ANALISIS KONSEP DEFENSSIVE STRUCTURAL REALISM DALAM KASUS PENEMBAKAN RUDAL YANG MELINTASI JEPANG OLEH KOREA UTARA
Â
Sistem internasional yang kompleks membentuk dinamika hubungan internasional yang berpengaruh bagi setiap negara. Isu-isu yang berkaitan dengan ancaman keselamatan, kedaulatan dan keamanan suatu negara tidaklah lepas dari dinamika hubungan internasional tersebut. Seiring perkembangan zaman dan teknologi hal tersebut terus bertambah, bahkan kasus yang dulu sudah senyap kembali mencuat . Negara tidak bisa memandang sistem internasional dengan mengandalkan satu sudut pandang, perlu adanya penyesuaian dengan situasi dan kondisi serta ideologi yang digunakannya. Dalam sistem internasional, kegiatan peningkatan kekuatan militer negara banyak dilakukan oleh negara-negara super power. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya aturan yang mengikat sehingga negara- negara tersebut dapat melakukannya, contohnya adalah adanya latihan militer gabungan yang dilakukan oleh negara Super-power dengan negara sekutunya. Latihan gabungan itu tentunya memiliki tujuan yang jelas, diantaranya adalah untuk meningkatkan relasi menuju tingkatan yang lebih baik, cara berdiplomasi agar tercipta perdamaian, atau bahkan adanya pihak lawan di kawasan tersebut membuat negara super-power ingin menunjukan pengaruhnya di kawasan tersebut. Dengan dilaksanakannya kegiatan-kegiatan peningkatan kekuatan tersebut membuat negara-negara kawasan sekitar menjadi merasa terancam, sehingga menimbulkan  kecurigaan terhadap perilaku negara lain dan hal inilah penyebab adanya security dilemma pada negara-negara di sekitarnya.
Neo-realisme memandang bahwa sistem internasional itu anarkis dan hal itu dapat mempengaruhi perilaku negara dalam menghadapi ancamannya. Negara yang memiliki pandangan secara neo-realis akan lebih mementinngkan dirinya sendiri dan cenderung mengisolasi diri agar tidak terpengaruh oleh negara lain. Perkembangan pemikiran neo realis memunculkan konsep-konsep besar, salah saunya adalah Defensive Structural Realism. Defensive structural realism adalah teori pengembangan dari realisme dan termasuk bagian dari neo-realis. Teori ini didasarkan pada pemikiran Robert Jevis (1978) tentang adanya Security dilemma dan Waltz (1979) tentang balance of power. Menurut teori ini, adanya kegiatan peningkatan kekuatan negara akan memunculkan security dilemma, untuk itu diperlukan adanya penyeimbangan kekuatan (balance of power). Menurut pandangan dari teori  ini, negara yang merasa terancam perlu melihat situasi dan kondisi, negara harus menentukan cara yang tepat dan efektif (tidak boleh selalu aggresif namun juga tidak selalu pasif). Teori ini menekankan bahwa negara hanya perlu mencapai kekuatan negara sampai pada tingkatan yang tepat dan tidak harus memaksimalkan kekuatannya. Jervis juga menjelaskan tentang pentingnya strategi ofensif yang dilakukan untuk tujuan defensif sebagai respon dari adanya security dilemma yang terjadi di dalam sistem internasional. Van Evera (1999) menjelaskan argumennya tentang  diperlukannya strategi yang agresif ketika negara ada pada titik tertentu untuk mencegah terjadinya agresi di masa yang akan datang. Argumen-argumen tersebut ditujukan  untuk negara-negara yang memang tidak secara alami memiliki geografi yang dapat melindungi dari serangan negara lain. Dalam konsep defensive structural realism ancaman negara di dasarkan pada beberapa elemen yang menjadi acuan, yaitu  adanya Aggregate Power (ancaman yang bersumber dari kapabilitas militer, sumber daya,dan lainnya), Geographic Proximity (ancaman yang berasal dari kondisi geografi, semakin dekat wilayahnya maka semakin berpotensi mengancam), Offensive Capabilities (ancaman yang langsung menyerang dengan kapabilitas), dan Offensive Intentions (ancaman dari adanya kegiatan yang memicu kecurigaan).
Â
Salah satu kasus yang berkaitan dengan keamanan negara kembali terjadi pada oktober 2022, Korea Utara melakukan tindakan aggresifnya dengan menembakan rudal balistiknya yang melintasi Jepang. Peristiwa tersebut terjadi pada 4 oktober 2022, dimana Amerika serikat dan Korea Selatan sedang mengadakan latihan militer gabungan di semenanjung korea. Hal tersebut bukan yang pertama kalinya terjadi, pada beberapa hari sebelumnya dimana AS dan Korsel akan memulai latihan gabungannya, Korut juga melakukan hal yang sama. Pada tanggal 4 oktober, pemerintah Jepang sudah mengkonfirmasi hal tersebut, keberadaan rudal yang melintas di langit Jepang sempat membuat semua aktivitas publik di hentikan sementara. Selain itu, Jepang juga menyatakan bahwa rudal Korea Utara tersebut jatuh di Laut Pasifik.
Â
Alasan dari tindakan agresif Korea Utara adalah adanya rasa keterancaman atas tindakan AS dan Korea Selatan yang melakukan latihan militer gabungan di Semenanjung Korea. Alasan lain juga disampaikan oleh kementrian luar negeri Korea Utara yang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan adalah sebagai pengujian rudal sekaligus respon terhadap adanya latihan gabunngan tersebut. Selain itu, peringatan juga dilayangkan kepada AS yang akan melakukan latihan gabungan bersama Korea Selatan agar tidak menempatkan kapal induknya yang bertenaga nuklir di Semenanjung Korea karena hal tersebut dapat membuat konflik Semenanjung Korea menjadi panas.  Apabila dilihat dari elemen ancaman yang menjadi acuan dalam konsep defensive structural realism dapat disimpulkan bahwa adanya geographic proximity, yaitu  kedekatan wilayah membuat potensi  ancaman semakin besar. Sebagaimana kita tahu, hubungan Korut dan Korsel memang tidak harmonis sehingga ditambah dengan adanya agenda tersebut maka membuat keadaan semakin memanas. Kedekatan wilayah Korea Utara dengan lokasi yang digunakan sebagai tempat melakukan latihan gabungan oleh Korea Selatan dan AS meningkatakan potensi ancaman bagi Korea Utara. Sebagai negara yang merasa terancam, Korea utara melakukan strategi yang agresif dengan tujuan menyeimbangkan kekuatan dan berdalih pengujian nuklir. Selain itu Aggregat power yang diartikan sebagai ancaman yang datang dari perbedaan Sumber daya, kekuatan populasi dan kapabilitas militer yang dilimiki oleh negara lawan akan menimbulkan rasa terancam, begitupun dalam kasus ini. Agenda latihan militer gabungan yang dilakukan di Semenanjung Korea menjadikan kapabilitas militer AS dan Korea Selatan semakin besar, sehingga hal tersebut menjadi ancaman yang sangat besar bagi Korea Utara dan diperlukan adanya respon dan tindakan agar negara yang melakukan agenda latihan tersebut tidak membuat provokasi.
Â
Kesimpulan
Â
Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya latihan gabungan yang dilakukan oleh Amerika dan Korea Selatan di Semenanjung Korea menimbulkann rasa terancam bagi Korea Utara. Respon yang dilakukan oleh Korea Utara sebagai cara meningkatkan pertahanannya adalah dengan melakukan strategi agresif, yaitu melakukan pengujian rudal dengan menembakannya ke beberapa arah di kawasan Asia Timur. Tindakan offensive yang ditujukan untuk tujuan defenssive digunakan oleh Korea Utara adalah sebagai respon terhadap security dilemma yang terjadi. Selain itu, adanya faktor Geographic proximity dan aggregate power juga melatarbelakangi Korea Utara untuk mengambil strategi tersebut dan strategi yang dipilih Korea Utara adalah dengan meningkatkan kemampuan pertahanan negaranya dari  ancaman luar untuk bertahan dari sistem internasional yang anarkis.