Mohon tunggu...
Hr Ton
Hr Ton Mohon Tunggu... -

Menjalani lika-liku hidup,mencoba mengecap manis dari rasa pahit perjalanan meretas mimpi.Menulis di http://wanastra.blogspot.com dan beberapa situs lainnya,aktif dan pemerhati dunia sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kalatika Gola

4 Maret 2013   12:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:20 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“ Anak-anakku,ingatlah masa dimana gothe,kalian bukanlah keranjang,pun juga botol.Untuk itu,bapak tak harus mengajar.Dan kalian,tetaplah wajib belajar”.

Begitu banyak sudah,kalimat ini menghiasi petuah-petuahku untuk mereka murid-muridku.Yang sebenar-benarnya,berkuranglah kejujuranku.Karena tidaklah mutlak kalimat itu untuk mereka,melainkan sebagaian besarnya tengah ku coba melesakkan dalam-dalam di dasar sanubariku,yang semakin kering.

“Munafik !!!”.

Hatiku lantang menjerit,pun mengumpat lantang.Untunglah mereka tak pernah mendengar, ketika hatiku mengumpat kemunafikkanku.Meski,aku begitu yakin jika mereka bisa mencurinya dari raut muka yang tak berhasil ku sembunyikan.Walau akhirnya,mereka pun akan kebingungan sendiri untuk menafsirkannya.

Langkah waktu pun mengajakku pada hari yang beranjak muram.Aku menanti akan bayang senja yang mungkin mampu memberiku pencerahan.Pada harapan yang lelah menungguku untuk memeluknya.Kebuntuan-kebuntuan yang terus saja mematah-matah rel langkahku,tanpa bosan.Dan tentunya teramat menguras energiku yang teramat sangat pas-pasan.Ah!,mestinya aku tak perlu menghianati kawan-kawanku.Maafkan aku Gotthe,Aristoteles,plato dan juga yang lainnya,yang sebagian aku sudah lupa wajah-wajah unik mereka.

Tak terasa, bayang senja yang ku nanti telah berlalu begitu saja.Tanpa menggoreskan sedikit pun tanda dibotol infus yang ku pasang sendiri,dekat pelipis kananku.Botol itu masih tetap berisi berisi cairan yang ku seduh sendiri,dari luruh sisa waktu yang batal ku tabungkan.Hingga keropos pintu kuburku,dan rayap pun tak perlu mengasah taring untuk sekedar menggerusnya.Dan tentunya pula,tak perlu ku garami laut,jika hanya untuk memenuhi panggilan terakhir nafasku.

Malam hampir sempurna hitamnya sebagai penanda gelap,andai saja sang dewi malam tak mengintipku dari balik celah kabut.Senyumnya yang tirus dan tatapan beratnya ku artikan iba.

“Bangsat!!!,aku tak butuh belas kasihanmu”.Makian kasar sontak muntab tak tertahan,menggelontor keluar begitu saja tabiat yang selalu ku sembuyikan dari bening tatapan mereka,murid-muridku.

Itulah aku kawan,dan sebenarnya tak perlu ku katakan.Karena ku yakin engkau terlalu banyak mengerti,tentang aku yang belum berhasil menjadi orok sekalipun,apalagi bocah yang mulai doyan garam.Selanjutnya,aku teramat paham akan apa yang segera terjadi,jika aku mulai mencari sebutir atom yang disembunyikan pertapa tua dibalik misteri semua bukit bumi.Sementara tak ada sedikit pun mimpi,sebagai isyarat dibukit mana yang musti ku ratakan,sebutir demi sebutir debu,yang kemudian ketakutan sendiri ketika sang bayu menyapanya.

“Permaisuriku,lekaslah kita menyingkir.Tempat ini tak aman lagi”.Setengah berbisik pungguk berujar pada permaisurinya.Dari lekuk malam kudengar jika mereka sedang berbulan madu. Masih sempat aku tersenyum mendengar isu tak masuk akal ini,bukankah rindu sang pungguk pada kekasihnya abadi?,karena dewi malam yang anggun takkan pernah sanggup ia miliki.Rupanya si pungguk tengah asyik melamunkan permaisuri mimpinya yang hanya mampu ia rindukan sebanjang nafasnya.

