernama “Loka Baka”, alam kelanggengan, alam jati. Kamu dapat melihat dan mendengar dengan nyata namun tidak mampu melihat dirimu sendiri, itulah yang dinamakan Jagat Lagnyana, berada dalam alam kematian namun masih hidup, merasakan mati namun masih hidup” “Hamba melihat Nyala satu tapi mempunyai cahaya delapan” “Nyala satu cahaya delapan disebut pancamaya. Panca bukan berarti lima tapi beraneka rupa. Sedangkan delapan cahaya tadi adalah daya kehidupan lahir batin yaitu : cahaya matahari, cahaya bulan, cahaya bintang, cahaya mendung, cahaya bumi, cahaya, api, cahaya air, cahaya angin. Cahaya-cahaya itulah yang mampu menghidupi kehidupan alam” “Cahya mentari, bulan dan bintang mewujudkan badan halus manusia, roh. Sedangkan cahya bumi, api, air dan angin mewujudkan badan kasar manusia. Ketujuh cahya yang telah menyatu disebut wahyu nungkat gaib, satu yang samar. Namun hidup haruslah berlandaskan kepada “pramana” yang adalah atas dorongan Sang Hyang Suksma” “Pukulun, hamba melihat 4 cahaya 4 warna” “4 Cahaya dari terjadi dari hawa 4 perkara, merah adalah dorongan hawa nafsu, hitam perlambang kesentausaan namun berwatak brenggeh, kuning dorongan keinginan namun berwatak jail dan putih merupakan dorongan kesucian. Ketiga watak merah, hitam dan kuning senantiasa mengganggu watak putih yang sendirian. Kalau tidak mempunyai keteguhan sikap dalam menghadapi godaan ketiga cahya tadi maka cahya putih akan ternoda. Namun bila cahya putih tadi berjalan secara lurus dalam kebenaran, maka ketiga cahya yang lain akan menyingkir, hilang, musnah dengan sendirinya.
MP3 Wayang kulit oleh Alm. Ki Narto Sabdo - Lakon: Dewa Ruci
Thanks to: Mengenang Ki Nartosabdho U n d u h : Dewa_Ruci_01.mp3 Dewa_Ruci_02.mp3 Dewa_Ruci_03.mp3 Dewa_Ruci_04.mp3 Dewa_Ruci_05.mp3 Dewa_Ruci_06.mp3 Dewa_Ruci_07.mp3 Dewa_Ruci_08.mp3 Lihat Artikel Kompasiana lainnya oleh Hendra Rayana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H