Sumbangan Jawa Untuk Pembangunan Karakter Bangsa (Bagian 1/3)
Oleh Ki Sutadi Ketua Pepadi Provinsi Jawa Tengah
Artikel ini kiriman Bapak Sutadi Siswarujita atau Ki Sutadi, Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia ( PEPADI ) Provinsi Jawa Tengah, yang disajikan dalam Sarasehan Budaya Jawa. Sumbangan Jawa Untuk Pembangunan Karakter Bangsa Pendahuluan
Jawa, Jagad Jawa dan Budaya Jawa telah menjadi obyek kajian yang menarik dan tak pernah habis. Seolah-olah ada semacam ‘magnit’ di ranah Jawa yang menarik perhatian para pakar baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Jawa memang menyimpan ‘kekayaan’ budaya yang tidak pernah habis untuk digali dan dikaji. Dalam dimensi kesejarahan, Jawa telah menempuh perjalanan sejarah ribuan tahun. Dengan kekayaan dan keunikan Jawa, amat banyak yang dapat dijadikan obyek kajian sesuai dengan fokus dan lokusnya. Pembangunan Karakter Bangsa telah menjadi wacana yang sering mencuat di permukaan. Dalam realitas kehidupan sehari-hari banyak sekali watak-watak atau perilaku manusia yang sangat mengerikan, memilukan, menyedihkan dan memprihatinkan. Fenomena tentang hadirnya sebuah ‘tragedi kemanusian’ sering terlihat di tayangan televisi, antara lain dalam rubrik Serbu, Buser, Hot Spot, Bidik, Sergap dan lain-lainnya. Banyak sekali watak-watak atau perilaku kasar, keji, kejam, bengis dan biadab yang diperlihatkan. Nampaknya ada yang salah dalam proses pendidikan dan pembangunan karakter bangsa ini sehingga memerlukan perhatian serius. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk membangun karakter bangsa ini agar terwujud watak-watak yang penuh kesantunan, berbudi pekerti luhur, berbudaya dan bermartabat. Disamping nilai-nilai yang ada dalam ajaran agama-agama Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Khong Hu Chu, nilai-nilai yang ada di ranah Jawa, ‘Jagad Jawa dan Budaya Jawa’, dapat diidentifikasi dan dikaji sebagai masukan untuk pendidikan dan pembangunan karakter bangsa. Nilai-nilai yang terkandung dalam sesanti ‘Bhineka Tunggal Ika’ ternyata memiliki makna, matra dan perspektif kedepan dalam konteks realitas dan dinamika masyarakat Indonesia yang pluralistik. Demikian juga nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan ‘Mamayu Hayuning Bawana, Mamayu Hayuning Nusa Bangsa, Mamayu Hayuning Sasama, dan Mamayu Hayuning Sarira” dapat disumbangkan dalam pendidikan dan pembangunan karakter bangsa. Ungkapan ‘Aja Dumeh’ juga mengajarkan agar berwatak rendah hati, ‘andhap asor’ dan ‘nguwongake uwong’. Watak ini dapat membangun komunikasi yang serasi dan dapat menjaga iklim yang lebih sejuk. Banyak sekali ajaran-ajaran yang ada di ‘monumen-monumen’ yang berbentuk sastra, naskah-naskah atau manuscript Jawa, pewayangan, pedalangan dan lain-lain yang kaya dengan nilai-nilai yang dapat dijadikan asupan dalam pembangunan karakter bangsa. Khazanah cerita tentang binatang, Babad, Dongeng-dongeng, Macapat, Lagu-lagu dolanan anak terkandung nilai-nilai yang dapat membentuk moralitas, etika, watak, karakter dan pribadi anak yang baik. Pendidikan ilmu-ilmu budaya dan ilmu-ilmu
humaniora perlu lebih ditingkatkan agar menjadi wahana dalam pembangunan karakter bangsa. Paska peringatan 64 tahun Kemerdekaan Negara Kesatuan Indonesia (NKRI), bangsa ini masih dihadapkan dengan keadaan yang belum adil, makmur dan sejahtera. Kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan belum seluruhnya dapat diatasi dan masih ada ada jutaan penduduk miskin yang belum dapat dientaskan. Nasionalisme, rasa cinta tanah air, persatuan dan kesatuan Bangsa ‘belum’ kokoh kuat dan masih menyisakan beberapa persoalan. Upaya untuk mewujudkan ‘integrasi nasional’ dengan semangat
Bhineka Tunggallka masih dihadang dengan berbagai kendala dan permasalahan. Gerakan separatis dan konflik etnis masih terjadi di beberapa wilayah. Namun demikian dalam konteks demokrasi banyak kemajuan yang telah diraih. Pemilihan umum anggota legislatif, Dewan Pertimbangan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, merupakan prestasi penting dan pelaksanaan prinsip demokrasi. Faham demokrasi yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip: kedaulatan rakyat, menghargai Hak Azasi Manusia (HAM), kekuasaan mayoritas yang menghargai hak-hak minoritas, proses hukum yang berkeadilan, pembatasan kekuasaan pemerintah melalui konstitusi, pluralisme sosial, ekonomi dan politik, dikembangkannya nilai-nilai toleransi dan lain-lainnya, masih menghadapi permasalahan. Dalam tataran praksis masih banyak watak, perilaku atau karakter yang masih jauh atau bahkan menyimpang dari prinsip-prinsip atau nilai-nilai demokrasi tersebut. Dalam wacana dan kehidupan sehari-hari masih banyak perilaku yang melanggar HAM, kurang menghargai minoritas, memaksakan kehendak dan lainlain. Bahkan di lingkungan komunitas, tertentu demokrasi sering diberi makna sebagai sebuah kebebasan yang boleh bebas untuk berbuat apa saja. Praktek untuk mencapai ‘tujuan dengan menghalalkan segala cara’ kadang nampak transparan sekali. Konflik antar elite politik baik di pusat maupun di daerah sering terjadi. Benturan fisik antar pendukung dan tindak kekerasan masih terjadi dalam intensitas yang relatif tinggi. Di bidang ekonomi ada fenomena yaitu tumbuh kembangnya praktek kapitalisasi dan eksploitasi sumber daya alam. Perilaku atau watak serakah untuk mengeksploitasi, menguasai, dan memiliki kekayaan dan beberapa aset ekonomi nampak kentara sekali. Bangsa mi sedang menghadapi problema yang berkaitan dengan watak, perilaku, dan karakter bangsa dan memerlukan solusi. Pembangunan yang lebih menekankan ekonomi perlu diimbangi dengan pembangunan karakter Bangsa.
‘Nation and Character Building’ perlu lebih digagas dan dirancang secepatnya.
Pembangunan Karakter Bangsa Idiologi pembangunan
(developmentalisme) yang dilaksanakan di negaranegara dunia ke tiga menyandarkan pada pandangan yang optimistik terhadap ciri-ciri, watak dan karakter manusia (masyarakat), yang selalu mengalami perubahan
(change), pertumbuhan
(growth), perkembangan
(progress), agar terwujud keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Ada dua cabang dalam faham ‘developmentalisme’ yaitu berorientasi pada faktor manusia disebut
‘developmentalism humanis’ dan berorientasi terhadap dunia dikenal sebutan
‘developmentalism secularism’ (Mangunhardjana,1997). ‘Developmentalism humanis’ menekankan pentingnya harkat dan martabat manusia agar Iebih bermakna dalam kehidupan. Faham inilah yang kemudian mengilhami pelaksanaan pembangunan di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Kemudian dalam implementasinya memerlukan strategi, kebijakan dan model-model untuk mewujudkan visi pembangunan yang telah ditetapkan. Dalam tahap berikutnya lahir beberapa
paradigma pembangunan sebagai koreksi terhadap distorsi, bias-bias, kekurangan dan kegagalan selama pembangunan dilaksanakan. Dalam perspektif sejarah
(Sartono Kartodirdjo,1987), ditengarai terbentuknya sebuah
‘kebudayaan pembangunan’ yang terus tumbuh dan berkembang. Dinamika dan tumbuh kembangnya budaya pembangunan, ternyata tidak selalu sejalan dengan konsep ideal yang menjadi sandaran. Dengan mengkaji pembangunan yang telah berlangsung selama mi, disamping banyaknya
keberhasilan dan
kemajuan yang telah dicapai, ternyata masih dijumpai banyak persoalan, kekurangan atau kegagalan; sehingga diperlukan perbaikan, penyesuaian dan penyempurnaan. Pembangunan yang lebih menonjolkan ekonomi perlu diimbangi dengan pembangunan yang berdimensi sosial budaya. Dengan bereferensi pada kemajuan pembangunan ekonomi di negaranegara dunia ke tiga, ada dampak negatif dan pesatnya kemajuan teknologi
yang menimbulkan
anomi dan pendangkalan nilai-nilai kultural. Oleh karena itu lahir pandangan dan pemikiran untuk mem-bebaskan manusia dari dominasi teknologi agar terwujud masyarakat yang selaras dan seimbang di seluruh aspek kehidupan
(Ivan Illich, 1973). Konsep inilah yang pada waktu itu menjadi salah satu masukan sehingga timbul istilah
(terms), konsep
(concept), dan isi
(content) tentang
‘Pembangunan Manusia Seutuhnya’ yang kemudian dikembangkan dalam format atau kerangka
‘Pembangunan sebagai pengamalan Pancasila’. Dalam perkembangan selanjutnya ada pemikiran mendasar agar aspekaspek sosial budaya menjadi nilai yang
Intrinsik dan bukan sebagai pelengkap, suplemen atau
auxiliary pembangunan ekonomi
(Moeljarto,1985). Aspek kualitas hidup ditempatkan sebagai bagian yang amat penting agar manusia menjadi lebih manusiawi
(in order to be more human). Pembangunan yang berwajah manusiawi, harkat, martabat, kehormatan diri, identitas
(identity), kemuliaan
(dignity), kehormatan
(respect), kebebasan
(freedom) dan pengakuan
(recognition) menjadi penhatian utama dalam konsep ini. Prof Moeljarto juga menyajikan intrepretasi yang menarik tenhadap substansi dan proses pembangunan yang berjalan selama ini. Pada era pasca refolusi fisik, dimensi politik diberi bobot yang lebih besan. Pembangunan nasional diidentikkan dengan pembentukan bangsa
(nat/on building, dan pembinaan identitas politik yang berkiblat pada negara kebangsaan
(nat/on state) Indonesia. Konsep pembangunan yang lebih menekankan dimensi politik memang sesuai dengan realitas, kondisi dan situasi pada era itu, yang kemudian membuahkan keterpurukan ekonomi di akhir orde lama. Sementara itu pada era orde baru pembangunan nasional ditekankan di bidang ekonomi. Prioritas tinggi diberikan di bidang ekonomi dengan hasil yang sangat mengagumkan. Pertumbuhan ekonomi berkisar antara
6% sampai dengan
8% setiap tahunnya. ‘Trilogi Pembangunan’ yang menekankan pertumbuhan, pemerataan dan keadilan mulai mendapatkan kritikan sehingga dalam perkembangan lebih lanjut disempurnakan melalui konsep ‘Delapan Jalur Pemerataan’. Dengan timbulnya dampak-dampak negatif dan pertumbuhan ekonomi di era orde baru, mulai banyak reaksi dan kritikan. Dari kalangan ilmuwan sosial banyak mengalir pemikiran untuk menyempurnakan strategi pembangunan yang berjalan di era itu. Strategi pembangunan perlu fokus pada pendekatan yang lebih manusiawi, lebih
people oriented dan betumpu pada strategi
‘human resources based Dimensi kemanusian, etik dan moral perlu lebih dikedepankan dalam proses pembangunan. Pada waktu itu lahir pemikiranpemikiran baru, antara lain kriteria penilaian etis dalam pembangunan Indonesia
(Toeti Heraty, 1986). Dalam kaitan dengan pembangunan perlu dan harus ditanyakan: ‘bagi siapa, apa yang diperoleh dan korban apa yang dibawa oleh pembangunan’. Selain itu juga dikedepankan dimensi-dimensi etis dalam pembangunan yang menyangkut perihal baik-buruk, norma-norma, ajaran-ajaran dan akhlak tentang apa saja yang dihayati sebagai acuan perilaku yang
boleh dan
tidak boleh untuk dilakukan
(FX Danuwinata,1986). Dalam proses pembangunan diperlukan perspektif etis yang merujuk pada upaya yang terarah pada harkat dan martabat manusia
(Franz Magnis Suseno,1986). Pembangunan sebagai kegiatan bangsa perlu didasarkan pada konsep aku
(selfconcepts) dan citra diri
(self image) bangsa, sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945
(J Riberu, 1986). Dengan mempelajari dan mengkaji pikiran-pikiran yang berkembang pada waktu itu, sebenarnya sudah banyak gagasan dan pemikiran yang memandang penting pembangunan watak atau karakter bangsa. Namun demikian belum sepenuhnya dijabarkan dalam konsep yang lebih operasional. Berawal dan kritikan terhadap
‘economic biased’ yang timbul ternyata membuahkan kesadaran akan pentingnya pembangunan karakter bangsa. Pemikiran yang berkembang pada waktu itu terus bergulir ditengah dinamika sosial dan politik bangsa sampai dengan terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997. Krisis moneter yang terjadi pada saat itu antara lain disebabkan karena lemahnya landasan ekonomi, meningginya hutang luar negeri, dan kebijaksanaan pengikatan nilai tukar mata uang negara-negara Asia Tenggara yang terlalu kuat pada dolar Amerika. Peluang ini dimanfaatkan oleh pelaku pasar global untuk bermain di pasar uang Asia Tenggara. Sebagai akibatnya, dari krisis mata uang berlanjut ke krisis ekonomi
(Faisal Basri, 1998). Krisis ekonomi memuncak dan berlanjut sebagai pintu yang mengawali penyingkapan terhadap kelemahan mendasar bangsa ini serta membuka pilihan krusial antara pengawetan
status quo atau
reformasi untuk melakukan perubahan, penyegaran dan pembaharuan
(Amin Rais, 1998). Di bidang sosial budaya mulai muncul pandangan-pandangan yang menggugah kesadaran dan keprihatinan terhadap rangkaian krisis. Diawali dari krisis moneter berlanjut ke krisis ekonomi. Kemudian melebar dan menimbulkan krisis politik, krisis kepemimpinan, krisis moral dan akhlak, krisis kemanusiaan, krisis jatidiri, krisis kebudayaan dan lain-lain sehingga bersifat multi dimensi. Pada waktu ini upaya dan langkah untuk mengatasi krisis multi dimensi tengah dilaksanakan dan diperlukan pendekatan secara integral dalam konteks Pembangunan Negara Bangsa. Pembangunan Karakter Bangsa perlu mendapat perhatian yang semestinya dan perlu dilakukan dalam bingkai dan sistem Pendidikan Nasional. Pembangunan Karakter Bangsa tidak dapat dilepaskan dengan pendidikan dan harus dipandang sebagai investasi jangka panjang. Hasil pendidikan tidak dapat dilihat dalam waktu yang singkat. Dalam kaitan dengan upaya membentuk watak dan akhlak, ada pandangan yang menarik, yaitu pentingnya
pendidik watak (Slamet Iman Santosa, 1993). Untuk menyiapkan pendidik watak dalam jumlah dan kualitas yang memadai tidak mudah dan memerlukan waktu yang relatif panjang. Ada hal penting yang amat diperlukan oleh para pendidik watak yaitu kemampuan untuk melakukan
observation analysis yang kemudian dikembangkan dengan kemampuan melakukan
situation analysis. Kiprah seorang pendidik watak dalam berkomunikasi dengan murid atau anak didik perlu memperhatikan pepatah Jawa:
‘sak gebyaring u/at, sak keblating asta, sak kedheping netra kudu dingerteni ' Apabila pandangan ini dijadikan rujukan, maka dalam rangka pembangunan karakter bangsa diperlukan pendidik watak dalam jumlah dan kualitas yang memadai di semua tingkatan (SD, SMP, SMU/SMK, Akademi/ Universitas). Ada pandangan lain yang perlu disimak terutama berkaitan dengan pendidikan nilai-nilai di sekolah. Dengan adanya penekanan segi-segi kognitif dan melupakan
proses pembatinan membuat sosialisasi dan internalisasi nilai tidak mendapat tempat
(A Sewaka, 1991). Dalam pada itu ada kata kunci yang keliru yang mengandaikan bahwa orang paham secara kognitif mengenai apa yang baik sudah dianggap cukup dan akan berperilaku baik pula. Padahal soal berperilaku yang baik itu adalah proses pendidikan yang tempatnya bukan hanya di sekolah tetapi juga di keluarga dan masyarakat
(Mudji Sutrisno, 1991). Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan tempat persemaian pendidikan karakter Bangsa. Selain dari pada itu pendidikan tidak sekadar
transfer of knowledge. Pendidikan mempunyai ruang lingkup yang sangat kompleks menyangkut hakikat hidup dan makna kemanusiaan yang meliputi individu, masyarakat termasuk seluruh aspek kebudayaan dan sejarah suatu bangsa
(Muhammad Amin Zein, 1998). Dalam kaitan dengan hal ini
ilmu-ilmu humaniora menempati peranan yang amat penting dan strategis. Bersambung ke: (.....
Masalah dan Issue-issue aktual.....)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya