sumber foto : www.tribunnews.com
Terpilihnya Presiden Jokowi & JK jadi orang nomor satu direpublik ini ternyata membawa dampak dan pengaruh juga dalam dunia olahraga di Indonesia, kali ini yang mendapat perhatian besar itu adalah cabor Balap dan Sepakbola. Dua cabor pengumpul masa terbanyak ini mendapat perlakuan khusus dari pemerintahah periode 2014 – 2019 ini. Hal itu tentu dapat dikaitkan dengan program “Nawa Cita” Sembilan agenda prioritas Jokowi-JK khusunya pada poin ke 4 yang mengatakan “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya”. nawa.cita.9.agenda.prioritas.jokowi-jk
Kenapa hal di atas bisa dikaitkan dengan poin ke 4 dari program “Nawa Cita” tersebut? Tentu jawabanya adalah karena pada poin itulah terlihat jelas bahwa adanya keinginan besar dari pemerintah untuk mendapatkan kepercayaan dari dunia international atas kesungguhan pemerintah dalam melakukan pembenahan disegala bidang termasuk didalamnya kedua cabor yang memang paling banyak pengemarnya dan paling dicintai oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia itu, tentunya hal ini diluar cabang Bulutangkis yang memang sudah lebih dahulu menghasilkan atlit-atlit dan perestasi di tinggkat dunia
Khusus bagi perkembangan dunia balap di Indonesia, pemerintah memperlihatkan kesunguhannya dalam memberikan dukungan, baik itu dari sisi financial maupun dari sisi surat jaminan pemerintah. Seperti yang sedang disiapkan pemerintah dimana dalan beberap waktu yang akan datang pemerintah akan mengeluarkan KEPRES sebagai landasan hukum bagi terlaksananya/pelaksanaan MotoGP di Indonesia tahun 2017 nanti, KEPRES itu menyangkut mulai dari masalah sponsor, keamanan, transportasi, pariwisata sampai keuangan.
Begitu juga dengan surat jaminan yang dikeluarkan Kemenpora guna menjamin kepastian keikut sertaan Rio Hariyanto dalam ajang balap jet darat paling bergengsi didunia itu, kepada Tim Manor tempat dimana Rio nantinya akan bergabung. Menyangkut pembayaran uang sponsor yang akan dilakukan secara bertahap. Sekaligus dengan surat jaminan itu, dapat menjamin Rio sebagai orang pertama sejak Indonesia merdeka yang tampil sebagai pembalap di ajang paling bergengsi dan glamour GP Formula1 itu.
Tidak tangung-tangung guna mengsukseskan kedua hajatan balap ini, Presiden Jokowi langsung memerintahkan/menginstruksikan kepada para menteri terkait terhadap apa langkah yang harus diambil, khusus mengenai keikut sertaan Rio Hariyanto diajang balap GP Formula1, Presiden Jokowi langsung memerintahkan Menpora untuk berkoordinasi dengan Mentri BUMN guna membantu mencarikan dukungan pendanaan dan sponsor yang diperlukan untuk keikutsertaan Rio itu, begitu juga dengan rencana penyelengaraan ajang balap motoGP 2017 nanti, Presiden Jokowi juga memerintahkan agar kementrian tekait dapat bersinergi untuk bisa mensukseskan terpilihnya Indonesia sebagai salah satu lokasi tempat berlangsungnya ajang balap paling “heboh” didunia itu. Anntara lain masing-masing kementrian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora), Kementrian Pariwisata (Kemenpar) dan Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakya. (Kementrian PUPR)
Sementara itu hal sebaliknya terjadi di cabang sepakbola, dukungan penuh yang diberikan pemerintah adalah dengan mereformasi PSSI sebagai induk organisasi pemegang otoritas sepakbola tertinggi itu. Jadi kalau dikaitkan dengan judul tulisan diatas Era Jokowi, Dunia Balap Sumringah Sepakbola Kecut? Alasannya adalah karena konsekuensi dari langkah berani yang diambil Pemerintah (Presiden dan Menpora) dalam melakukan pembekuan PSSI itu akan membuat PSSI tidak dapat melakukan segala aktifitasnya lagi. Tentu ini diluar prediksi banyak pihak termasuk juga dengan FIFA sendiri dimana akhirnya FIFA pun turut juga menjatuhkan sanksi bagi PSSI sehingga PSSI menjadi lumpuh, tak berdaya, yang membuat sepakbola Indonesia menjadi mati suri tidak bisa beraktifitas lagi di level international.
Padahal kalau melihat kebelakang pada masa pemerintahan terdahulu, FIFA dengan leluasanya melalui PSSI menekan pemerintah untuk tidak mencampuri urusan PSSI dengan segala intrik ancaman atau gertakan yang dilakukannya jika Indonesia melakukan atau maka resikonya Indonesia akan dijatuhkan sanksi oleh FIFA. Terbukti hal itu memang menjadi senjata ampuh dan momok yang menakutkan bagi semua pihak khusunya pelaku sepakbola di tanah air.
Padahal sesungguhnya FIFA itu sendiri menyadari dan memiliki penilaian tersendiri terhadap Indonesia, yang jelas bukanlah sebuah negara kecil seperti Brunei atau Timor Leste, yang mungkin dengan mudah bisa di gertak, Melainkan Indonesia Negara dengan penduduk lebih dari 250 juta dan memiliki pengemar sepakbola luar biasa dengan fanatisme kedaerahan yang tinggi. Tentu hal ini bisa menjadi kerugian besar bagi FIFA khususnya AFC sebagai salah satu perwakilannya di Asia kalau saja Indonesia tidak terlibat pada even sepakbola di kawasan ini, karena tampa Indonesia tentu even itu tidak akan ramai yang sekaligus secara otomatis juga akan mempengaruhi pendapatan dari organisasi (AFC) tersebut.
Kalau di pemerintahan lalu, hal itu bisa dengan mudah dilakukan FIFA, tapi kenyataanya tidak bagi pemerintahan saat ini dan bahkan kondisi itu menjadi berbalik, ternyata di Era kepemimpinan Jokowi, sanksi FIFA itu bukanlah menjadi sebuah “momok” yang menakutkan, merasa ditantang (Disanksi) seperti itu pemerintah justru memilih mengambil langkah tegas dengan membekukan PSSI sekalian melihat reaksi apa yang akan dilakukan FIFA seperti yang pernah disampaikan Presiden Jokowi "Tidak apa-apa sekarang kita diberi sanksi oleh FIFA, tidak bisa bertanding di dunia international daripada kita kalah terus," ujar Jokowi. Maka yang terjadi berikutnya adalah gegerlah dunia persepakbolaan nasional termasuk juga persepakbolaan Asean, PSSI yang baru saja memilih kepengurusanya langsung di non aktifkan karena tidak mengindahkan apa yang disampaikan pemerintah. Kemudian yang terjadi berikutnya adalah mereka sibuk mencaci pemerintah, menakut-nakuti pemerintah termasuk dengan segala akibat yang akan ditimbulkan nantinya dan sampai kepada ancaman terhadap periuk nasi para pemain dan pelaku sepakbola yang terancam dengan tidak adanya kompetisi.