“itu lebih baik”.Aku menyahut,pelan.

“Benar,kita harus cepat mengungsi karena perang akan segera berkecamuk”.Menyambung bebayu malam meyakinkan sahabat karibnya.Dan tanpa menunggu lama,si pungguk segera mengepakkan sayapnya mengikuti bebayu malam yang lebih dulu berhembus.

Pertempuran pun pecah,aneka mesin pembunuh pun beradu pamor.Aroma mesiu dan anyir darah berbaur dalam kelam malam yang menyakitkan.Konfrontasi frontal dua stigma menjadi seumpama medan tempur yang maha dahsyat.

“Awalnya,aku memang tak mengerti dengan segala etiket maupun label.Yang ku tahu hanyalah rasa suka dan damai jika ada diantara mereka,Anak-anak yang tengah merakit sayap-sayap mereka untuk terbang esok menggapai bintang yang terlanjur mereka gantungkan sendiri,Tinggi di birunya langit.Yang membuatku sesal,mengapa aku buta akan perasaanku sendiri.Yang lalu memunculkan banyak musuh-musuh yang musti ku hancurkan.Sampai dongeng silsilah membuka nuansa baru,darah pendidiklah yang telah mengalir di sendi nadiku,Inilah suluh bagi gelapku”.

Meski ku akui,diriku lebih pantas menyandang gelar pecundang dan terusir dari darah silsilahku.Dan itupun bukan karena apa di luar diriku,melainkan karena berulang kali bangkit dari sekian banyak terjatuh dan terendam dalam pekat lumur kegagalan dalam merangkai sayapku sendiri.Dan naif pun ku putuskan untuk membiar sayapku sendiri remuk dan patah berserak demi sayap-sayap yang mungkin lebih berguna”.

Sisi lain dari stigma satu pasukan pun bertemu,beradu kekuatan dan strategi.”Jangan sok jadipahlawan”.Sebuah mortir menghantam basis pertahananku,dan tak berhenti sampai di situ.

“Apa darah silsilah yang kau agungkan dan kau perjuangkanitu akan mampu memberimu putri yang mau kau ajak mengencangkan ikat pinggang atau bahkan puasa seumur hidup?,apa kau pun kan tahan hidup tersiksa bagai si pungguk yang abadi merindui bulan?”.

Pasukan musuh pun kian gencar membor-bardirku dari satu dua lini penjuru,lengkap dengan senjata-senjata pemusnah tentunya.Dan sejenak ku atur strategi,dan memberi penghargaan dan satu senyuman yang indah.Ternyata satu sisi dari sebuah kehidupan selalu saja hadir untuk menyerang sebuah kebaikan,setidaknya menawar harga sebuah komitmen.

Waktu sejenak untuk sebuah strategi pun tak cukup,perpanjangan waktu pun tak dapat ku hindari.Untuk menelanjangi kata,bahkan huruf demi huruf yang mungkin bisa melahirkan sebuah hipotesa untuk racikan sebuah formula sebuah senjata yang lebih dahsyat.

Dasar pertempuran!,naluri membunuh pun terpaksa dimunculkan,setidaknya dari pada menjadi korban,terbunuh.

Dan tak terasa entah berapa sudah kali perpanjangan waktu,sampai lupa untuk terhitung secara matematik.Apalagi formula mutakhir sebuah senjata,hipotesanya saja belum terpecahkan dalam tabir misteri rumus angka dan kata-kata.Sementara bungker yang melindungi komitmenku mulai bergetar dan retak di sana-sini.Sangsi mulai menjadi awan hitam yang menyelimuti komitmen yang usai ku tanam dipertapaan padepokan sunyi.Kuduk berdiri,ngeri dan juga ragu tentunya.Juga takut,benci dan amarah pun baur dalam adonan kue ulang tahun.Sebentar kemudian masak dan dihidangkan lengkap dengan bendera putih;kalah!.

“Tidaaaaaak !!!!!!”.

Bukankah tulangku masih putih dan barangkali masih ada simpanan kalsium dan sedikit zat besi?,Darah pun masih merah.Dan tegarberdiri masih ada seteguk harapan,jika mau.

Reaksi usai,aku mendapat senjata.Naluri membunuh pun membuncah memenuhi ruang multi- partikel.Dalam rupa berbagai bentuk dan ukuran detanetor dan bahkan trinitroluence siap untuk diledakkan.

Ku ledakkan seluruhnya.

“Tak sedikit pun ingin,nisanku penuh aneka rupa pada acara tabur bunga sepuluh November atau mungkin dua Mei.Darah silsilah yang mengendap di nadiku pun tiada satu sel pun yang mengharap untuk di agungkan.Apalagi mengharap putri solo yang gemulai seiring pergi kondangan.Dan aku,tak kan menderita seperti pungguk.Andai saja kau tahu dan mau masuk ke kedalaman hatiku,dimana istana jiwaku bersemayam.Sungguh kau kan merasakan betapa kesegaran dan kejernihan mata air cinta yang sesuci matahari.Yang tak redup pancarnya hanya karena mendung yang usil”.

“Dan kau kira,aku akan bahagia bila bercumbu mesra dengan peri kayangan sekalipun jika ranjangku bertilamkan lumpur nista”.

“Munafik !!!”.Musuh merengsek menhimpitku.”Sudahlah,sudahi retorikamu itu.Bersihkan saja pedangmu itu dari dusta!”.selaksa ribuan bayonet menyedak ulu hatiku.

“Ya Tuhan !!!”.Aku tersentak,Tak sempat sedikitpun berkelit.Ku telanjangi pedangku dengan kehati- hatian,”Benarkah dikau berlumur dusta?”.

Ku coba tetap berwajah tenag dalam kegelisahan resah yang mereduksi semua sisi nalarku.Ku tumpahkan semua isi kepalaku dan lalu otakku melata di antara semak belukar kemungkinan,mencoba mengais sisa strategi untuk keluar dari situasi kritis ini.

“Apa yang harus ku lakukan ?”.

Dan dari balik ketegangan dan situasi kritis ini,sempat masih ku mengintip model pertempuran ini.Pertarungan sejati,pun dengan musuh yang tangguh dan sejati pula.Bagaimana tidak,bayonet- bayonet musuh tak langsung sudahi pertempuran ini,meski itu tak perlu waktu lama untuk mengubur semua tentang mimpi-mimpiku,di mana aku tak lagi mampu menggenggem pedangku eret-erat.

“Menyerah ???”.

Keringat dingin mengucur demi mendengar kata itu,di sekujur tubuhku.Ladam kaki mulai goyah dan mataku nanar oleh basah rasa jengah.Adalah pengembara,yang didalam setiap pengembaraanya selalu menemu simpang jalan yang menyulitkan.Seperti antara ketakutan dan ragu menentu pilihan. Koin !!!.

“Memilih tak semudah melempar koin,perlu pertimbangan yang seksama lagi matang.Bahkan jika mungkin perlu,melalui timbang putus Mahkamah Internasional atau jajak pendapat terbuka dan selalu butuh waktu”.Jawabku jengah dalam tumpah desah kecewa,mengemis waktu.

Dan sungguh,tak usai di gelap ini.

Bayonetpun beringsut menarik diri,menjauh dan membiarkanku melangkah menentu jawab yang seperti sembunyi dari mata pandangku.Malam tua,dan si mungil pagi hampir menangis menandakan kelahirannya.Tak terhitung pulang ini,karena yang terhitung sudah tiga puluh kali aku berangkat.

Ku turuni keterdesakanku,sewaktu dengan semakin riuhnya ayam jago beradu pamor kejantanan kokoknya.Ponselku pun berdering,bahkan bergetar.

Siapa peduli ?,Tatkala,ketika hati bergolak dan bergetar.

Merangin,2011

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun